SKRIPSI: "PEMIKIRAN ARTHUR S. NALAN TENTANG KHAZANAH TEATER RAKYAT JAWA BARAT"
Penulis : Gun Gun Nugraha
Tulisan ini dilindungi UU HAK CIPTA
Mohon yang mengcopy harus seijin penulis
Selamat Membaca.............
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
“300 jenis kesenian tradisi di Jawa Barat sedang mengalami sekarat sebagian sudah punah“. Begitulah menurut buku, Deskripsi Kesenian Jawa Barat yang ditulis Arthur S. Nalan dan Ganjar Kurnia. Dari jumlah tersebut, termasuk teater rakyat Jawa Barat, berdasarkan pendataan Disbudpar ada 36 jenis. Masuk dalam wilayah memprihatinkan. Bagi yang mengenal, mengetahui, memahami, dan menghayati.
Sebagian dari kita tentu ingat, dengan Longser, Pantun, Uyeg, Ogel, Sandiwara, Masres, Manorek, dan masih banyak taeter rakyat lainnya. Dulu merentangkan kekuatan kejeniusan para senimannya. Berdampak pada pembentukan identitas orang Sunda. Namun sekarang, pasang surut dan gulung tikar terlakoni, mencerabut kepribadian orang Sunda. Hanya abadi dalam buku-buku dan karya-karya ilmiah. Tidak menorehkan efek menggairahkan bagi kesenian.
Kondisi semacam itu merupakan sebuah tantangan yang berat bagi para akademisi, pemikir atau pemerhati budaya, fraktisi, serta sejumlah orang dan lembaga yang masih terkait serta memiliki kepedulian untuk melestarikan dan mengembangkan. Yang diawali dengan penggalian secara radikal, guna menemukan unsur-unsur yang terkecil dari sebuah komponen teater rakyat. Karena teater rakyat yang muncul ke permukaan, diibaratkan sebuah gunung es di tengah lautan. Pembongkaran harus di lakukan, dengan konsep ‘T’ besar−Istilah Saini KM. Sampai serpihan-serpihan budaya, yang berserakan terkumpul, satu landasan untuk revitalisasi.
Saat ini teater rakyat butuh sosok ilmuwan seni, juru bicara, bahkan advokat seni, sekaligus sebagai fraktisi, seperti Arthur S. Nalan. Menjadi satu dalam jiwa keberpihakan yang murni. Karena untuk konservasi dan revitalisasi teater rakyat, tidak cukup berbicara di atas meja seminar dan diskusi. Berjubel wacana, berdesak-desakan teori, menambah rentetan predikat akademik. Tanpa aplikasi di lapangan. Hidup sebagai pelaku kesenian, itu yang lebih berdaya guna. Kesenian rakyat secara makro, teater rakyat secara mikro. Tidak cukup hanya diteliti, menambah koleksi laporan penelitian. Namun wujud kongkret pikiran, gagasan, menjadi lebih penting dalam kondisi teater rakyat dewasa ini.
Penulis pikir, ini bukan subjektifitas. Objektifitas menjadi dasar untuk sebuah penilaian. Arthur S. Nalan telah menyeimbangkan diri di dua wilayah kesenian. Teoritis dan fraktis. Pelbagai laporan penelitian, buku-buku, dan karya-karya ilmiah tentang teater rakyat telah ditorehkan. Sebagai rujukan dirinya dan pengkaji serta pelaku seni lainnya. Untuk kegiatan-kegiatan berkesenian. Begitu pun dengan naskah-naskah drama dan pertunjukan seni teaternya yang mengambil idiom-idiom teater rakyat, telah diguriskan mengisi bentangan sejarah perjalanan panjang teater rakyat Jawa Barat.
Sebagian dari kita mungkin ingat dengan Tewaysun (Teater Wayang Sunda) atau wayang ajen. Arthur S. Nalan bekerjasama dengan Ki dalang Wawan Gunawan meramu konsep teater rakyat Barat, yang dikenal publik dengan istilah teater modern, dengan teater rakyat lokal. Multi media dimasukan untuk media bantu visualisasi artistik. Ini diharapkan semangat kreativitas seniman tradisi lebih berkobar, jangan terjebak pada satu intepretasi tradisi saja. Membuat seni rakyat dan masyarakat penyangganya lebih bergairah. Tidak mandeg, akhirnya melepuh.
Itu salah satu tawaran Arthur yang ngigelan jaman. Mencoba masuk dalam celah masyarakat yang telah memudar karena prahara budaya, (Menurut DS Muljanto dan Taufik Ismail dalam bukunya Prahara Budaya yang dikutip Arthur S. Nalan), ditimbulkan adanya kondisi gegar budaya, dimana budaya luar yang sangat berbeda ─bertubi-tubi datang menyergap budaya asli, sehingga menciptakan “keadaan yang berbahaya” yang setelah terjangkit sulit mengembalikannya. Membuat seni teater rakyat tenggelam. Karam. Entah kapan kembali jaya untuk berlayar.
Di samping sebagai pelaku seni dan akademisi, penulis mencermati sosok Arthur S. Nalan sebagai ‘juru bicara terkeras’ bagi teater rakyat, di bandingkan pemerhati budaya umumnya, pandangan-pandangannya secara emikal atau pun etik sering kali memberondong lembaga pemerintahan. Yang punya tanggung jawab khusus untuk membangkitkan teater rakyat dari kematian. Sebab, punahnya teater rakyat bukan hanya akibat serangan budaya luar semata. Namun berbagai faktor persoalan dari dalam pun seringkali memberi warna fragmentasi yang tidak sesuai satu sama lain. Arthur melihat dari berbagai titik, sehingga kajian dan karya-karyanya terasa menukik dan kontekstual.
Penyelamannya guna menemukan identitas teater rakyat, di bimbing ideologi Budha: Yang mengenal akan dikalahkan oleh yang mengetahui, yang mengetahui akan dikalahkan oleh yang memahami, yang memahami dikalahkan yang menghayati. Meneguhkan dirinya dalam pembedahan Teater rakyat Jawa Barat, dengan multi metodologi. Pendekatan tersebut dipilih Arthur S. Nalan atas dasar landasan teori James Dandjaja dalam memandang teater tradisi dari dua aspek yakni : identitas dan fungsi. Selain itu, metode penelitian Grounded, dan lain sebagainya. Digunakan sebagai pisau bedah. Menjumpai mutiara teater rakyat yang terpendam, yang tidak akan habis-habisnya untuk digali.
Mengingat banyak tulisannya yang tersebar, maka selayaknya dicoba untuk dikaji ulang. Mungkin juga dikritisi. Sehingga pandangan-pandangannya lebih berdaya guna bagi keberlangsungan teater rakyat di Jawa Barat. Semua ini perlu diketahui, supaya bermanfaat bagi terciptanya kembali zaman keemasan teater rakyat di Jawa Barat dan tatanan apresiasi yang lebih cerdas.
