COMMERCIAL

PERAN LINGKUNG SENI GALUH PAKUAN PAJAJARAN (LS GPP) DALAM MELESTARIKAN SENI BUDAYA SUNDA DI DESA CISEWU/KEC.CISEWU-GARUT)




PERAN LINGKUNG SENI  GALUH PAKUAN PAJAJARAN (LS GPP)  DALAM MELESTARIKAN SENI BUDAYA SUNDA

DI  DESA CISEWU/KEC.CISEWU-GARUT)

 

Oleh: Gun Gun Nugraha, S.Sn

 


                Pada permulaan ini penulis akan memaparkan atau mendeskripsikan mengenai hasil penelitian yang dilakukan di dalam Lingkung Seni Galuh Pakuan Pajajaran (LS GPP) yang terletak di wilayah Kp. Cikangkung Desa Cisewu Kabupaten Garut, adapun isi di dalamnya berkaitan dengan bagaimana peran dari LS GPP, serta  apa yang menjadi faktor pendorong dan penghambat dalam upaya merevitalisasi kebudayaan lokal.

4.1 Kondisi Objek lokasi penelitian

        4.1.1. Letak dan Keadaan Daerah

            Desa Cisewu merupakan desa yang termasuk kedalam wilayah Kecamatan Cisewu Kab Garut, letaknya berada disebelah selatan Kabupaten Garut dengan jarak dari ibu kota Kecamatan 0,5 Km, dari Ibu Kota Kabupaten  18 Km. Curah hujan 3.900 mm pertahun dengan mempunyai ketinggian kurang lebih 600 m di atas permukaan air laut. Menurut data 2012 Cisewu merupakan Desa yang memiliki transportasi yang kurang lancar untuk menuju ke pusat-pusat kota. Karena Desa Cisewu merupakan daerah pegunungan apalagi pada musim hujan sering terhambat longsor di sepanjang jalan. Tetapi pada data 2015 Desa Cisewu sudah memliki perubahan yang sangat signifikan contohnya adanya infrastruktur jalan yang diprogramkan oleh provinsi, di mungkinkan dalam beberapa tahun yang akan datang Desa Cisewu akan menjadi pusat Budaya, karena Cisewu termasuk  Desa yang kaya akan Budaya. Itu dilihat dari sumber data, hampir dari beberapa ratus kesenian di Desa Cisewu kini telah di gali dan di kembangkan lagi termasuk oleh organisasi kesenian Global art, ini berarti sudah menunjukan bahwa Cisewu telah memiliki potensi untuk menjadikan Desa Cisewu sebagai pusat budaya.

            Desa ini memiliki luas wilayah sekitar 1.039.19 Ha. Dengan perincian 98.547 Ha. Digunakan untuk perumahan penduduk. Atau bisa disebut sebagai tanah darat atau tanah produktif. 98.547 padang pengembalaan 35.00 Ha, tanah kehutanan dan pesawahan 740.00 Ha. Secara administratif, Desa Cisewu sebelah selatan dan Timur dibatasi oleh Desa Pamalayan, Bagian Utara dibatasi oleh Desa Mekar Sewu, Bagian Barat dibatasi oleh Desa Cibuluh Neglasari Ciaun Kabupaten Cianjur.

4.1.2. Keadaan Penduduk

           Hasil pendataan pada tahun 2012 jumlah penduduk di Desa Cisewu sebanyak 5.056 orang. Terdiri dari laki-laki 2.586 orang dan wanita 2.4770 orang. Dari hasil analisis penulis memperoleh gambaran bahwa penduduk Desa Cisewu, Kecamatan Cisewu Kabupaten Garut, kebanyakan berada pada usia yang kurang produktif atau usia tua.

4.1.3. Tingkat Pendidikan

            Pendidikan merupakan salah satu pokok dalam kehidupan untuk menunjang tingkat pengetahuan manusia dalam menjalankan hidupnya, adapun tingkat pendidikian di Desa Cisewu tahun ini memperlihatkan komposisi yang menunjukan bahwa kesadaran masyarakat terhadap pendidikan sudah cukup tinggi. Secara rinci komposisi penduduk berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

                                          

 

 

 

 

TABEL 1

             Keadaan penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Cisewu

NO

   Tingkat Pendidikan

Jumlah

%

1

2

3

4

   5

6

7

8

9

 10

Tidak tamat SD

Tingkat tamat SD

Tingkat tamat SLTP

Tingkat tamat SLTA

Tingkaat tamat D1

Tingkat tamat D11

Tingkat tamat D111

Tingkat tamat S1

Tingkat tamat S2

Tingkat tamat S3

-

695

508

437

-

22

8

185

25

-

13,746

10,047

8,643

-

0,435

0,158

2,531

0,494

         Jumlah

1825

36,095

          Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap pendidikan sudah cukup tinggi, karena lulusan SD sebanyak 695 orang, tamat SLTP/sederajat 508 orang, tamat SLTA/sederajat 437 orang, tamat D1 22 orang, tamat D111 8 orang, tamat S1 185 orang, tamat S2  25orang.

4.1.4. Mata Pencaharian

Seperti halnya daerah urban lainnya bahwa penduduk di Desa Cisewu, Kecamatan Cisewu Kabupaten Garut mata pencahariannya beragam. Secara terperinci keadan penduduk berdasarkan mata pencaharian ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

TABEL 2

               Kedaan penduduk menurut mata pencaharian di Desa Cisewu

No

Jenis pencaharian

     Jumlah

  %

  1

  2

  3

  4

  5

  6

  7

  8

  9

Petani

Buruh tani

PNS

Pengrajin

Pedagang

Peternak

Perawat

Dukun kampung

Montir

        665

         80

        107

         44

         24

        119

          7

         14

          -

13, 152

1,582

2,116

0, 079

0, 474

2,353

0,138

0,276

    -

    Jumlah

       1060

 20,965

 

 

 

 

 

4.1.5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

                                                            TABEL 3

No

Agama

Jumlah

1

Islam

5075

2

Kristen Protestan

   -

3

Kristen Katolik

   -

4

Hindu

   -

5

Budha

   -

6

Konghuhcu

   -

Jumlah

5075

 

         Dari  data diatas dapat dilihat bahwa Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Cisewu. Dan keseluruhan masyarakat cisewu menganut agama islam

4.2. Profil Organisasi LS Galuh Pakuan Pajajaran

           4.2.1. Sejarah berdirinya LS Pakuan Pajajaran

            LS Galuh Pakuan Pajajaran  merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan, dimana organisasi ini merupakan satu organisasi yang memiliki kepedulian dan kecintaan terhadap kebudayaan yang ada, khususnya kebudayaan Sunda atau budaya lokal. Pakuan Pajajaran ini merupakan wadah pengolah kesenian yang terdapat di Kp. Cikangkung, Desa Cisewu, Kec. Cisewu Kab. Garut. Adapun alasan Pakuan Pajajaran ini didirikan adalah tiada lain untuk merevitalisasi kesenian sunda yang telah lama mati. Seperti yang kita ketahui sebelumnya, bahwa moderitas kini telah menggerogoti nilai-nilai budaya leluhur kita kusunya nilai budaya sunda, maka disinilah Pakuan Pajajaran bertekad membentuk suatu organisasi kesenian sebagai pembanding masuknya budaya luar.

            Organisasi kesenian Pakuan Pajajaran di rintis oleh Anggi Pebriana, Darmawan, S.Sn, Hendra Sukmawan, S.Pd. I Rohana GP, dan Deden Farid. Pada mulanya beranggotakan sekitar 250 orang, meliputi pelajar dan umum.  Dengan struktur pengurus sebagai berikut. Pelindung: Muspika Kecamatan Cisewu. Penasihat : Asep Tatang, AIPDA Dik Dik Gunardi, Drs. Edi Supriadi, Drs. H Meinuzar, M.Mpd dan Ahmad Darodjah, S.Pd. Ketua umum : Anggi Pebriana. Wakil ketua umum: Darmawan, S.Sn, Sekretaris: Rohana GP, S.Pd, Bendahara: Samsudin.

           Pada mulanya Pakuan Pajajaran berorientasi dan terfokus kepada remaja atau pemuda. Remaja adalah sebuah sasasaran utama bagi Pakuan Pajajaran dalam melakukan perubahan kebudayaan, maka dengan alasan inilah nama Pakuan Pajajaran didirikan dengan tujuan dapat mengikuti keadaan kondisi para pemuda/remaja Cisewu pada saat itu. Melihat kondisi remaja dan pemuda yang memperihatikan dilihat dari tingkat moral, yang semakin hari semakin bokbrok, nilai budaya yang sudah hilang, seperti etika dan kesopanan seakan telah lenyap dari wujud mereka. Pakuan Pajajaran berpandangan, itu semua disebabkan karena nilai budaya lokal dalam diri mereka sudah bermasalah. Masuknya budaya luar yang mengakibatkan kebudayaan sunda yang kita miliki saat ini memudar. Kesenian–kesenian yang dahulu memang ramai, saat ini telah mengikis diambil alih oleh budaya Western (Budaya Barat) yang sangat mudah masuk dan dikonsumsi oleh masyarakat hususnya remaja. Era globalisasi telah menyulap semua masyarakat menjadi berubah, hedonis dan kebarat-baratan, perubahan yang terjadi ini berlangsung sangatlah cepat secara disadari ataupun tidak. Jika kita tidak cepat tanggap dalam mengatasi masalah ini, maka kebudayaan lokal yang ada  akan hilang bahkan lenyap ditelan bumi.

