Cisewu di Masa Penjajahan Jepang
Oleh: Gun Gun Nugraha
Poto: Para Romusha di jaman Jepang
BELUMjuga trauma masyarakat Cisewu reda, dampak dari getirnya peperangan dengan Belanda. Di tahun 1943 kembali daerah ini dimasuki tentara Jepang. Abdul Komar menuturkan, betapa sengsaranya pada saat itu, melebihi tersiksanya dikala Belanda menjajah RI. Kelaparan mewabah, masyarakat hanya mengenakan pakaian yang terbuat dari karung goni (bekas beras), tumila berkembangbiak diserat-serat kain. Akibat Jepang kurang memperhatikan bidang pertanian.
Selain itu, masyarakat dipaksa menjadi romusa membuat benteng terowongan di Kampung Genteng, kecamatan Talegong. Serta membuat jalan Debuku di kampung Mancagahar, desa Nyalindung sekarang. Dua komandan Jepang yang kejam, bernama Puryama dan Nagaoka seringkali mengajak Sumo kepada para romusa diisela-sela bekerja. Jika dua komandan ini kalah, seringkali memarahi para pekerja, dengan ucapan; “Bakero!” (goblok). Dan harus diulang dengan kata; “ Moicido!” (ulang). Bila para romusa berhasil mengalahkannya, mereka memuji sambil bilang; “Kirei! Kirei!” (bagus-bagus). Seraya mengacungkan jempol.
Seperti halnya Abdul Komar, yang hanya bisa sekolah sampai kelas tiga di Sekolah Rakyat (SR) dan dijadikan Hanco atau mandor Romusa ini. Meski badan terasa capek, terpaksa ia harus melayani ajakan dua komandan Jepang tersebut. Dan seringkali dimarahi karena tak bisa mengalahkan mereka.
Jepang Membentuk Tentara Pemuda Dan Pelajar
Dikala Jepang menjajah Indonesia, mereka membentuk kelompok pemuda dan pelajar. Pemilihan anggota berdasarkan umur, jika umur belasan tahun akan dimasukan pada kelompok Seinendan, golongan pemuda berumur empat puluh tahun ke atas masuk ke dalam kelompok Keibodang. Beberapa orang warga masyarakat Cisewu yang masuk Keibodang ini antaralain: Warma (Mama Arinem), Sutisna Wijaya, Ecep, Eni, dan Apin. Komar sendiri masuk kelompok Seinendan, karena umurnya masih belasan tahun waktu itu.
Para anggota Seinendan dan Keibodang seringkali ditarik ke daerah Bungbulang, untuk latihan perang dan baris berbaris di sebuah lapangan. Pelatihnya oleh tentara Jepang secara langsung. Dari beberapa orang pemuda dipilih oleh Jepang diantaranya: Sirod dan Tarka (almarhum), kemudian dibawa ke kota Garut untuk dibina menjadi pelatih. Kemudian mereka kembali ditugaskan untuk melatih para anggota Seinendan dan Keibodang didaerahnya masing-masing.
Disamping itu, Jepang mengajarkan pula kepada para pemuda dan pelajar beberapa jenis olahraga seperti: Taiso, Taiso ada dua jenis yaitu: Daici dan Dainyi. Tak ketinggalan diajarkan juga bahasa dan cara menulis hurup-hurup Jepang. Jenis-jenis hurup Jepang: kata kana, hiragana, dan kanji. Olehkarenanya, tidak heran jika Abdul Komar dan beberapa veteran lain yang benar-benar berjuang (bukan pengecut), pintar menulis dan berbicara menggunakan bahasa Jepang.
Poto: Tentara Jepang saat perang Asia Timur Raya
Jepang Menjelajahi Sepanjang Jalan Cisewu
Ketika tahun 1943 satu regu tentara Jepang menjelajahi jalan Cisewu, dari mulai Genteng, Mancagahar, kampung Cibengang, Kihiang, Datar Kadu,, Pasir Ipis, Cisewu, Cinyumput (Pamalayan), Ciledug Pasir Huit, (Desa Panggalih), Cilayu, Caringin, Bungbulang, sampailah di kota Garut.
Dalam penjelajahan mereka itu, tidak lain bermaksud ingin memeriksa seluruh pos pengawasan, istilah Jepang Kensiso. Daerah-daerah yang dibangun Kensiso ini diantaranya: kampung Genteng, Mancagahar, Pasir Pilar (Pasir Ipis), Pamalayan, dan pantai Ranca Buaya dulu bernama (pelabuhan Ciriab).
Berdasarkan penjelasan Abdul Komar, jumlah tentara yang memasuki kawasan Cisewu tidak bisa dipastikan jumlahnya. Beliau memperkirakan satu regu. Sebab menurutnya, jumlah tentara Jepang tak bisa diprediksi. Karena mereka memiliki strategi tentaranya disebar secara terpencar, agar tidak bisa diterka jumlah kekuatannya oleh para pejuang.
Dipenghujung waktu, saat Jepang dikalahkan oleh tentara sekutu dengan cara meluluhlantakan dua kota besar negara itu: Hirosima dan Nagasaki di tahun 1945. Para tentara Jepang yang berada di daerah Genteng panik, mereka kocar-kacir mencari daerah pelarian. Hingga dikabarkan ada yang bersembunyi di daerah pantai Ranca Buaya dan berhasil tertangkap oleh para pejuang Cisewu. Kemudian di Islamkan sampai menikah dengan seorang perempuan asal Cibengang desa (Mekar Sewu), dan melahirkan seorang anak laki-laki yang diberinama: Sulama (informasi tambahan H. Mumuh Muchtar). Kisah ini akan penulis terus digali, tunggu saja cerita berikutnya: “Penelusuran Tentara Jepang Tersesat di Kecamatan Cisewu” pada tulisan berikutnya. Sampai Jumpa!
Cisewu, 07 April 2016
1 Komentar
lanjutkan pak.
BalasHapus