1.2. Identifikasi/Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini penulis mengidentifikasi beberapa masalah meliputi :
1. Bagaimana Arthur S. Nalan mengenal, mengetahui, memahami serta menghayati dan mengkaji Teater rakyat ?
2. Solusi apa yang ditawarkan oleh Arthur S. Nalan dalam menjawab persoalan-persoalan teater rakyat ?
Dari dua pertanyaan tesebut bagaimana penelitian ini dipokuskan
terhadap persoalan teater rakyat menurut pandangan, pemikiran, gagasan original Arthur S. Nalan, baik tataran konsep atau praksis. Untuk itu, sebagai pijakan penelitian ini akan diuraikan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana pemikiran-pemikiran, pandangan, dan gagasan Arthur S. Nalan dalam menjawab permasalahan teater rakyat di Jawa Barat ?
1.3 Tujuan Penelitian
Mengacu kepada masalah penelitian, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk memperoleh dan mengumpulkan data tentang pemikiran-pemikiran, gagasan-gasan Arthur S. Nalan dalam menjawab persoalan-persoalan teater Rakyat di Jawa Barat yang tengah berada di zona keterpurukan. Kemudian penulis mendeskripsikanya secara sistematis.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Manfaat dilakukannya hasil penelitian ini, penulis bagi menjadi dua bagian, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.
Manfaat secara teoritis :
1. Sebagai masukkan bagi pengembangan pemikiran dan aktivitas teater rakyat di Jawa Barat.
2. Sebagai sumbangan kepustakaan teater dan khazanah intelektual teater rakyat di Jawa Barat.
Manfaat secara praktis
1. Sebagai pijakan bagi teaterawan akademik maupun seniman tradisi yang memiliki rasa keberpihakan terhadap teater rakyat. Guna menjawab persoalan-persoalan yang sedang menggejala atau tengah terjadi.
1.5 Batasan Istilah Judul
Judul dalam skripsi ini adalah: “Pemikiran Arthur S. Nalan Dalam Khazanah Teater Rakyat Jawa Barat.” Judul tersebut akan memberikan gambaran singkat tentang pemikiran, pandangan, gagasan Arthur S. Nalan terhadap teater rakyat dalam hal menjawab beberapa permasalahan yang berkisar pada permasalahan teater rakyat di Jawa Barat. Disamping itu pun, penulis disini akan memberikan gambaran mengenai perjalanan intelektualnya.
1.6 Telaah Pustaka
Dalam penelitian ini, penulis bertolak dari beberapa referensi yang menyangkut tentang teater rakyat di Jawa Barat, diantaranya: Teater Egaliter (2006) dari Arthur S. Nalan. Memuat tentang pemetaan zona budaya di Jawa Barat, teater rakyat dan masyarakat penyangganya, konsep totalitas dan intimitas dalam teater rakyat Jawa Barat, aspek manusia dalam teater rakyat, anatomi teater rakyat Jawa Barat, memperlakukan teater rakyat Jawa Barat, dan punahnya teater rakyat di Jawa Barat. Deskripsi Kesenian Jawa Barat ( 2003 ) dari Arthur S. Nalan. Memuat tentang berbagai jenis kesenian Jawa Barat, struktur dramatik, hingga sejarahnya. Pola-Pola Teater dramatis (1980/1981) dari Saini, KM, Atik Sopandi, S.kar, dan Enoch Atmadibrata. Memuat tentang data umum kesenian Jawa Barat sampai struktur pagelaran. Lakon-Lakon Sandiwara Cirebon Dalam Pertunjukan di Tengah Masyarakat (1991) dari Jaeni, S. sen. Memuat tentang berbagai lakon-lakon Sandiwara Cirebon, otoritas masyarakat penikmat hingga Islamisasi lakon sandiwara. Perlakuaan Lakon Sandiwara Cirebon (1999) dari Jaeni, S.sen. Menguraikan tentang Masyarakat dan seni pertunjukan Cirebon sampai perlakuan lakon sandiwara Cirebon. Pesta Rakyat di Jawa Barat (Suatu kompilasi dan analisa fungsi) (1999) dari Arthur S. Nalan. Membahas berbagai upacara adat dan ritual di berbagai daerah Jawa Barat. Menyangkut waktu pelaksanan sampai masyarakat penyangganya. Teater Daerah Indonesia (1996) dari Prof. Dr. I Made Bandem dan Dr. Sal Murgiyanto. Membahas tentang definisi teater daerah, jenis-jenis, hingga ciri-ciri teater daerah. Catatan Seni (1998) dari Arthur S. Nalan dan Agus R. Sarjono (ed). Membahas tentang pantun Bogor sampai memperlakuakan Teater Rakyat Jawa Barat.
1.7 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara, pendekatan, atau langkah-langkah dalam melakukan penelitian yang sistematis, logis dan rasional. Pada dasarnya, metode dan teknik penelitian ini adalah bahwa data atau kesimpulan yang ditarik dapat diperiksa lagi oleh peneliti lain menurut prosedur yang dilaporkan secara jelas. Dengan demikian, hasil penelitian tersebut telah sesuai dengan keadaan di lapangan.
Metode yang digunakan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diteliti oleh penulis disini adalah metode deskriptif (pemaparan). M. Nazir mendefinisikan metode penelitian sebagai suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis , faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (1988:63).
Maka upaya untuk mendapatkan hasil yang otentik tersebut, disini penulis menggunakan teknik penelitian melalui tiga cara diantaranya yaitu pengumpulan data dengan cara studi pustaka, pengamatan (observasi), dan wawancara.
1. Studi pustaka
a. buku, makalah, artikel, skripsi, dan bentuk tulisan lainnya
Langkah ini merupakan langkah dasar sebagai bentuk referensi, informasi, dan sekaligus penunjang kelancaran penulis dalam melakukan kegiatan penelitian. Beberapa referensi pustaka meliputi : Teater Egaliter (Arthur S. Nalan), Khasanah Seni pertunjukan Jawa Barat (Enoch Atmadibrata), Deskripsi Kesenian Jawa Barat (Arthur S. Nalan), Sanghiyang Raja Uyeg (Arthur S. Nalan), Teater Daerah Indonesian (I Made Bandem), dan lain sebagainya.
b. Browsing
Teknik ini merupakan pengumpulan setiap bentuk data yang berkaitan dengan pemikiran Arthur S. Nalan pada teater rakyat Jawa Barat dangan cara mengamati dan menelusuri situs website dalam media internet. Pengambilan data dari sumber internet berupa data tertulis dan visual (gambar) tentang Arthur S nalan, pemikirannya terhadap teater rakyat Jawa Barat.