Dengan banyaknya dorongan dan masukan dari anggota seniman maupun teman-teman seperjuangan yang ada,  maka pada tanggal 22 Maret 2009 dikukuhkanlah organisasi kesenian LS GPP ini sekaligus pembentukan kepanitiaan yang dimulai dengan pemilihan ketua organisasi kesenian Pakuan Pajajaran. Sehingga terpilihlah ketua yang bernama Anggi Pebriana selaku penggagas kesenian yang ada di Desa Cisewu.

Pemilihan ketua umum ini dilakukan secara aklamasi hasil dari kesepakatan semua anggota dan seniman yang ada. Karena para seniman maupun anggota beranggapan mereka terasa terbantu serta menemukan hidup baru dalam berkesenian yang sudah berpuluh-puluh tahun lenyap.  Serta dengan konsep pemikiran beliau tentang revolusi budaya yang kerap kali sering dideklarasikan dalam setiap kegiatan ataupun diskusi memberikan stimulus bagi para seniman yang sedang sekarat menunggu ajal kematian budayanya pada waktu itu.

Sepenggal cerita kang Anggi Pebriana. tentang pahit dan getirnya membangun organisasi kesenian  di Desa Cisewu saat penulis temui disanggar seni Galuh Pakuan Pajajaran .

“Sedikit sekali orang mengetahui perjalanan saya dalam membangun kesenian  di Cisewu, supaya bisa kembali tegak berdiri: bertahun-tahun saya mencari dan menenemui nama-nama tokoh yang berkaitan dengan kesenian di kota Garut atas petunjuk (Eks. Sekmat Cisewu), diantaranya; kang Deden Erlis, Pak Maman Sudarman, Empit Supriatna DLL. Dengan harapan bisa membantu saya mewujudkan visi misi ini. Di tahun 2011 yang lalu, saya pergi menemui Kang Maman Sudarman ketua Dewan kesenian Garut (DKG) Waktu itu sampai bermalam di Rumahnya. Keluarganya begitu baik menyambut saya, (terimakasih buat si ibu, istri kang Maman). Saya terus menyampaikan bagaimana kondisi kesenian tradisi Cisewu saat itu kepada beliau, dan mohon adanya perhatian untuk perkembangan kesenian tradisi di daerah”.

Beliau juga memaparkan selain menemui Kang Maman, sempat menemui orang-orang yang terkait dengan kesenian seperti yang di paparkan dibawah ini:

“Selain kang Maman, saya juga menjumpai kang Deden Erlis (pengurus DKG), saya temui di ruang kerjanya di Balai paminton dan begitupun Ua Cecep (Kepala UPTD DISBUDPAR) kala itu. Dari rumah ke rumah, hampir setiap nama tokoh yang ku dengar dijumpai. Blusukan menemui para mantan tokoh terdahulu diantaranya; Alm. Aki Rahmat macan (seniman debus), Abah Icang (tokoh reog dan calung), dsb. Mengajak kembali mereka agar bisa semangat kembali berkesenian. Membangkitkan kembali seni tradisi yang sudah lam punah. Tentu saja biaya perjalanan ini saya tanggung sendiri, saya harus mengorbankan tenaga, pikiran, waktu dan materi untuk memperjuangkan visi-misi ini. Tidak jarang, harus anyukna hutang untuk membiayai gelar budaya tahunan, termasuk saya merelakan tanah dan ruang pribadi untuk berdirinya bangunan sanggar seni. Yang terpikir oleh saya, bagaimana kesenian tradisi itu harus hidup kembali. Sepenggal perjalanan ini, menunjukan bahwa bukanlah proses yang mudah untuk mewujudkan cita dan rasa: supaya kesenian tradisi itu bangkit kembali seperti dulu. Torehan prestasi yang diraih saat ini, diperjuangkan dengan susah payah. Dalam perjuangan itu, saya tidak peduli orang-orang menyebut saya gila, kuno, untuk kepentingan politik”.

             Dari cerita yang diungkapkan kang Anggi. Untuk merintis dan membangun sebuah organisasi kesenian budaya itu sungguh tidaklah mudah, butuh perjuangan yang besar, tekad yang kuat, berani menyucurkan keringat serta tidak mengharapkan imbalan dari siapapun. Pada tahun 2009 sebelum organisasi ini didirikan semasa beliau masih duduk di bangku kuliah, beliau telah melakukan beberapa kali orasi budaya dengan mengumpulkan anak remaja, berkeliling disepanjang jalan Cisewu bersorak-sorak tentang budaya, menyebarkan tulisan kepada seluruh masyarakat tentang keprihatinan akan punahnya nilai budaya dan kesenian peninggalan leluhur, tidak dapat kita pungkiri dalam melakukan suatu perubahan pasti akan menemukan beberapa konflik yang dihadapi ada halnya sebagian orang menyepelekan, menganggap tindakan yang dilakukan adalah tindakan yang kurang bermanfaat, atau menghambur-hamburkan waktu. Namun hal itu tidak dijadikan sebuah masalah besar baginya, yang terpenting apa yang menjadi tujuan hidupnya bisa tercapai, serta masyarakat tersadarkan akan jati dirinya sebagai orang sunda yang ta’at kepada nilai peninggalan para leluhurnya.

4.3.  Visi Misi Lingkung Seni Galuh Pakuan Pajajaran

             Visi dari organisasi kesenian Galuh Pakuan Pajajaran ini tiada lain ingin membina, melestarikan dan menjunjung tinggi nilai budaya yang ada di Cisewu. Pakuan Pajajaran  merupakan suatu wadah, suatu tempat untuk menampung aspirasi masyarakat khususnya bagi para seniman yang ada dicisewu. Salah satu upaya yang diusahakan adalah dengan cara melakukan pementasan (Gelar Budaya) yang telah diagendakan. Memelihara dan melestarikan serta menampung semua jenis kesenian tradisi, khususnya tentang kesenian Sunda.            

           Visi ini sempat diutarakan oleh Kang Anggi selaku ketua organisai, beliau mengutarakan demikian :

 “Kegiatan pentas seni yang sering dilakukan oleh Galuh Pakuan Pajajran merupakan wujud rasa kecintaan kami terhadap seni budaya Lokal, sekaligus turut sertanya mengsukseskan tujuan Organisasi kami, khususnya dalam mewujudkan Cisewu menjadi puser budaya Sunda”.

          Adapun Misi dari organisasi Pakuan Pajajaran ini adalah ikut membantu merealisasikan Program Kabupaten. Garut dengan cara menyajikan sebagian jenis kesenian Sunda yang rentan hilang. Proses pencapaian yang dilakukan adalah dengan cara menampilkan seluruh kesenian Sunda yang terdapat di Cisewu. Disamping adanya sokongan dan dorongan dari masyarakat setempat, ini juga merupakan keinginan dari para seniman yang masih peduli terhadap kebudayaan. rasa kepedulian itu mereka tanamkan pada diri mereka sendiri yang kemudian diilustrasikan dengan pementasan kesenian di berbagai kesempatan yang telah diagendakan. Selain itu yang menjadi misi organisasi kesenin Galuh Pakuan Pajajaran adalah membangkitkan, melestarikan dan menjaga seni yang telah dan hampir punah. Menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap warisan budaya leluhurnya. Manumbuhkan kesadaran bahwa seni warisan karuhunnya adalah seni yang adi luhung. punya nilai kontemplatif dan moral yang tinggi. Membuat budaya tanding bagi  seni dan budaya Global (Budaya barat). Menarik psikis generasi muda pada akar budayanya.

 

4.4. Lambang Lingkung Seni Galuh Pakuan Pajajaran

  LS Galuh Pakuan Pajajaran (LS GPP) memiliki lambang yang bermakna kebulatan tekad, ucap serta lampah dalam mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai luhur budaya bangsa khususnya seni budaya daerah (Sunda) (Wawancara dengan ketua organisasi kesenian LS GPP, 27 Desember 2014). Semua visi dan misi dari LS GPP ini mereka jabarkan dalam sebuah lambang yang menandakan keberadaan organisasi ini. Dengan adanya lambang ini masyarakat akan dengan mudah mengenali organisasi yang ada, yaitu LS GPP t. Adapun pemaknaan secara terpisah dari lambang di atas dapat diartikan sebagai berikut: Lambang Gunung dalam pawayangan melambangkan kebesaran seni budaya sunda yang selalu mengalir dalam pemikiran dan sejarah. Bunga Teratai menandakan, keangkuhan, atau keindahan. Kujang siloka dari senjata pasundan atau simbol pekakas yang digumakan oleh orang-orang sunda. Mata Rantai, membina kebersaman dan tali erat persaudaraan. Bintang, selalu menjadi yang paling atas, serta selalu menerangi dari kegelapan.