2. Pengamatan (observasi)
Pengamatan atau observasi ini dilakukan guna untuk memperoleh gambaran mengenai individu, sosok Arthur S. Nalan, yang tidak diutarakan dengan kata-kata atau lebih menekankan pada suatu perilaku yang berlaku pada individu Arthur S. Nalan itu sendiri. Langkah-langkah yang diambil, meliputi: Pengamatan ketika Arthur S. Nalan saat menjadi dosen, ketua jurusan, ketua STSI Bandung, dan sebagainya.
3. Wawancara
Wawancara bertujuan untuk mendapatkan informasi dari seorang narasumber dan beberapa kolega yang sama dibidang seni pertunjukan. Wawancara ini dilakukan dengan cara tatap muka langsung melalui pertanyaan-pertanyaan mendalam tak berstruktur, dengan narasumber utama, Arthur S. Nalan, dan beberapa narasumber lain, diantaranya: Prof. Jakob Sumardjo, Prof. Saini KM, Yoyo C. Durachman, Rusman Nurdin, dan sebagainya. Sebagai significant ather (orang yang dikenali oleh narasumber utama)
Setelah data wawancara terkumpul, baik yang berasal dari sumber lisan maupun tulisan, kemudian data yang telah diperoleh itu diolah dengan cara diklasifikasikan dan dianalisis, sehingga diperoleh data yang cukup mewakili dan tepat untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Kemudian peneliti melakukan sebuah penyusunan data ke dalam bentuk laporan penelitian yang ditulis secara sistematis.
1.8 Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini akan dibuat karya tulis (Skripsi) dalam lima bab. Secara logis dan sistematis.
Bab pertama, merupakan pendahuluan atas penelitian yang dilakukan. Bab ini membahas latar belakang penelitian, identifikasi/ rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah judul, telaah pustaka, landasan teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas tentang: peta teater rakyat Jawa Barat, jenis-jenis dan bentuknya, baik yang hidup maupun yang sudah punah, serta permasalahan-permasalahannya.
Bab ketiga, menguraikan tentang (1) Biografi Arthur S. Nalan. (2) Arthur S. Nalan dan kerja kreatif. Karya-karya yang meliputi: naskah-naskah drama, dan karya seni pertunjukannya.
Bab keempat, akan membahas tentang (1) Pandangan-pandangannya mengenai teater rakyat Jawa Barat. (2) Solusi fraksis Arthur S. Nalan untuk kehidupan teater rakyat di Jawa Barat.
Bab kelima, merupakan kesimpulan. Dalam bab ini akan dikemukakan jawaban atas permasalahan pokok yang dikemukakan penulis, sekaligus penemuan-penemuan dalam penelitian ini. Pada bab ini juga dikemukakan kalimat penutup, yaitu sebagai hasil akhir dari penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN UMUM
KEHIDUPAN TEATER RAKYAT DI JAWA BARAT
2.1 Peta Teater Rakyat Jawa Barat
Teater secara umum dapat diartikan sebagai bentuk pertunjukan yang ditampilkan didepan penonton dan secara terbatas dapat diartikan sebagai drama, yaitu penuturan hidup dan kehidupan manusia yang ditampilkan diatas pentas (RMA. Harimawan, 1988 : 2). Implisit apa yang dijelaskan tersebut mengandung pengertian tentang teater modern Indonesia pada tahun 1966-an kebelakang, yang menurut Jakob Sumardjo dan A. Kasim Akhmad, sebagai pengamat teater mengatakan bahwa pertunjukan teater pada masa itu, cenderung lebih banyak menggunakan naskah-naskah realisme konvensional. Apabila kita sikapi dengan cermat pengertian tersebut, kiranya tidak mewakili sebuah definisi umum teater di Indonesia khususnya Jawa Barat. Karena di dalamnya ada juga yang dikenal dengan nama instilah lain yakni “teater rakyat” atau teater tradisional, sebut saja teater Wayang maupun teater PantunSunda dsb. yang mungkin dalam hal ini dapat digolongkan sebagai teater “non drama”[1].
Teater secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu theaomai yang berarti dengan takjub melihat dan mendengar. Kemudian kata ini berubah lagi menjadi theatron yang berarti gedung pertunjukan/pentas, publik, dan lakon. Dalam pengertian yang lajim dipergunakan saat ini, teater adalah suatu kegiatan manusia dalam menggunakan tubuh/benda-benda yang dapat digerakkan dimana suara dan musik sebagai media utamanya, untuk mengutarakan, mengekpresikan cita-rasa seni (Yoyo C. Durachman dan Arthur S. Nalan, 1996:82-83). Jika mencermati definisi tersebut, teater memiliki pengertian yang luas. Bisa jadi segala jenis pertunjukan adalah teater.
Namun selain definisi di atas, ada pengertian yang lebih spesifik. Dalam istilah teater rakyat. Teater rakyat adalah sebuah genre teater yang hidup dan berkembang di kalangan masyarakat. Didukung oleh masyarakatnya itu sendiri, sebagai penyangga, berdasarkan turun-temurun. Dengan estetika rakyat yang gampangan. Tidak rumit atau mudah dipahami, sifatnya egaliter dan banyak improvisasi. Jenis teater ini banyak tersebar di Jawa Barat.
Jawa Barat yang disebut sebagai dataran Sunda memiliki beragam jenis kesenian, tercatat kurang lebih ada 300 jenis kesenian yang masuk pada wilayah teater dan “non teater”. Tersebar di berbagai kota atau kabupaten, banyaknya ragam jenis kesenian tersebut bukan semata-mata hasil atau produk dari masyarakat Jawa Barat saja, akan tetapi dapat pula tumbuh dan berkembang jenis kesenian dari berbagai wilayah lainnya. Seperti dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang secara letak geografisnya tidak dapat dipisahkan dari pulau Jawa secara keseluruhan. Maka tidak heran apabila di pulau Jawa ini ada bentuk kesamaan atau keseragaman budaya, karena hal tersebut di atas memungkinkan untuk terbentuknya suatu proses difusi atau akulturasi. Salah satu bentuk atau wujud dari proses pembentukan akulturasi budaya tersebut tampak terlihat jelas dalam unsur-unsur budaya yang melingkupinya, salah satunya yakni dalam unsur seni khususnya teater.
Pada wilayah seni khususnya seni pertunjukan, yang berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur telah menyebar atau berbaur dengan seni pertunjukan yang ada di Jawa Barat. Bahkan dari bentuk pembauran tersebut, terlahir jenis kesenian baru yang dimana seni pertunjukan tersebut menjadi ciri oksidentalisme masyarakat Jawa Barat seperti halnya teater Wayang Cepak yang mendapat pengaruh dari budaya Jawa. Jika kita perhatikan secara seksama, dalam hal ini tampaknya budaya Jawa Barat lebih bersifat transparan. Dalam artian budaya-budaya Jawa Barat dapat di jadikan sebuah tempat untuk berlabuhnya budaya wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan bahkan budaya dari luar Negara sekali pun. Hal ini menurut Spradley dapat dikatakan berada dalam kondisi ketercerabutan budaya (culturally deprived) dan kebanjiran budaya (culturally overhelmed) (Arthur.S. Nalan, 2006:12).