4.5. Jenis-jenis Kesenian yang dihimpun dan dipentaskan didalam  LS GPP

        4.5.1. Pencak Silat

           Pencak silat atau silat adalah suatu seni bela diri tradisional yang berasal dari Indonesia. menurut kamus besar bahasa indonesia terbitan Balai Pusaka, puncak silat berarti permainan (keahlian) dalam mempertahankan diri dengan kepandaian menangkis, menyerang, dan membela diri, baik dengan atau tanpa senjata. Lebih hususnya silat diartikan sebagai permainan yang didasari ketangkasan menyerang dan membela diri, baik dengan atau tanpa senjata, sedangkan bersilat bermakna bermain dengan menggunakan ketangkasan menyerang dan memperthankan diri.

            Penjelasan dari segi ilmu bahasa ini tidak selalu diterima oleh pendekar-pendekar daerah. Misalnya di pulau Madura, pulai Bawean dan daerah-daerah jawa timur dimana sebagian penduduk berasal dari Madura, istilah pencak silat dibagi dalam dua arti yang berbeda. Menurut guru pencak silat Bawean, Abdus Sjukur. Pencak adalah gerakan langkah keindahan dengan menghindar, yang disertakan gerakan berunsur komedi. Pencak dapat dipertontonkan sebagai sarana hiburan. Sedangkan, silat adalah unsur teknik bela diri, menangkas, menyerang, dan mengunci yang tidak dapat diperagakan di depan umum.

             Penjelasan serupa diajukan pula oleh guru besar Hasan Habudin yang juga pendiri peguruan pamur di Madura:

              Pencak adalah seni bela diri yang diperagakan dengan diatur, padahal silat sebagai inti sari dari pencak tidak dapat diperagakan. Di kalangan suku Madura pencak dianggap berakar dari bahasa madura “apangkarepeng laju aloncak”, yaitu bergerak tanpa aturan sambil meloncat. Sedangkan silat berasal “se amaen alat mancelat” yaitu sang pemain berloncat kian kemari seperti kilat. Seni bela diri ini telah beredar secara luas di Indonesia. Pencak silat juga merupakan olah raga bela diri yang memerlukan banyak konsentrasi. Olah raga pencak silat sudah dipertandingkan di skala internasional. Di Indonesia banyak sekali aliran-aliran dalam pencak silat, dengan banyaknya aliran ini menunjukkan kekayaan budaya masyarakat yang ada di Indonesia dengan nilai-nilai yang ada didalamnya. Boechori Ahmad, pendekar tapak suci di kota Jember, mengakui bahwa istilah ‘pencak’ berasal dari Madura, tetapi menurut dia, akar dari kata ‘pencak’ sebetulnya lain, yaitu ‘acak mancak’ yang berarti melompat ke kiri ke kanan dengan menggerakan tangan dan kaki. Sedemikian pula, interpretasinya tentang arti ‘pencak’ dan ‘silat’ agak berbeda. ‘pencak’ diartikan sebagai fitrah manusia untuk membela diri dan silat sebagai unsur yang menghubungkan gerakan dan pikiran. Meskipun pemahaman arti tidak sama, beliau sependapat dengan guru besar Pamur bahwa ‘silat’ harus dirahasiakan.

Keyakinan ini juga ditunjuk oleh alm. Imam Koesepangat, guru besar Setia Hati Teratai di kota Madiun yang pernah mengartikan ‘pencak’ sebagai gerak bela diri tanpa lawan, dan ‘silat’ sebagai bela diri yang tidak boleh dipertandingkan. Demikian, dalam semua definisi di atas yang menjadi kriteria untuk membedakan arti ‘pencak’ dari arti ‘silat’ adalah: apakah sebuah gerakan boleh ditonton atau tidak. Patokan ini jga menyebar luar di luar daerah Jawa Timur, dan dianut oleh beberapa tokoh nasional. Antara lain Mr. Wongso negoro, salah satu pendiri dan ketua pertama dari wadah persatuan perguruan pencak silat nasional, yaitu Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI), dulu mengatakan bahwa:

            Pencak silat adalah gerakan serang bela yang berupa tari dan berirama dengan peraturan adat kesopanan tertentu, yang biasa dipertunjukan di depan umum. Silat adalah inti sari dari pencak, ilmu untuk perkelahian atau membela diri mati-matian yang tidak dapat dipertunjukkan di depan umum. Tetapi ada juga sebagian pendekar yang memakai kriteria lain untuk membedakan ‘pencak’ dari ‘silat’. Misalnya, Holidin, pendekar Penglipur di ibu kota Jawa Barat, Bandung, lebih menitik beratkan cara pendidikan. Misalnya, ‘pencak’ adalah akal pengetahuan, pengucap dan hak guna pakai, sedangkan ‘silat’ berarti silaturahmi. Jika dua arti ini disambungkan, pencak silat dapat diartikan sebagai pendidikan cara silaturahmi agar menyebarluaskan seni budaya.

 

4.5.2. Seni Reog

             Kesenian reog merupakan jenis kesenian yang terdiri dari empat buah alat musik perkusi yang disebut dog-dog yang di kombinasikan dengan tarian yang lucu serta diiringi lagu dengan sarat pesan sosial dan keagaamaan. Kesenian reog ini dikenal oleh masyarakat sunda namun dalam kesenian reog Sunda tidak ada topeng barong besar dengan bulu merak seperti pada reog ponorogo. Walau memiliki yang sama namun bentuk reog ini berbeda reog Sunda merupakan perpaduan antara musik dan tari, serta didalamnya terdapat kritik sosial. Jika ada persamaan itu terletak ada musik tabuhnya yaitu menggunakan empat dogdog yang dimainkaan oleh empat pelaku. Pada perkembangannya kesenian reog pada saat ini mengalami beberapa perkembangan seperti adanya penambahan waditra gamelan yang terbuat dari besi begitupun juga dengan komposisi pemainnya, biasanya dari keempat pemain itu laki-laki tetapi pada saat ini pemain di rubah menjadi satu perempuan tiga laki-laki atau dua laki-laki dua perempuan.

            Pada saat ini perkembangan kesenian reog yang dulu digunkan dalam acar ritual kini hanya digunakan dalam sifat hiburan yang dalam hal ini erat kaitannya dengan hal ekonomis. Hal tersebut telah menimbulkan kekehawatiran dalam masyarakat. Mereka khawatir nilai-nilai budaya  yang ada pada masyarakat hususnya reog tidak dapat lagi dipertahankan, untuk itu masyarakat termasuk didalamya para seniman dan pemerintah mengharapkan kesenian reog tetap memperlihatkan pungsi awalnya yaitu tetap digunakan dalam acara ritual, misalnya digunkan dalam acara pesta panen (mapag sri) sehingga nilai-nilai budaya yang terdapat didalam kesenian reog tidak ditinggalkan.

4.5.3. Calung

           Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan memukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen(bambu yang berwarna putih). Adapun dalam organisasi Global Art, sekarang ini sudah beberapa kelompok calung yang sudah tergabung dan dihimpun, karena kebanyakan masyarakat sekitar berasal dari seniman calung, maka tidaklah heran keberadaan Global Art ini dapat mempasilitasi mereka dalam berkesenian.

4.5.4. Anglung

            Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara  tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Angklung  terdaftar  sebagai  Karya  Agung  Warisan  Budaya  Lisan  dan  Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010. Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.

Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan  pandangan  hidup  masyarakat  Sunda  yang  agraris  dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lam kehidupan
(hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun kebumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.

Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

Angklung dikenal oleh masyarakat Sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah  semangat  dalam  pertempuran.  Fungsi  angklung  sebagai  pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.

          Selanjutnya  lagu-lagu  persembahan  terhadap Dewi  Sri  tersebut  disertai  dengan pengiring  bunyi  tabuh  yang  terbuat  dari  batang-batang  bambu  yang  dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama  angklung.  Demikian  pula  pada  saat  pesta  panen  dan  seren  taun dipersembahkan  permainan  angklung.  Terutama  pada  penyajian  Angklung  yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke  Kalimantan  dan  Sumatera.  Pada 1908  tercatat  sebuah  misi  kebudayaan  dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana. Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena-tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda-mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

4.5.4.1. Jenis jenis angklung

  1. Angklung kanekes

Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.

Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka  memainkan  angklung di buruan (halaman luas di pedesaan)  sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran,  Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana.  Semuanya  dilakukan  hanya  oleh  laki-laki.  Hal  ini  berbeda  dengan masyarakat Baduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan;  tabu),  tidak  boleh  melakukan  hal-hal  kesenangan  duniawi  yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.

            Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah:indung,  ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung  dipegang  oleh  seorang.  Nama-nama  bedug  dari  yang  terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.

  1. Angklung Gubrag

Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut  padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung). Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.

  1. Angklung Badeng

Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong,Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah  pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.