Kondisi culturally depriveddan culturally overhelmed tersebut, memiliki rotasi putaran waktu yang begitu cepat, layaknya seperti angka-angka digital dalam dunia cyber. Bahkan dalam kondisi era pemerintahan pada saat ini, diperkuat pula dengan dibukanya keran-keran budaya, moderenisme dan globalisasi budaya. Sehingga ini memungkinkan untuk terjadi kehilangan jejak-jejak akar budaya atau kehilangan referensi-referensi sejarah budaya Jawa Barat itu sendiri. Tampaknya apa yang dijadikan sebagai kuncinya yakni globalisasi budaya, implisit mengarahkan masyarakat untuk merujuk pada suatu tatanan budaya masa, --dimana sekat-sekat atau ruang budaya yang plural tersebut menjadi satu tatanan yang seragam.
Upaya rekontruksi dalam seni-seni pertunjukan atau upaya penyelamatan terhadap wujud seni umumnya teater dan teater rakyat pada khususnya. Pada saat ini menjadi semakin terpragmentasi oleh berbagai konsepsi-konsepsi budaya yang saling bertentangan, sehingga hal ini terasa sulit bila dilakukannya sebuah upaya untuk melakukan pemetaan, ataupun untuk mencari akar budayanya, karena telah terjadi suatu ketidakteraturan atau chaos.
Jika kita mau merenungkan kembali atau mereintepretasi bentuk seni pertunjukan tradisi pada saat ini, tampaknya telah berlangsung suatu keadaan nihilis. Dalam artian seni pertunjukan tersebut telah kehilangan arah tujuan kearifannya, dan apa yang tampak --hanyalah sebuah bentuk nostalgia yakni pemuliaan atas wujud seni dengan masalah isinya selalu dikesampingkan .
Jakob Sumardjo, seorang budayawan, berusaha untuk melakukan sebuah pemetaan terhadap budaya Sunda dan mencoba untuk mencari serpihan jejak-jejak artefak seni dengan cara mengkaji etno cultural Sunda. Dengan maksud agar tampak jelas asal-muasal atau refensi dari ciri-ciri wujud kebudayaan, yang berasal dari berbagai masa atau berbagai budaya tertentu[2](cultural system, material culture, social system). Dengan cara mengkategorisasikan masyarakat terhadap segala hal, baik yang berhubungan dengan kategori alam, maupun sosial-budaya. Sebut saja klasifikasi simbolik untuk memahami dinamika manusia dan kebudayaannya (termasuk juga di dalamnya seni umumnya, seni pertunjukan teater khususnya). Dalam hal ini pun diperjelas lagi dengan membedakan budaya sawah, dan budaya ladang. Akan tetapi, dalam hal untuk memahami seni pertunjukan pada saat ini (dalam budaya global), tampaknya terasa akan sulit untuk mencari jejak-jejaknya, baik jejak-jejak seni pertunjukan yang berasal dari budaya sawah maupun dari budaya ladang. Karena pada masa saat ini, seni-seni pertunjukan tradisi di Jawa Barat telah ditumpangi oleh berbagai budaya (budaya agraris dan industri). Ataupun berbagai elemen dari genreseni pertunjukan masa lalu dan masa kini (budaya Barat), atau dari berbagai bentuk elaborasi segala macam budaya. Oleh karena itu, khususnya mengenai teater tradisional rakyat (teater rakyat) pernah diungkapkan oleh Jakob Sumardjo dalam bukunya yang berjudul “Perkembangan Teater Modern Dan Sastra Drama Indonesia” mengatakan :
Sudah sulit membedakan, mana tradisional rakyat yang berasal dari religi asli (animisme, monisme, fetisisme, dinamisme) dan mana yang merupakan karya kerakyatan pada zaman Hindu dan zaman masuknya Islam di Indonesia. Dan juga teater rakyat yang bersumber pada teater keraton… (Jakob Sumardjo, 2004-17).
Upaya untuk melakukan sebuah pemetaan atau sekatan-sekatan terhadap perkembangan seni pertunjukan, yang dilakukan oleh Jakob Sumardjo dirasa sangat begitu signifikan bagi catatan-catatan kecil sejarah seni pertunjukan. Khususnya teater di Jawa Barat. Menurutnya, bahwa hal ini perlu untuk memetakan, mana jenis-jenis teater rakyat, teater keraton dan mana yang tergolong kedalam teater modern.
Artur S. Nalan dalam buku “Teater Egaliter”, mencoba untuk memetakan mengenai keberadaan atau eksistensi seni pertunjukan di Jawa Barat yang terbagi kedalam beberapa wilayah, diantaranya yaitu wilayah budaya Cirebon, Banten, Priangan, Pakidulan, dan Pakaleran. Untuk memperjelas sebuah kajian tentang pemetaan atau untuk menunjukan suatu batasan-batasan dalam seni pertunjukan yang berkembang di setiap bagian wilayah budaya Jawa Barat, khususnya seni pertunjukan yang masuk pada genre teater, maka dalam hal ini penulis akan bagi kedalam beberapa poin di antaranya :
- Bagian wilayah budaya Banten
Wilayah budaya Banten dapat disebut pula sebagai wilayah pantangbekser yang wilayahnya meliputi Pandeglang, Tanggerang, Lebak, dan Serang. Di wilayah ini kurang lebih ada 8 jenis seni pertunjukan yang masuk pada genre teater yang diantaranya : Gacle, Ubrug, Topeng, Pantun, Wayang Garing, Wayang Golek Lenong, Blantek danCador.
- Bagian wilayah budaya Priangan
Wilayah Priangan secara geografis hanya terdiri dari Garut, Bandung, Bandung (kodya), Sumedang, Ciamis dan Tasikmalaya. Di wilayah ini kurang lebih ada 6 jenis seni pertunjukan rakyat yang masuk pada genre teater diantaranya : Sandiwara Sunda, Longser, Gekbreng, Pantun, Wayang Golek, dan Manorek.
- Bagian wilayah budaya Cirebon
Wilayah budaya Cirebon yang terdiri dari daerah Mainkucici (singkatan dari Majalengka, Indramayu, Kuningan, Cirebon (kodya), Cirebon (kabupaten). Wilayah ini memiliki genre pertunjukan rakyat yang dapat dikategorikan kedalam genre teater diantaranya : Sandiwara Cirebon, Sandiwara Indramayu, Wayang kulit, Wayang Cepak, Wayang Golek, Sintren, Pantun, dan Tarling.
d. Bagian wilayah budaya kaleran
Pertunjukan yang dimiliki wilayah budaya pakaleran ini sangat khas dan berbeda dengan wilayah budaya lain seperti Banten, Priangan dan Cirebon. Pertunjukan rakyat yang dapat di kategorikan kedalam teater antara lain adalah Topeng Bekasi, Topeng Banjet, Wayang Golek, Wayang Kulit, Pantun, Sandiwara, dan Tarling dangdut.
- Bagian Wilayah Pakidulan
Yang termasuk seni pertunjukan teater di bagian wilayah pakidulan ini diantaranya, Uyeg, Topeng, Aweh, Topeng Cepet, Cador Pantun, Ronggeng Gunung, Angguk dan Manorek.
Walaupun sebuah pemetaan yang dilakukan oleh Arthur S. Nalan tersebut diatas tidak begitu jelas batasan suatu masanya (zaman Hindu, Islam, dan Kolonial) secara rinci dan bagaimana bentuknya, seperti halnya apa yang telah dilakukan oleh Jakob Sumardjo, namun usaha atau upaya untuk melakukan sebuah pemetaan atau batasan-batasan tersebut sangat signifikan untuk menentukan jejak-jejak ragam jenis teater disetiap batasan-batasan atau wilayah budaya di Jawa Barat dewasa ini.
2.2 Jenis-Jenis Teater Tradisi Di Jawa Barat
Teater tradisi di Jawa Barat tumbuh dan berkembang secara subur dengan berbagai ragamnya, hal ini mungkin disebabkan pula yang dimasa lampaunya terkenal dengan kehidupan agraris ladangnya, sehingga banyak dimasuki oleh masyarakat atau budaya lainnya, yang hal ini memungkinkan pula akan terbentuknya suatu akulturasi budaya yang berdampak pula pada gaya ekspresi estetiknya.
Jika melihat pada zaman dahulu, teater rakyat merupakan seni yang bersifat sakral. Dalam pertunjukannya harus selalu dilakukan secara sungguh-sungguh, dengan bentuk seremonial. Untuk mempertunjukannya pun tidak dapat dipertunjukan disembarang waktu dan tempat. Waktu dan tempat untuk pertunjukan teater rakyat bersifat sakral, merupakan salah satu bagian yang terpenting untuk terselenggaranya sebuah upacara atau ritus. Menurut bentuk kepercayaan mereka --bahwa sesuatu yang sifatnya supranatural atau yang sakral dapat memanifestasikan dalam dunia sekuler. Dasar pokok estetika kesenian teater rakyat ini adalah religi, maka untuk memahami teater rakyat atau tradisional diperlukan pemahaman terhadap religi yang menjadi dasarnya. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa semua teater rakyat adalah sakral. Ada pula yang bersifat profan, mana kala fungsi religinya sudah tidak sesuai lagi dengan religi baru. Tetapi unsur estetikanya masih tetap digemari atau digunakan (Jakob Sumardjo, 2004).
Apabila mengacu pada data yang dideskripsikan DISBUDPAR, di Jawa Barat terdapat beberapa jenis teater dengan berbagai ragamnya. Tercatat sekitar 36 ragam atau jenis diantaranya : bangkong reang, gekbreng, ogel, longser, topeng, wayang golek, manorek dan masih banyak hal lainya.
Untuk memperjelas mengenai ragam dan jenis teater yang berada di daerah Jawa Barat. Maka penulis pikir perlu untuk memaparkan beberapa jenis teater rakyat dan bentuknya. Sekedar gambaran saja.
a) Ubrug
Teater ubrug terdapat di daerah Banten, memakai bahasa campuran Sunda, Jawa, Indonesia dan kadang-kadang pula bahasa Lampung. Teater ini mempergunakan iringan gamelan yang berlaras salendro dengan goong buyung. Kostum yang sering digunakan dalam hal pementasannya biasanya mengunakan busana sesuai dengan situasi cerita yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, atau paling jauh mengunakan busana-busana yang digunakan pada abad ke 19. Beberapa cerita atau lakon yang populer dari teater ubrug ini adalah si Jampang, si Pitung, Sakam, Dalem Boncel, dan Jejaka Pecak.
b) Longser
Teater longser terdapat di daerah Jawa Barat tepatnya yaitu berasal dari daerah Priangan atau Bandung. Ada beberapa yang memperkirakan kalau longser itu perkembangan dari kesenian lengger yang merupakan bentuk perubahan dari doger, yang diperkirakan ada atau mulai berkembang di Jawa Barat yaitu pada tahun 1915. Jika dilihat dari pola bentuk pertunjukkannya teater longser tidak beda jauh dengan teater ubrug yang pada dasarnya ada sebuah bentuk lawakan dan ada penyajian lakonnya.
c) Sintren
Teater sintren banyak terdapat di daerah pantai utara terutama di wilayah Cirebon, Indramayu, Subang, dan Kuningan. Teater ini masih menunjukan sifat magis religiusnya, yakni dengan adegan kesurupan (trance) bagi penari sintrennya. Dalam hal ini ada yang menuturkan bahwa asal-usul sintren berasal dari sebuah upacara pemanggilan roh atau mahluk gaib. Pertunjukan ini dipimpin oleh seorang pawang sebagai shaman atau dukun.
Penari sintren ini identik selalu menggunakan kacamata yang berwarna hitam yang fungsinya untuk menutupi mata sewaktu penari sedang berada dalam kondisi trance. Penari sintren ini ditutupi dengan menggunakan kurung ayam yang telah dibungkus kain, hal ini diupayakan agar si penari sintren tidak terlihat ketika berada dalam kurungan tersebut. Lagu-lagu yang dilantunkan umumnya layaknya seperti memanggil-manggil bidadari atau ruh (mahluk gaib) yang diyakini dapat mendatangkan kekuatan tertentu. Seperti tercermin dalam lagunya yaitu Kembang Terate, Gulung-gulung Klasa, Turun Sintren, Simbar Pati, Kilar Blatar, dan lain-lain.
d). Manoreh
Teater manoreh terdapat di daerah Ciamis selatan, teater ini semula merupakan media dakwah, tetapi sekarang lebih berfungsi sebagai tontonan untuk meramaikan hajatan dalam keluarga. Meskipun demikian namun dalam halnya pertunjukannya masih menggunakan sesajen berupa perapian pembakaran kemenyan, alat-alat kecantikan, bedak, cermin, minyak wangi, makanan berupa tumpeng, buah-buahan, ubi-ubian, binatang, perabot dapur dan pakain.
e) Ronggeng Gunung
Sebenarnya bentuk kesenian ini merupakan peristiwa tari pergaulan biasa, antara seorang ronggeng atau lebih dengan penontonnya. Diadakan pada waktu malam hari mulai pukul 08.00 sampai menjelang pagi. Bentuk teaternya terletak pada lirik-lirik lagu yang dinyanyikan pesinden menjelang tari ronggeng sendiri, teater ini sedikitnya ada beberapa sebutan nama lain yakni bisa disebut juga ronggeng tayub, atau bisa juga disebut sebagai ronggeng kaler. Sesuai dengan sebutannya, ronggeng gunung merupakan pertunjukan yang menampilkan seorang penari sekaligus penyanyi yang berasal dari gunung. Penyajian ronggeng gunung dimainkan dengan alat musik sederhana yang terdiri dari instrument kendang, ketuk, dan goong. Ronggeng-ronggeng ini memiliki lagu khas. Setiap lagu berpadu dengan tarian khusus dan penyajian satu lagu ini dianggap satu babak.