4.5.5. Karinding

              Karinding merupakan jenis kesenian buhun yang ada di jawa barat, pada jaman dulu musik karinding digunakan sebagai alat pengusir hama di sawah diantaranya burung dan belalang. Tetapi sekarang kesenian karinding dikenal sebagai alat musik saja, dan itupun hanya segelintir orang saja yang mengenalnya. Karinding dikenal sebagai alat musik yang telah dugunakan oleh orang tua jaman dulu. Materil yang digunakan dalam pembuatan karinding yaitu dengan menggunakan pelapah kawung dan bambu. Karinding merupakan waditra jenis alat pukul digunakan dengan cara dipukul mempergunakan telunjuk atau jari tangan tengah dan mulut sebagai wadah gemanya. Beberapa sumber menyatakan bahwa karinding telah ada bahkan sebelum adanya kecapi. Jika kecapi telah berusia sekitar lima ratus tahunan maka karinding diperkirakan telah ada sejak enam abad yang lampau. Dan ternyata karinding pun bukan hanya ada di Jawa Barat atau priangan saja, melainkan dimiliki oleh berbagai suku atau daerah di tanah air, bahkan berbagai suku di bangsa lainpun memiliki alat musik ini hanya berbeda namanya saja. Di Bali bernama genggong, Jawa Tengah menamainya rinding, karimbi di Kalimantan, dan beberapa tempat di “luar” menamainya dengan zuesharp ( harpanya dewa Zues). Ada empat pirigan (pengiring) dalam memainkan karinding dijawa barat  yang pertama bersuara Tongeret alasan suara tongeret ini karena pada jaman dulu tidak ada suara lagi yang dapat ditiru karena suara ini merupakan suara pemberian yang diwariskan oleh para karuhun (leluhur). Tutunggulan, suara ini merupakan sebuah simbol memberikan informasi kepada masyarakat apabila ada yang melakukan hajatan, gerhana bulan, gerhana mata hari atau jenis informasi yang lainnya, dengan mengikuti dan mengiringi suara pukulan halu kelisung (tempat menumbuk padi tradisional)  karena pada masyarakat dulu belum mengenal dengan pengeras suara (speaker). Yang ketiga Iring-iringan, suara iringan ini digunakan untuk mengiringi upacara adat atau acara–acara sejenis arak arakan, dan yang terahir Rereogan, jenis suara ini mengiringi suara reog atau dogdog yang digunakan dalam acara pertunjukan. 

4.5.6. Gegel jubleg

Seni gegel jubleg merupakan sebuah jenis kesenian yang berakar dari seni debus yang dikemas menjadi jenis kesenian helaran magis, jenis kesenian ini tidaklah bisa dilepaskan dari unsur mistis yang sudah lama berkembang dinusantara. Gegel jubleg merupakan jenis kesenian panca warna. Kesenian panca warna merupakan sebutan pada kesenian yang memuat berbagai jenis kesenian, yang dihimpun dalam satu grup yang dapat dipentaskan dalam satu waktu.

            Jubleg adalah salah satu perlatan yang digunakan untuk menumbuk padi atau yang lain-lainnya, kata jubleg ini tidaklah suatu yang asing bagi masyarakat pedesaan karena alat ini merupakan sebuah alat yang sering digunakan untuk mempermudah kehidupan masyarakat trdisional. Dengan kekuatan yang hebat, para seniman yang sudah profesional, memperlihatkan keperkasaan dengan mengangkat jubleg tersebut dengan cara digigit atau digegel. Kesenan ini pun dapat dipadukan dengan jenis kesenian lainnya: seperti seni kuda lumping dan seni angklung.

            Dari beberapa keterangan yang diperoleh dari beberapa seniman. Seni gegel jubleg diciptakan oleh salah satu seniman bernama aki Ukri. Beliau lahir sebelum kemerdekaan Republik indonesia. Ditengah peperangan waktu itu, beliau menyempatkan diri untuk membentuk sebuah kelompok kesenian tradisional, yang diberi nama “panca warna” panca warna ini merpakan sebuah garapan yang multi kesenian yang didalamnya terdapat kesenian seperti: angklung, reog, buncis, calung, kuda lumping.

              Seni gegel jubleg yang merupakan seni ungggulan di Cisewu yang hadir pada kelompok seni giri mekar sewu, kesenian ini lahir secara tidak sengaja yang terinsfirasi dari seekor babi hutan besar yang sedang menggit kayu sembari digoyang-goyangkan, seraya melintasi jalan setapak memasuki semak belukar, insfirasi ini didapatkan sewaktu pa ukri berniat kehutan untuk mengambil kayu bakar yang sudah lama disimpan olehnya.

              Dari kejadian tersebut, menginsfirasi Bapak Ukri untuk menciptakan jenis kesenian baru. Sebuah jenis kesenian antraktif dan fenomenal Pengembangannya Pak Ukri mencoba menggunakan Jubleg (alat penumbuk padi dari kayu) dengan cara digigit sebagai bahan untuk atraksi. Tentu saja dengan teknik tertentu dan perlu keahlian khusus dalam memainkannya. Sebab tidak gampang untuk mengangkat beban jubleg ini hingga seberat 25 kilo gram. Apalagi  digoyang-goyang sambil berjalan-jalan.

              Karena sudah dianggap berhasil dalam pembuatan karyanya, atraksi ini mulai digunakan didalam berbagai pementasan. Baik itu acara hajatan ataupun hari besar kemerdekaan. Dengan tradisi seperi itu dan melihat respon baik dari penonton, tercetuslah sebuah nama seni “Gegel Jubleg” hingga saat ini. Pementasan seni gegel jubleg itu, tentu saja tidak lepas dari pamirig atau pengiring musiknya. Dibubuhi juga oleh seni reog, angklung, bahkan kendang penca. Tak jarang juga dicampuri atraksi gesrek atau debusan. Untuk lebih menghidupkan suasana pertunjukan.

              Disayangkan, seni gegel jubleg hanya bisa berlaga dan berjaya hingga akhir tahun 90-an. Setelah itu lenyap diikuti oleh seni-seni tradisi sunda lainnya. Dampak dari beberapa faktor, salah satunya adalah perubahan politik di Indonesia dari orde baru ke orde reformasi yang menghancurkan hampir seluruh kesenian tradisi di Negara ini.

              Namun, kepunahan seni gegel jubleg tak berlangsung lama. Ceceng Jaenudin, salah seorang warga Kp. Cilumbu, desa Mekar Sewu. Tempat dimana seni gegel jubleg lahir. Ceceng sekuat tenaga membuat terobosan untuk membangkitkan kembali seni tersebut  ditahun 2011, dengan mengikut sertakan dalam kegiatan gelar budaya yang bertema : “Ngajugjug Cisewu Puseur Budaya Pasundan”.

4.5.6.1. Tahapan pementasan Gegel jubleg

a.       Pembuatan Topeng

          Topeng merupakan bagian penting dari seni helaran pancawarna namun keadaannya sudah menghawatirkan dan hanya meninggalkann sebagian kecil yang tersisa itupun posisinya tercecer, sehingga perlu untuk dibuatkan kembali topeng baru. Topeng yang dibuat sekarang tidak berbahan kayu karena bahan baku yang sudah berkurang dan semakin mahal, maka bahan topeng kali ini memakai kertas, dikreasikan dengan riasan dan asesoris untuk menyerupai raksasa atau buta dalam pewayangan.

 

 

b.             Pembuatan Kuda Lumping

Kuda lumping sebenarnya sudah tersedia, namun bentuknya masih sedehana. Maka diusahakan untuk dibuatkan kembali kuda yang baru dengan bentuk yang dimodifikasi sedikit dan tanpa menggunakan cat, agar anyaman bambunya tidak tertutup.

c.              Pembuatan Jubleg

Jubleg ini niscaya dibuat sebab warisan dari nenek moyangnya sudah tidak terselamatkan. Jubleg ini terbuat dari kayu. Pembuatan Bangbarongan, Pengadaan Badawang.

4.5.6.2 Seni Gegel Jubleg: Simbol dan Mitologi

           Kesenian gegel jubleg ini tidak lepas dari muatan mistis sebagaimana seni tradisi lainnya yang berkembang di nusantara, kemasan pemanggungan ini pun menonjolkan sisi trance para pelakunya. Karena kesenian ini didasarkan pada kedudukan Balong Sirah (Mata air yang membentuk kolam besar)  sebagai lambang kehidupan, kemakmuran kecamatan Cisewu, dimana terdapat seribu mata air yang mitologinya sebagai air keramat. Posisi Balong Sirah bagi masyarakat Cisewu sangat vital, sebagai sumber air untuk mencukupi segala kebutuhan kehidupan di cisewu. Maka untuk mengungkapkan rasa syukur terhadap keberlimpahan kehidupan di cisewu diadakan upacara kesenian dengan membawa air dari balong sirah yang cipratkan oleh daun hanjuang beureum.

Cipratan air Balong Sirah dari daun hanjuang beureum ini sebagai simbol memandikan warga, karena menurut mitologinya, banyak pejabat tinggi negara yang mandi dulu di baalong gede sebelum mereka menjadi birokrat, air ini dipercaya sebagai air berkah yang dapat mendorong seseorang untuk mencapai impian yang dicita-citakannya.

            Semua itu, terangkum dalam pertunjukan seni gegel jubleg. Mengungkapkan sisi mistik, mitologi, sejarah kecamatan Cisewu, yang disampaikan melalui bahasa-bahasa yang simbolis, spektakuler. Menjadi senyawa seni yang unik disetiap repertoarnya.