Konon keberadaan ronggeng gunung tidak dapat dilepaskan dari cerita Dewi Samboja. Secara ringkas ceritanya dikisahkan sebagai berikut: “Patih Kidang Pananjung memberi wangsit kepada Dewi Siti Samboja, putri Prabu Siliwangi ke-38, ketika akan mendirikan kerajaan di Tatar Galuh selatan, wangsit itu kira-kira berisi ‘Siti Samboja , paman memberi amanat, nanti kamu harus sanggup menjadi ronggeng dan memakai nama samaran Nini Bogem. Sebagai nayaga Ki Lengser juga harus memakai nama samaran Naya Dipa, maksudnya untuk membalas dendam kepada para Bajo”.
Pertunjukan ini biasanya disajikan sebagai hiburan pelepas lelah seusai melakukan aktivitas keseharian, seperti menanam padi, atau sehabis melakukan panen padi. Beberapa lagu yang biasa di lantunkan dalam pertunjukan ronggeng gunung ini dalah Kudup Turi, Ladrang, Sisigaran Golewang, Raja Pulang, Onday, Kawungan, dengdet, parut, trondol, dan lain-lain
f ) Topeng Blantek
Topeng Blantek ini terdapat di wilayah Jawa Barat bagian selatan Jakarta, seperti Bojonggedeh, Pondok Ranjeg, Citayem, dan Ciseeng. Blantek berart “campur aduk”, “tidak karuan”. Disebut topeng karena dalam sebuah tariannya terdapat penari topeng. Pertunjukan ini biasanya diadakan di halaman rumah dengan menggunakan obor, dengan permainan mengitari obor yang di jadikan sebagai penerangan dalam pertunjukan tersebut. Lakon-lakon yang dimainkan kebanyakan bernafaskan islam. Pada saat-saat istirahat antar babak sering di lantunkan lagu-lagi dzikir berbahasa arab atau lagu-lagu berbahasa Betawi. Gamelan teater ini terdiri dari rebab, kecrek, koromong, kenong dan goong. Beberapa lakon yang terkenal di antaranya Prabu Zulkarnain, Lurah Barni, dari benteng buyuku, kramat pondok rajeg.
g) Gekbreng
Gekbreng terdapat di daerah Sukabumi, seni ini masuk pada kategori atau genre seni teater rakyat berada di wilayah kabupaten yang ada di Jawa Barat. Bentuk dari seni teater gekbreng ini berupa drama tari yang bersifat humor, yakni menceritakan mengenai tentang fenomena keseharian hidup yang ada di masnyarakat setempat. Secara etimologi gekbreng berasal dar dua kata, yaitu “gek” dan “breng” yang artinya “duduk seketika”, sedangkan “breng” artinya bersama-sama. Istilah atau kata gekbrengmemiliki konotasi yang dapat diartikan yaitu, ketika seseorang duduk saat itu pula riuh rendah bunyi gamelan memulai aksi pementasan.
Seni gekbreng diciptakan oleh Abah Ba’i pada tahun 1918, setelah tamat berguru pada seorang seniman longseryang bernama Abah Emod atau di kenal dengan nama lain adalah Abah Soang di Kampung Situ Gentang Ranji, Sukabumi. Konon, kesenian ini timbul dari reaksi masyarakat atas ketidakadilan yang dilakukan oleh para penguasa pada waktu itu. Dengan daya kekreatifannya, Abah Ba’i menangkap keluhan-keluhan masyarakat terhadap penguasa itu dan meramunya menjadi suatu bentuk drama tari yang bersifat humor yang kemudian disebut gekbreng. Jadi, dahulu gekbrengadalah suatu kesenian yang bertujuan untuk mengingatkan para penguasa melalui sindiran-sindiran halus yang disampaikan dengan gaya humor agar jangan terlalu sewenang-wenang dalam menggunakan kekuasaannya.
Peralatan musik yang digunakan untuk mengiring pertunjukan gekbreng adalah seperangkat gamelanberlaras selendro yang terdiri dari: (1) kendang; (2) terompet; (3) ketuk tilu; (4) rebab; (5) rincik; dan (6) gong. Pertunjukan gekbreng biasanya diadakan di tempat terbuka atau tempat yang agak luas, seperti pendopo atau halaman rumah. Para penontonnya duduk berkeliling membentuk huruf U atau tapal kuda. Demikian pula mengenai dekorasi panggungnya, terkesan cukup seadanya dan bahkan bersifat abstrak imajiner. Pertunjukan teater rakyat ini dapat dilakukan pada siang maupun malam hari. Pada malam hari, sebagai pencahayaan dipergunakan obor tradisional bersumbu tiga yang disebut oncor.
h) Pantun
Pantun termasuk jenis teater tutur rakyat di Jawa Barat. Pantun Jawa Barat (Sunda) berbeda dengan pantun Melayu (Indonesia). Pantun Sunda adalah cerita tutur dalam bentuk sastra Sunda lama yang di sajikan secara paparan (prolog), dialog, dan bisa juga dinyanyikan, yang dalam halnya pantun Sunda ini merupakan sebuah bentuk seni pertunjukan teater. Sedangkan pantun Melayu bila dibandingkan dengan nama salah satu jenis kesenian di Jawa Barat adalah semakna dengan sisindiran Sunda. Seni pantun Sunda di bawakan oleh seorang juru pantun (tukang pantun) sambil diiringi alat musik kacapiyang di mainkan sendiri.
Seni pantun di Jawa Barat sudah lama hidup atau berkembang, yang diperkirakan ada pada sejak zaman Hindu-Budha di Jawa Barat, yang dalam naskah Sunda kuno yakni Siksa Kandang Karesian (1518 M) disebutkan bahwa pantun telah digunakan sejak zaman langgalarang. Kata “pantun” dalam bahasa Sunda dan Jawa berarti “padi”. Pantun sebagai seni tutur di Jawa Barat ini memang semula ada hubungannya dengan dengan pemujaan Dewi Padi. Meskipun dasarnya muncul dari religi asli, namun seni pertunjukan ini telah banyak tercampur dengan paham Hinduistis dan Islam. Cerita pantun ini berkisar pada kisah-kisah langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Hatur wangi, Lutung Kasarung dll, yang semuanya itu bersumber dari cerita-cerita mitos ataupun legenda pada saat zaman dahulu.
i) Cador
Cador merupakan salah satu jenis teater rakyat Jawa Barat yang terdapat di kabupaten Sukabumi, Cianjur dan Bogor. Teater ini di sajikan sebagai selingan dalam pergelaran Pencak Silat.Agar penonton tidak merasa tegang ketika menyaksikan Penca Silat, maka di pertunjukkan lah bobodoran-bobodoran (komedi). Dengan demikian kemudian lahirlah jenis teater yang di sebut dengan Cador yaitu kepanjangan dari istilah Pencak Silat dan bobodoran. Cerita-cerita yang di sajikan dalam Cador ini sama seperti cerita yang di sajikan oleh longser, yakni cerita-cerita yang memiliki unsure komedi. Tema yang di pertunjukan pada teater ini adalah seperti Tunjung Mekar, Mawar Lumayung, Nara Dipa, Layuan Naga Sari, dan Dewining Taman.
j) Gending Karesmen
Gending Karesmen, merupakan salah satu jenis teater rakyat Jawa Barat yang dirintis oleh R. Memed Kartabrata pada tahun 1927. Gending Karesmen ini terdiri dari beberapa seni yang menjadi penopangnya di antaranya seni sastra, yakni berupa naskah cerita atau lakon dalam bentuk prosa liris, yaitu karya sastra yang dapat di ungkapkan melalui nyanyian, kemudian seni musik, seperti kacapi suling atau berbagai instrumen yang ada pada beberapa gamelan di Sunda, kemudian Seni tari dan yang terakhir yakni seni rupa. Cerita atau lakon yang di bawakan dalam Gending Karesmen ini adalah cerita-cerita yang di ambil dari cerita-cerita Pantun seperti lutung Kasarung, Munding Laya dan lain sebagainya.
k) Wayang Cepak
Wayang cepak berkembang di Jawa Barat yakni di daerah Cirebon. Awal perkembangan wayang cepak ini bermula ketika Elang Maganggong, putra Ki Gendeng Slingsingan, dari daerah telaga, berguru agama Islam kepada Suta Jaya Kemit di Gebang. Disebut wayang cepak atau papak, karena wayang ini terbuat dari kayu yang ujungnya tidak runcing dan apabila dilihat dari bentuk dan wandanya, wayang cepak ini merupakan perkembangan dari wayang kulit, wayang golek, atau wayang menak, yang berpusat di daerah Cirebon.
Cerita-cerita yang biasa di sajikan dalam wayang cepak ini adalah lakon yang berjudul, menak, panji, cerita-cerita yang diambil dari babad, legenda dan mitos. pertunjukan wayang cepak ini biasanya haya sebatas pada upacara adat seperti ngunjung buyut, ruwatan dan sebagainya. Pertunjukan ini memiliki struktur yang baku, secara umum susunannya seperti (1) tatalu, (2) babaka unjal, paseban, dan bebegalan, (3) nagara sejen, (4) patepah, (5) perang gagal, (6) penakwan/goro-goro, (7) perang kembang, (8) perang raket, (9) tutug.
Waditra yang digunakan sebagai pengiring dalam pertunjukannya biasanya menggunakan laras pelog, namun untuk menyesuaikan diri denga situasi dan kondisi, selanjutnya dipakai laras salendro, yang waditranya meliputi gambang, gender, suling, saron, bonang, kendang, goong, peking, jenglong dan ketuk. Beberapa lagu yang dilantunkan antaralain banyeman, gonjing, lompong kali, gagalan, kiser kedong-dong dan lain sebagainya.
l) Wayang kulit Indramayu
Wayang kulit Indramayu pada dasarnya tidak beda jauh dengan seni wayang kulit yang berada di daerah Jawa dan di daerah Cirebon, yang membedakan adalah dalam hal penggunaan bahasa dalam bertutur. Wayang kulit indramayu diakui oleh masyarakat pendukungnya yaitu sebagai media dakwah Wali Sunan Kalijaga atas perintah Sunan Gunung Jati, yang dalam hal ceritanya diambil pula dari kisah Ramayana dan Mahabrata. Musik yang mengiringi dalam pertunjukan ini adalah menggunakan musik gamelan yang berlaras pelog dan salendro. Bila dilihat dari pola bentuk pertunjukannya inipun tidak beda jauh dengan wayang cepak Cirebon, secara umum susunannya seperti (1) tatalu, (2) babaka unjal, paseban, dan bebegalan, (3) nagara sejen, (4) patepah, (5) perang gagal, (6) penakwan/goro-goro, (7) perang kembang, (8) perang raket, (9) tutug.
Wayang kulit Indramayu ini digunakan dalam upacara adat daerah setempat yaitu seperti ngaruat, upacara ngunjung yang dipandang oleh mereka sebagai proses interaksi antar anggota masyarakat yang masih percaya bahwa menghormati leluhur adalah perbuatan baik dan terpuji.
m) Wayang Kulit Bekasi
Latar belakang wayang kulit Bekasi sebenarnya masih sama dengan wayang-wayang sejenis lainnya, yang membedakan wayang kulit bekasi dengan wayang kulit daerah lainnya adalah faktor sosiologis dan pengaruh budaya lingkungannya, kemudian perbedaan yang lainnya tokoh-tokoh yang terdapat dalam wayang kulit bekasi ini ada kemiripan dengan tokoh-tokoh yang ada dalam tokoh-tokoh wayang golek misalnya Semar, Cepot, Udel, dan Gareng, dan Dorna yang digambarkan dengan wajah kearab-araban dan memakai topi haji. Wayang kulit bekasi ini di bawa oleh seorang nama Balentet kurang lebih sekitar tahun 1918 s/d 1982.
Dalam pertunjukan atau penyajian wayang kulit Bekasi dibagi menjadi tiga bagian pertunjukan atau sisen, pertama di sebut dengan bubuka yang di mulai dari pukul 20.00 hingga tengah malam, kemudian di lanjutkan dengan tatalu, yang berlangsung dari tengah malam sampai kurang lebih pukul tiga pagi, kemudian bagian yang terakhir yaitu tutup kayon yang berlangsung dari pukul tiga pagi sampai dengan pertunjukan selesai.
n) Wayang Golek
Wayang golek adalah bentuk teater rakyat yang sangat popular di masyarakat luas, yang termasuk wayang golek di Jawa Barat ada dua macam yakni wayang golek papak (cepak) dan wayang golek purwa. Wayang golek ini bisa di sebut juga sebagai wayang boneka. Yang memiliki lakon-lakon galur dan carangan yang bersumber dari cerita besar Ramayana dan Mahabrata. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda yang diiringi pula dengan gamelan Sunda (berlaraskan pelog). Wayang golek memiliki fungsi yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya baik spiritual maupun material.