4.5.6.3 Susunan helaran seni Gegel jubleg

Pemain dogdog, kedok dan bangbarongan gerakannya acak tidak rampak diselingi dengan interaksi langsung dengan penonton. (Gambar ini dubuat oleh kang Anggi ketika diwawancarai oleh penulis disanggar seninya).

4.5.7. Lais

Lais merupakan suatu jenis pertunjukan rakyat di Jawa Barat yang mirip akrobat tetapi, karena kegiatan apa pun dalam masyarakat sunda tradisional ini selalu tidak lepas dari kepercayaan penduduknya, maka keterampilan akrobatik yang dilakukan oleh pemain-pemain lais itu pun dipercaya mendapat bantuan gaib. Selain itu, tentu saja lais juga diberi nafas seni dengan dimasukkannya tetabuhan dan dilantunkannya lagu-lagu selama pertunjukan.

Pertunjukan lais ini mempertontonkan keterampilan satu atau dua orang pemain lais yang berjalan atau duduk di atas tali tambang yang direntangkan di antara dua ujung bambu. Tali tambang tersebut selalu bergoyang dan bambunya pun bergerak-gerak selagi menyangga beban dan gerakan pemain lais tersebut. Kesenian Lais ini terdapat dibeberapa seperti Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon dan Bandung. Lais dapat disaksikan pada acara-acara kenegaraan, hajatan, pernikahan ataupun khitanan.

Pertunjukan lais dilakukan dengan cara memancangkan dua leunjeur (batang) awi gombong (bambu berbumbung besar) di tanah kemudian merentangkan tali tambang pada kedua ujung bambu tersebut. Tali tambang diikatkan pada kedua ujung bambu yang dipancangkan tersebut lalu tetabuhan pun dibunyikan sebagai pembukaan juga sebagai pemberitahuan bahwa permainan akan segera dimulai. Hal ini dilakukan untuk mengundang penonton supaya hadir dalam pementasan lais tersebut.

Ketika permainan dimulai, sang dukun (pawang) lais pun siap dengan perlengkapan upacaranya, yaitu sesajen (sesajian) dan pedupaan (kukusan). Bersamaan dengan bunyi tetabuhan, dibakarlah kemenyan dalam pedupaan tadi serta mantera-mantera pun dibacakan. Upacara ini dimaksudkan agar si pemain lais  diberi kekuatan, kelincahan, keterampilan serta keselamatan di dalam permainannya. Busana yang dikenakan oleh pemain lais yaitu busana yang biasa dipakai oleh wanita seperti kain dan kebaya, terutama pemain lais di Priangan. Dengan langkah gemulai, pemain lais yang menurut kepercayaan mulai kemasukan roh gaib  itu menari-nari mendekati salah satu tiang bambu. Ia menyelipkan sebuah payung di pinggangnya. Pada  saat itu terjadilah percakapan antara pemain lais dan pawang.

Sambil menari lagi, Si Lais terus mendekati tiang bambu lalu dengan cekatan  memanjat tiang bambu tersebut seperti seekor kera. Cara memanjatnya yaitu dengan tidak merapatkan tubuh ke batang bambu, melainkan dengan menggunakan tangan dan kakinya.

Pertunjukan lais memakan waktu setengah hari atau bahkan sehari penuh, tergantung kepada yang mengundangnya. Waditra yang digunakan untuk mengiringi pertunjukkan lais sama dengan waditra yang digunakan dalam kendang penca, tetapi ditambah dengan dogdog dan angklung. Para pemain lais terdiri dari laki-laki yang sudah dewasa sebanyak 6 orang, yaitu satu orang pemain lais, satu orang pawang yang kadang-kadang merangkap menjadi pimpinan lais dan yang lainnya adalah para penabuh.

Permainan lais biasanya diadakan di arena terbuka seperti di lapangan atau alun-alun yang tempatnya dianggap luas untuk menancapkan tiang bambu dengan jarak 10-15 meter antara tiang bambu yang satu dengan tiang bambu yang lainnya. Pertunjukan lais bukan merupakan bagian dari suatu upacara. Oleh karena itu, dapat dipanggil setiap saat. Permainan lais ini diturunkan oleh keluarga ke setiap generasi penerusnya.

4.5.8. Gondang

Kesenian gondang merupakan salah satu kesenian tradisional yang ada dijawa barat yang hidup dimasyarakat tradisional agraris, adapun kesenian gondang ini merupakan salah satu kesenian yang  menggambarkan kehidupan masyarakat agraris pada saat itu, baik cara mengolah tanah, maupun dengan cara mengolah hasil taninya secara tradisional. Kesenian gondanag ini merupakan salah satu simbol kehidupan masa lampau negara agraris sebelum adanya teknologi, yaitu tiada lain untuk mengolah padi dengan cara ditumbuk dengan menggunakan halu dan lisung yang dilakukan oleh beberapa orang, sehingga menimbulkan bunyi dari halu dan lesungitu. Ciri khas tersebut tersebut diwujudkan dengan adanya roses tutunggulan yang merpakan hasil dari bunyi-bunyian yang dihasilkan dari halu dan lesung tersebut yang membentuk pola ritme.

             Dalam kesenian gondang terdapat tutunggulanyaitu sutu hiburan yang digarap oleh para gadis petani, seakan-akan memperlihatkan kepandaiannya sambil menyanyi dan penari, yang tidak jauh dari tempat tersebut dimana tempat para gadis itu menumbuk padi pada lesung. Kemudian para pemuda memperhatikan keterampilan gadis yang sedang menumbuk padi itu. Maka disitulah para pemuda dan berunding untuk memilih supaya tidak tertuju pada wanita yang sama.

              Kesenian gondang menggunakan beberapa alat diantaranya halu, lisung, nyiru dang pengiring yaitu kecapi, suling, kendang dan goong. Unsur musik tradisioanal yang terdapat pada kesenian gondang termasuk kedalam jenis musik ansambel instrumen terdapat proses tutunggulan yaitu perpaduan bunyi-bunyian antara halu dan lisung yang dimainkaan, sedangkan ansambel campuran terdapat pada sekar yang diiringi oleh instrumen tradisional atau karawitan. Pada saat ini halu dan lisung untuk menumbuk padi, sudah jarang sekali ditemukan, Padahal alat itu merupakan benda yang penuh dengan makna simbolis khas suku Sunda, yang menandakan budaya agraris, dengan menggunakan halu dan lisung untuk mengolah padi. Hal tersebut dikarenakan pada zaman sekarang terdapat teknologi mesin untuk mengolah padi. Dengan demikian banyak generasi sekarang yang tidak mengenal halu dan lisung begitupun terhadap bentuk kesenian gondangnya. Agar para generasi muda di desa dapat mengenal kesenian gondang yaitu dengan cara mempertunjukan kesenian gondang dengan mengikut sertatakan generasi muda.

4.5.9. Teater Tradisional

            Teater tradisional adalah bentuk pertunjukan yang pesertanya dari daerah setempat karena terkondisi dengan keadaan adat istiadat sosial masyarakat dan struktur geografis daerah tersebut. Adapun jenis-jenis teater tradisional terbagi menjadi beberapa jenis di antaranya adalah : Ubrug, longser, ogel dan pantun sunda.

4.5.10. Kacapi Suling

Merupakan kesenian yang menggunakan alat musik kecapi dan suling. kesenian ini biasanya dipentaskan dalam berbagai kesempatan yang bernuansa Sunda. tidak semua orang bisa memainkan kesenian ini, karena harus mempunyai keterampilan tersendiri. pada organisasi Global Art ada beberapa kelompok yang telah dibina. dan pada beberapa kesempatan sering dipertunjukkan dalam berbagai acara maupun pementasan yang dilaksanakan pada saat pagelaran budaya yang telah diagendakan.

4.5.11. Singa Depok

Singa Depok, Sisingaan adalah jenis kesenian helaran tradisional atau seni pertunjukan rakyat yang dilakukan dengan arak-arakan dalam bentuk helaran. Pertunjukannya biasa ditampilkan pada acara khitanan atau acara-acara khusus seperti; menyambut tamu, hiburan peresmian, kegiatan HUT Kemerdekaan RI dan kegiatan hari-hari besar lainnya. Didalam seni sisingaan terdapat unsur-unsur seperti; seni tari, olah raga (Pencak Silat dan Jaipongan), seni karawitan, seni sastra dan seni busana Semua unsur tersebut berpadu dan bersinergi membentuk suatu tari dan lagu dan biasanya ditambah dengan gerak akrobat yang membentuk formasi seperti standen.

4.5.12. Tari Jaipong.

Tari Jaipong, Jaipongan adalah sebuah jenis tari pergaulan tradisional masyarakat Sunda, Jawa Barat, yang cukup populer di Indonesia. Tari jaipong diiringi musik Sunda yang bermacam-macam, dan memiliki gerakan yang beragam bentuk juga. pada pertunjukkan Gelar Budaya yang diselenggarakan oleh Global Art, kesenian jaipong banyak diminati oleh masyarakat sehingga tidak heran banyak penikmat seni yan sengaja datang untuk melihat pagelaran ini.

 

4.6. Jenis Kegiatan yang telah dilakukan oleh Organisasi Kesenian Globl Art

    TABEL 4

 

TANGGAL

KEGIATAN

 

JENIS KEGIATAN YANG TELAH DILAKSANAKAN

     22 Maret 2009

    

    

     01 April 2009

 

     15 April 2009

 

     29 April 2009

 

     20 Mei 2009

 

     28 Mei 2009

 

     

  

     28 Oktober 2009

 

     20 Februari 2010

     15 April 2010

 

      21 Mei 2010

 

      17 Juni 2010

 

      6 Januari 2011

      12 Februari 2011

 

      17-18 Juni 2011

 

      28 Januari 2012

 

      15 Sep2012

 

      23 Juli 2013

  

      23 Mei 2015

LS GPP melakukan launching dengan cara helaran mengelililngi Desa Cisewu.

Melaksanakan talkshow (tema: Budaya Sunda),  di salah satu radio komunitas di kecamatan Cisewu.

Menggelar pementasan seni teater dengan judul lakon:”AirMata MataAir” . Tempat: di Balai Serbaguna Desa Cisewu.

Menggelar pementasan drama, judul lakon ”Bedil” karya/sutradara: Rohana, GP

Mengadakan Acara Gelar Budaya, dengan tema: “Ngalacak Warisan Karuhun” tempat di Lapang Lemah Luhur Desa Cisewu.

Bekerja sama dengan radio komunitas Rasi fm, melaksanakan program upaya tanggapi bencana alam. Dengan cara memperbaiki sepanjang jalan desa Cikarang, kecamatan Cisewu-Garut. Yang terputus karena longsor.

Melaksanakan pasanggiri calung se-kecamatan Cisewu. Diikuti 8 kelompok kesenian.

Melakukan pengukuhan LS GPP cabang Cikangkung. Dengan pengisi acara “kelompok degung SMP 1 Cisewu”.

Mendirikan kelompok teater di SMKN 11 Garut. Dengan Pembina: Intan Widuri

Melatih cara membaca puisi dan baca dongeng di SDN Cisewu V. Untuk persiapan perlombaan tingkat kabupaten.

menggelar pementasan teater dengan judul lakon” Cinta Pabaliut” karya/sutradara: Mela Kamelawati.

mengadakan lomba menulis puisi bertema: Kerusakan Lingkungan.

mengadakan pelatihan cara membaca dongeng Sunda tingkat anak-anak SD.

Membuat event gelar Budaya, dengan tema: “Menuju Indonesia Yang Maju Berbasis Kebudayaan Lokal Jeung Naratas Jalan Karuhun Pikeun Ngawujudkeun  Cisewu Jadi Puseur Budaya Pasundan 2013”. Bertempat di halaman kantor kecamatan Cisewu.

menggelar pementasan berbagai seni tradisi, bertempat di kampung Cikangkung, Rt 02/Rw 06, desa Cisewu.

Mengikuti Festival Arak-Arakan program DISPARBUD Provinsi Jawa Barat di Kabupaten Banjar.

Mengadakan reboisasi dengan anggota dan pengurus, dihutan Desa dan pinggiran jalan dengan.

Mengikuti Arak-arakan di Kabupaten Gartut dalam rangka memperingati hari jadi Provinsi Jabar yang ke 70.

 

4.7. Peran LS Galuh Pakuan Pajajaran Bagi Masyarakat, Seniman, dan Pemerintah Setempat

4.7.1 Peran LS GPP Bagi Masyarakat

             LS GPP begitu memiliki peranan dalam masyarakat sebagai organisasi penggerak dan pelestari kebudayaan. Karena melihat dari visi dan misinya organisasi ini bercita-cita menjadikan Desa Cisewu menjadi salah  satu puser budaya sundaOrganisasi ini memiliki peran aktif serta rasa tanggung jawab terhadap pemerintah pusat maupun pemerintah daerah serta masyarakat sekitar. Karena pada prinsipnya LS GPP Artini merupakan sebuah bentuk dedikasi anak bangsa yang kreatif dan proaktif di dalam rangka turut serta mewujudkan visi dan misi Organisasi. Kegiatan yang sering dilaksanakan oleh LS GPP ini merupakan sebuah pagelaran yang positif, dalam rangka mewujudkan Cisewu menjadi Puser budaya yang taat terhadap nilai peninggalan leluhurnyaSecara terperinci, peranannya adalah dengan  :

            Menumbuh kembangkan Budaya Sunda, dengan tujuan agar budaya Sunda yang dimikiki akan tetap eksis dan terpercaya, disamping agar tidak diambil dan diakui oleh Negara lain. Seperti halnya lagu Rasa sayang, Reog ponorogo dan jenis kesenian lainnya  yang telah dirampas dan diakui oleh negara Malaysia, padahal yang sesugguhnya lagu tersebut jelas lagu produk Negara Indonesia. Melestarikan budaya merupakan hal yang harus diperhatikan agar kebudayaan yang dimiliki tidak hilang dan tergantikan dengan kebudayan lain. Bagaimanapun juga kebudayaaan daerah merupakan asset terbesar yang dimiliki oleh suatu Negara. Menjaga eksistensi Budaya Sunda baik secara regional, nasional, maupun internasional. Pentingnya pengakuan dari pihak dalam negri serta luar Negeri merupakan faktor pendukung dari pelestarian kebudayaan, dan yang terpenting adalah pengakuan dari dalam Negeri. Hal ini dibuktikan karena dengan adanya dukungan ini akan menjajikan kebudayaan Sunda tetep eksis, dan bahkan kebudayaannya akan lebih berkembang. Menjadikan kesenian Sunda lebih berpariatif, sehingga masyarakat yang menyaksikan menjadi tertarik dan merasa tidak bosan dalam menyaksikannya, seperti yang dituturkan oleh salah seorang pengunjung yang bernama Ibu Rasmanah dan Bapak Asep ketika ditemui di lapangan.

“Saya merasa sangat senang melihat pertunjukkan ini, karena pertunjukannya lain dari yang lain, selain penampilannya yang indah juga ada kombinasi dari penampilan kegiatan yang lain. Sehingga saya merasa tidak bosan saat menonton. Pagelaran ini adalah salah satu jenis kegiatan yang saya tunggu-tunggu sejak lama dan saya sangat asik dalam menyaksikannya”(wawancara dengan pengunjung saat dilapangan pagelaran)

Dari penuturan tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan organisai LS GPP  ini memberikan kontribusi yang positif bagi pengunjung. Karena sejauh penulis melekukan penelitian dengan cara mewawancarai pengunjung, hampir 85% mengatakan bahwa mereka merasa sangat nyaman dan senang dengan keberadaan organisai ini. Karena mereka merasa terbantu dalam hal pemenuhan kebutuhan dalam halnya kebutuhan tersier. Seperti yang dikemukakan oleh bapak Wawan dan juga Bapak Asep dan Ibu Ai saat diwawancarai.

 “Saya merasa terbantu dalam hal kepentingan rekreasi, karena jika harus pergi ke Daerah lain, sangatlah ribet dan memerlukan biaya serta uang yang besar. Karena jika melihat saat ini tempat-tempat rekreasi seperti ke Bioskop dan tempat lain tidak memiliki uang yang cukup, jadi saya memilih untuk pergi ketempat ini saja selain tempatnya terjangkau, juga untuk pergi ke tempat ini dapat ditempuh dengan jalan kaki sambil olahraga”. Wawancara pada tanggal 21 maret 2015.

            LS GPP ini sangatlah berpengaruh terhadap kelestarian kebudayaan. Karena dengan adanya LS GPP ini secara tidak langsung, masyarakat dapat mengetahui kebudayaan-kebudayaan sunda yang ada, khususnya di Cisewu. Karena masyarakat dan kebudayaan itu tidak dapat dipisahkan keberadaanya. Tidak akan ada masyarakat tanpa kebudayaan, begitu pula sebaliknya. Antara masyarakat dan kebudayaan itu sama-sama memiliki arti penting terhadap eksistensinya.

            LS GPP  sebagai organisai kemasyarakatan, merupakan satu organisai yang mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat serta pemerintah. Banyak hal yang sering dilakukann oleh LS GPP, selain melakukan pementasan LS GPP juga membantu pemerintah setempat dalam menjungjung tinggi nama baik Cisewu, dan ini pun telah diakui oleh Kasi Kesenian DISPARBUD yang menyatakan bahwa keberadaan ini memang sangat membantu terhadap ke eksistensi kesenian tradisi yang ada di Cisewu.

           Untuk itulah organisai seni ini di dirikan supaya ada yang meng koordinir dan menggerakan masyarakat untuk sadar serta menjaga kebudayaan bangsa yang ada supaya tidak lenyap. Dengan cara memegang prinsif akan mengembangkan dedikasi anak bangsa yang kreatif dan proaktif dalam mewujudkan cita-cita bersamanya. Keberadaan organisasi ini, telah diketahui dan di sahkan. Pada tulisan sebelumnya dijelaskan pula tentang pelestarian karya seni dengan didasari Sembilan prinsip, yang semuanya berkaitan dengan kelestarian serta keeksistensian kesenian sunda. Serta ada kaitannya dengan tujuannya yaitu ingin menghasilkan karya seni yang berorientasi pada kualitas dan kuantitas. Dengan kokohnya silaturahmi akan memperkokoh keutuhan bangsa. Selain itu juga dijelaskan tentang tujuan dari pelestarian seni tradisional yang jika disesuaikan dengan tujuan dari berdirinya organisasi seni  ini sangatlah berkaitan, karena mengingat tujuan didirikannya organisai LS GPP adalah ingin mengembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk dapat  melestarikan kesenian khususnya kesenian tradisional.

         LS GPP ini memiliki peran sebagai organisai yang menggerakkan kebudayaan bernuansa sunda yang berada di Cisewu agar kesenian sunda tetap eksis dan dikenal oleh masyarakat, khususnya Desa Cisewu. LS GPP ini selain berperan untuk memajukan kebudayaan tradisional, juga lebih memperhatikan pemuda dan remaja setempat agar peduli terhadap kebudayaan. Dengan adanya organisasi ini diharapkan masyarakat sadar akan keberadaan kesenian sunda sebagai pembentuk kebudayaan, karena bagai manapun juga pemuda itu adalah sebagai penerus bangsa. Jika pemudanya tidak memperhatikan kebudayaan sendiri, maka siapa lagi yang akan peduli terhadap kebudayaan kita.

4.7.2 Peran Organisasi Lingkung Seni Galuh Pakuan Pajajaran bagi para Seniman 

            Hampir semua seniman yang tergabung kedalam organisasi ini mengaku merasa terbantu dalam segala hal. Para seniman tersebut merasa diakui oleh pemerintahan setempat maupun aparat terkait. Karena organisasi seni LS GPP  telah mewadahi para seniman yang berada di jalanan, juga menjadikan seniman tersebut memiliki perlindungan dari pemerintah. Pada Undang-Undang perda no 05 Pasal 14 dituliskan bahwa setiap seniman berhak: Berekspresi dan berkreasi seni sesuai dengan nilai estetis dan etis yang hidup di masyarakat; Memperoleh kemudahan dalam mempresentasikan, mempertunjukkan, dan memamerkan karyanya; Mendapatkan apresiasi bagi karya seni dan kegiatan kesenian yang bermutu; dan Mendapatkan rasa aman dalam berkarya seni dan berkegiatan kesenian. Dengan adanya peraturan seperti diatas, bahwa setiap seniman itu telah dilindungi dan wajib mendapatkan peradilan dari masyarakat, maka sudah selayaknya kita masyarakat untuk tidak lagi memandang sebelah mata kepada para seniman jalanan yang tersebar di hampir seluruh wilayah. dengan adanya organisasi ini para seniman, setidaknya merasa aman dalam melakuakan kegiatannya. karena orgaanisasi ini pula telah mengusahakan kepada pemerintah setempat untuk mendapatkan peradilan dari pemerintah ataupun masyarakat. karena beberapa seniman tersebut sedikitnya telah mengangkat dan berpartisipasi menjadikan Cisewu sebagai puser  budaya sunda, namun tentunya dengan hal-hal yang positif dengan mempertunjukkan keahliannya dalam berekspresi terutama pada kesenian tradisional yang saat ini hampir punah.

4.7.3  Peran Lingkung Seni Galuh Pakuan Pajajaran Bagi Pemerintah Setempat

            Selain memiliki peran yang penting kepada masyarakat LS GPP ini juga memiliki peran bagi pemerintah setempat dalam merealisasikan program yang telah diagendakan, seperti halnya apa yang dikatakan oleh  Bapak Edi Supriyadi selaku Sekmat Cisewu beliau mengungkapkan:

"Dengan adanya LS GPP ini kami merasa terbantu dalam meningkatkan nilai kebudayaan lokal, serta melihat kegigihan dan keuletan para seniman yang tergabung dalam organisasi ini kami merasa bangga ternyata di era seperti sekarang masih saja ada segelincir orang yang masih peduli terhadap kesenian Sunda yang oleh sebagian masyarakat dianggap kampungan. Yang memang dalam kenyataannya hal ini haruslah diperhatikan. Oleh sebab itu, kiranya pantas memberi dua jempol untuk para seniman binaan Galuh Pakuan Pajajaran ”. Wawancara 

Selain Bapak Edi Supriyadi  juga diungkapkan oleh BRIPKA Dikdik Gunardi selaku Kanit Reskrim Polsek Cisewu, Beliau menuturkan demikian :

“Selama kegiatan yang ditampilkan oleh Pakuan Pajajaran ini tidak melewati batas serta masih menggunakan hak-haknya, maka kami tidak akan melarang kegiatan yang berlangsung. Justru kami merasa bangga dengan apa yang telah dilakukan, karena dengan adanya kegiatan ini secara tidak langsung  masyarakat akan mengenali kesenian Sunda yang ada di Indonesia yang sedang sekarat, walaupun tidak semua kesenian itu ditampilkan secara keseluruhan”.

Dari  pendapat tersebut dapat dilihat bahwa organisasi ini telah mendapat respon positif dari aparat pemerintah, bagaimana tidak dengan adanya kegiatan ini Cisewu telah memperlihatkan tentang eksistensi keseniannya, terutama kesenian sunda. Karena sesuai pula dengan apa yang tertera dalam Lampiran-lampiran yang ada :Seni budaya calung, pecak silat, helaran, karinding, singa depok dan lais telah mendukung program pemerintah Cisewu dalam membangun kembali seni tradisi.

Tentunya kegiatan seni budaya yang ditampilkan itu tidak lepas dari bimbingan organisasi LS GPP , karena semua kesenian yang ditampilkan tadi telah tergabung dalam salah satu jenis kegiatan yang sering ditampilkan oleh Global Art dalam setiap kesempatan pagelaran.

4.8.Faktor Pendorong Dan Penghambat Perkembangan Lingkung Seni Galuh Pakuan Pajajaran

Adapun yang menjadi faktor pendorong di dirikannya LS GPP ini adalah:

a.                   Adanya rasa keprihatinaan terhadap kesenian dan budaya lokal yang sedang sekarat, tertindas oleh budaya luar.

b.                  Adanya sokongan dan dukungan dari para anggota kesenian yang memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap kebudayaan sunda. Secara relaitas, jika diperhatikan dalam era saat ini, semangat juang para seniman di dalam upaya mengangkat dan peningkatkan nilai-nilai luhur seni budaya tradisional sudah terbilang menurun. Sehingga nilia-nilai budaya yang ada menjadi terabaikan begitu saja. Dengan mudah budaya luar akan masuk dan memperdaya kebudayaan yang telah ada. Padahal jika  diperhatikan secara seksama bahwa kekuatan dari suatu bangsa itu terletak pada seni budaya yang dimiliki oleh bangsanya sendiri.

c.                   Semakin bertambahnya para pecinta kesenian yang ikut antusias untuk bergabung dan menjadi anggota LS GPP, sehingga bertambahnya dorongan yang menjadikan organisasi ini tetap berdiri serta mengembangkan kesenian yang ada. Dalam kenyataannya semakin kesini, anggota seniman yang tergerak dalam bidangnya semakin bertambah dan ikut meramaikan pertunjukan yang sering lakukakan. Walau kadang ada anggota yang keluar masuk dalam kepengurusan.

d.                  Adanya dukungan dari pemerintah setempat untuk tetap melestarikan dan melanjutkan kebudayaan sunda. Karena pihak pemerintah setempat merasa terbantu dalam hal pengangkatan harkat dan martabat masyarakat Cisewu ( wawancara dengan pihak pemerintah terkait, pada 23 pebruari 2015). Karena bagaimanapun juga suatu masyarakat yang berkembang dan dapat diakui oleh masyarakat lain, itu disebabkan karena pengorganisiran dari pihak pemerintah yang berjalan baik, sehingga masyarakatnya dapat terorganisir dengan baik pula.

Berangkat dari alasan inilah yang menjadi acuan dan semangat juang para seniman yang ikut tergabung dalam organisasi ini. Begitu banyak dan beragam pendapat dan masukkan dari hasil rempugan dari para anggota beserta ketua yang ikut bergabung dalam kelompok ini, sehingga menjadikan kelompok seni dapat bertahan dan terus berkembang. Sokongan serta dukungan yang terus berjalan, menjadikan organisasi ini untuk tetap eksis dan maju. Semakin berkembangnya kebudayaan dan kesenian yang ada di Cisewu, maka Cisewu akan cepat menjadi Desa yang maju. Banyaknya dorongan yang ada menjadikan LS GPP tetap eksis dan sampai saat ini semakin berkembang. Keberadaan Organisasi ini sangatlah baik karena selain mempertahankan Budaya Sunda yang ada juga akan mengangkat nama baik Desa Cisewu.

Adapun yang menjadi faktor penghambatnya adalah:

A.                Galuh Pakuan Pajajaran ini masih belum memiliki sarana untuk melaksanakan pementasan karena sampai saat ini LS GPP melaksanakan pementasannya masih di lahan yang tidak dapat menampung para penonton yang banyak.

B.                 Selain sarana, ada juga prasarana yang masih dibutuhkan, seperti yang dituturkan oleh Kang Anggi ketika ditemui di Sanggarnya mengatakan “sampai saat ini kami belum mempunyai waragad  (pembiayaan) yang terpokus membiayai organisasi kami untuk membeli alat kesenian saja terpaksa kami harus menggunakan uang sendiri, Pemerintah setempat masih belum optimal dalam mengupayakan eksistensi organisasi ini, jika saja pemerintah setempat lebih memperhatikannya maka perkembangan kebudayan yang ada di Cisewu akan dengan mudah tercapai. Ditambah lagi dengan alat-alat latihan yang terbatas setidaknya menghambat LS GPP untuk maju.

C.                 Sumber daya yang terbatas menyebabkan LS GPP kadang mengalami keputusasaan dalam pengembanganya, ditambah para anggota tidak paham betul dengan sistem keorganisasian karena kebanyakan dari para anggota belum mengerti tentang bagai mana cara memanaj suatu organisasi.

4.9Tanggapan Masyarakat Terhadap Kegiatan Pementasan Galuh Pakuan Pajajaran

             Jika berbicara tentang tanggapan masyarakat terhadap suatu kelompok ataupun satu instansi tentunya selalau ada yang pro dan kontra, hal ini dapat terjadi karena antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya memiliki perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat yang berlainan ini terkadang menjadi hal penghambat dari pembentukan suatu organisasi. Namun jika dapat dimenej dengan baik maka perbedaan ini akan menjadikan masukan ataupun tanggapan terhadap organisasi yang dibina.

Tanggapan masyarakat terhadap kegiatan yang dilaksanakan, sangatlah baik karena mereka merasa terbantu untuk meramaikan suasana. Karena tidak sedikit dari mereka ada merasa kebingungan untuk mencari tempat wisata yang murah dan dapat terjangkau. Apa lagi di daerah Cisewu ini sebagian masyarakatnya masih menyukai kesenian-kesenian Sunda. Mereka beranggapan bahwa kesenian sunda itu sangatlah unik. Dengann adanya organisasi yang sering melaksanakan pementasan dalam setiap minggunya atau setiap tahun, menjadikan warga masyarakat berbondong-bondong untuk menghadiri acara pementasannya. Beberapa orang yang ditemui ketika kegiatan berlangsung mengaku bahwa mereka selalu menantikan pementasan itu dilaksanakan, apalagi disana terdapat satu kesenian sunda yang Bernama “REAK”. Reak itu sendiri diambil dari bahasa Sunda yang berarti “Rame dan eak-eakan” dalam bahasa sunda rame berarti riuh rendah suara pemain dan partisipasi dari penonton. 

Adapun tanggapan negatifnya adalah, sebagian masyarakat merasa risau karena setiap kegiatan berlangsung jalanan yang sering mereka lewati menjadi sempit dan sering terjadi kemacetan. Hal ini terjadi karena banyaknya peminat yang berbondong-bondong ingin melihat pementasan yang di pentaskan oleh LS GPP. Banyak sekali masyarakat yang sengaja datang untuk melihat Gelar Pentas Seni Budaya yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2009 sampai 2014 saat ini.

4.10. Analisis Sosiologi Tentang Keberadaan LS Galuh Pakuan Pajajaran

                Indonesia sangatlah kaya akan seni dan budaya. Mulai dari ujung pulau sebelah barat hingga timur. Banyak rupa dan macam macam kebudayaan Indonesia yang perlu di apresiasi dan di lestarikan. Walaupun gempuran budaya asing yang semakin membeludak maka disinilah harus ada upaya dari semua pihak agar budaya Indonesia bisa lestari demi anak cucu Indonesia yang akan datang.

Siapa lagi yang mencintai Budaya Sendiri, kecuali warga Negaranya sendiri. Uniknya, sebagian dari penduduk Indonesia terkadang melupakan kebudayaan sendiri dan lebih bangga terhadap kebudayaan asing, tapi bangsa lain justru tertarik dengan budaya Indonesia. Bahkan ada beberapa kebudayaan asli Indonesia diklaim milik negera tetangga. 

Kebudayaan Indonesia yang merupakan gabungan dari  macam macam budaya lokal di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke Sangat unik dan beraneka ragam mulai dari seni tarian tradisional, upacara adat, pakaian tradisional, makanan khas, hingga adat istiadat. Walaupun berbeda beda tapi tetap satu yaitu Bhineka Tunggal Ika.

Untuk itulah perlu adanya sebuah organisasi yang bertugas mengatur dan menggerakkan masyarakat untuk sadar dan tetap memelihara kebudayaan yang dimiliki. Sebuah Organisasi merupakan wadah yang berdiri dalam sebuah masyarakat yang didalamnya terdapat norma dan aturan yang mengaturnya. Dengan adanya norma, maka suatu organisasi itu dapatlah terorganisir dengan baik. Adapun yang menjadi dasar berdirinya Organnisasi adalah terdapatnya ketua dan anggota yang membantu kelancaran suatu organisasi atau lembaga itu untuk dapat menjalankan kegiatannya.

Pada hakikatnya, masyarakat dalam kesehariannya tidak dapat berjalan dengan baik karena organisasi itu pada dasarnya merupakan sebuah lembaga yang berguna untuk membantu masyarakat dalam beraktifitas, jenis–jenis organisasi itu ada banyak sekali macamnya ada yang merupakan organisasi kemasyarakatan dan ada juga organisai yang berhubungan dengan kepemerintahan.

Suatu organisasi untuk dapat berdiri dengan kokoh itu haruslah memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalamnya, seperti dalam organisasi ini haruslah memiliki pola-pola serta pemikiran–pemikiran dan aktifitas kemasyarakatan yang dapat dengan mudah dipahami serta diterima oleh masyarakat yang bersangkutan. Jika organisasi itu telah memenuhi persayaratan tersebut maka masyarakat akan dengan mudah menerima dan menganggapnya sebagai organnisasi yang sangat diperlukan oleh masyarakat.

Untuk dapat tetap berjalan dengan mulus organisasi juga haruslah memiliki tujuan yang sama antar satu anggota dengan anggota yang lainnya, maka tujuan dari didirikannya organisai itu haruslah ditentukan serta disepakati dahulu sebelum didirikan. Kesamaan tujuan serta kesepakatan akan lebih memudahkan organisasi tersebut untuk dapat melakukan hal-hal yang memang harus dibentuk. Dengan kata lain kesamaan visi dan misi itu haruslah sesuai dengan relisasinya.

            LS GPP ini telah melaksanakan beberapa ketentuan serta persyaratan didirikannya organnisai, maka hingga sampai saat ini LS GPP masih dapat berdiri dan semakin berkembang. Faktor lain yang mendukung suatu organisai itu untuk tetap berdiri adalah karena adanya sokongan serta dukungan dari masyarakat setempat juga adanya pengakuan dari instansi yang berada diatasnya.

LS GPP ini termasuk kedalam jenis organisasi yang dapat diterima oleh masyarakat secara baik (approved atau sosial sanctioned institutions). Karena masyarakat setempat maupun pemerintah telah menyambut baik keberadaan organisasi ini. Bahkan organisasi ini telah mendapat beberapa penghargaan dari beberapa instansi yang terkait. Beberapa pangam dan paiala telah berhasil diraih. Untuk itu pemerintah Desa Cisewu merasa terbantu dengan keberadaannya karena saat ini Cisewu menjadi yang peduli akan kebudayaan tradisional, yang pada hakikatnya Undang-Undang tentang pemberdayaan kesenian yang termasuk salah satunya kepada kebudayaan telah mendapat perhatian dari masyarakat dan pemerintah yang menyatakan bahwa kesenian tradisional itu haruslah mendapat perhatian khusus dengan cara dilestarikan dan diakui keberadaannya secara tertulis maupun tidak tertulis. 

4.10. Analisis Pendidikan Tentang Keberadaan Lingkung Seni Galuh Pakuan Pajajaran

         Kearifan lokal merupakan usaha untuk menemukan kebenaran yang didasarkan pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam sebuah budaya masyarakat tertentu. Proses ini akan menghasilkan pengetahuan yang menggambarkan tentang kearifan lokal itu sendiri, yaitu gambaran mengenai sikap atau tingkah-laku yang mencerminkan budaya asli suatu daerah tertentu. Kegiatan-kegiatan LS GPP dapat dijadikan sebagai sumber materi dan nilai-nilai yang harus ditanamkan dalam pembelajaran di sekolah.

Upaya pengembangan pendidikan dengan pembelajaran  yang berbasis kearifan lokal tidak akan terlaksana dengan baik tanpa peran serta masyarakat secara optimal. Keikutsertaan berbagai unsur dalam masyarakat dalam mengambil prakarsa dan menjadi penyelenggara program pendidikan merupakan kontribusi yang sangat berharga, yang perlu mendapat perhatian dan apresiasi dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan.

Menurut Dewi Marganingsih (Dikutip dari Media Berita dan Pengembangan profesi) Kearifan lokal sesungguhnya mengandung banyak sekali keteladanan dan kebijaksanaan hidup. Pentingnya kearifan lokal dalam pendidikan secara luas adalah bagian dari upaya meningkatkan ketahanan nasional kita sebagai identitas sebuah bangsa. Pendidikan bukan sekedar mengajarkan sesuatu yang benar dan yang salah tetapi pendidikan juga menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotorik). ***

 

 

 

 

 

 

 

 

 



Posting Komentar

0 Komentar