Dari beberapa temuan penulis, jenis-jenis teater rakyat yang telah dipaparkan di atas. Bisa dikelompokan ke dalam dua bagian yakni teater tradisi kerakyatan dan teater rakyat yang berasal dari keraton. Ciri-ciri teater tradisi kerakyatan adalah sifatnya egaliter. Bahasa komunikasi pertunjukannya mudah dipahami, dan lain sebagainya. Yang termasuk kedalam teater ini, diantaranya : longser, cador, uyeg, dan banyak lagi. Sedangkan teater rakyat yang berasal dari keraton, memiliki cirri-ciri sifat bahasa pertunjukannnya yang rumit, patuh pada sebuah aturan, mewah, dan lain-lain. Yang termasuk ke dalam jenis teater rakyat ini adalah : beberapa jenis wayang yang telah diuraikai di atas.
2.3 Bentuk Teater
Di Indonesia khususnya di Jawa Barat begitu banyak ragam dan jenis teater. Dari perjalanan eksistensinya kehidupan teater memiliki sejarahnya yang panjang, dari zaman ke zaman dari masa ke masa hingga dewasa ini teater tersebut masih dapat bisa dijumpai. Tentunya dari sebuah perjalanan tersebut, memiliki beberapa keberagaman bentuk dari setiap perkembangan zamannya, hal ini dilatar belakangi pula dengan dinamika kehidupan masyarakat dan kebudayaannya. Dimana faktor utama dalam keberagaman bentuk tersebut dilatarbelakangi pula dengan berbagai pandangan atau perpekstif, semangat (kreativitas) atau emosi, serta intepretasi manusia disetiap zamannya terhadap teater. Tidak luput pula hal yang sangat signifikan adanya keberagaman bentuk teater itu sendiri, bisa di latarbelakangi karena Indonesia ditempati atau dihuni oleh berbagai kelompok manusia yang berlainan budaya. Baik dari budaya internal (Indonesia) maupun budaya ekternal (budaya luar), yang sedikitnya telah memberi warna, bentuk bagi keberagaman teater.
Pada saat ini, di wilayah Jawa Barat memiliki keberagaman bentuk teater. Untuk menjelaskan bentuk-bentuk teater tersebut di sini penulis akan merujuk apa yang telah dikatakan oleh Harimawan dalam bukunya yang berjudul “Dramaturgi”, yakni seperti :
1. Bentuk teater yang lahir di dalam lingkungan kehidupan desa. Kegiatannya terikat erat oleh persoalan kehidupan sehari-hari dalam desa, yaitu adat atau agama.
2. Bentuk teater yang lahir di keraton. Pertunjukan dilakukan pada upacara-upacara tertentu, sedangkan para pelakunya adalah para anggota keluarga bangsawan. Pertunjukan hanya dilaksanakan untuk kalangan terbatas. Tingkat artistik yang dicapai bisa tinggi sekali. Cerita pada umumnya berkisar pada kehidupan kaum bangsawan yang dekat pada dewa-dewa dan sebagainya. Dunia kenyataan di luar keraton tidaklah menjadi persoalan.
3. Bentuk teater yang tumbuh di kota-kota. Kadang-kadang masih membawa bentuk-bentuk yang di desa atau di keraton. Ia lahir dari kebutuhan yang timbul dengan tumbuhnya kelompok-kelompok baru di dalam masyarakat dan sebagai produk dari kebudayaan baru, sebagai fenomena modern.
4. Bentuk teater yang diberi predikat modern atau kontemporer. Ia menampilkan peranan manusia bukan sebagai tipe, melainkan sebagai individu. Dalam dirinya terkandung potensi yang besar untuk tumbuh, tetapi pada saat ini, ia merupakan teater golongan minoritas. Ia adalah hasil pencarian yang dilakukan oleh manusia secara terus menerus.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas, kiranya sangat signifikan untuk menentukkan ragam jenis teater yang ada di Jawa Barat, dalam hal untuk menunjukkan mana bentuk teater rakyat, dan mana yang termasuk kedalam bentuk teater klasik (kraton).
2.4 Permasalahan Teater Rakyat Jawa Barat
Berbagai masalah dalam perkembangan dunia teater rakayat di Jawa Barat begitu mendera --sehingga kepunahan teater rakyat tidak bisa lagi dihindarkan. Hal ini disebabkan bahwa teater rakyat sebagai seni secara mikro dan makronya budaya pada dasarnya tidaklah statis akan tetapi bersifat dinamis. Dinamika yang terjadi dalam teater diakibatkan beberapa faktor diantaranya: faktor perubahan politik --peralihan dari orde baru ke reformasi, sosial kultur serta serangan budaya luar yang tidak lagi terbendung atau kebanjiran budaya (culturally overhelmed), menurut istilah Spradley. Sehingga Jawa Barat menjadi wilayah bagi tumpahan budaya-budaya luar (ekternal), hal ini sangat memungkinkan pula membuat masyarakat Jawa Barat berada dalam suatu kondisi ketercerabutan budaya (culturally deprived) atau kehilangan identitas budayanya. Paradigma masyarakat penyangga berubah, baik itu cara pandang terhadap alamnya ataupun cara pandang dalam bermasyarakatnya. Dengan demikian akan berpengaruh pula pada cara pandang berkeseniannya, termasuk terhadap teater rakyat kita. Kini masyarakat sudah berubah, mereka lebih mencintai cerita setengah Barat daripada cerita-cerita rakyat. Sehingga teater rakyat menjadi punah. Ini Sebuah hal yang berat, jika teater rakyat menjadi teater rakyat yang hidup. Saini KM mengungkapkan:
Ini berat. Saya pun tidak mungkin melakukan sesuatu, sehingga teater rakyat ini menjadi teater rakyat yang hidup. Sekarang masyarakat tidak kenal lagi cerita-cerita rakyat dan mereka lebih kenal cerita setengah rakyat dan setengah Barat. Misalnya saya mementaskan Sangkuriang, anak-anak sekarang sudah tidak mengenal. Dianggapnya apa. Kalau saya mementaskan Damar Wulan misalnya. Berbeda sekali dengan di Barat, mereka di sekolahnya sudah diajar (Wawancara : Saini K.M, 29 Oktober 2010).
Disamping itu, ada beberapa hal lebih penting yang mempengaruhi lenyapnya teater rakyat di Jawa Barat khususnya kota Bandung, melalui beberapa wawancara terutama Arthur S. Nalan dan beberapa koleganya: Saini KM, Jakob Sumardjo, Yoyo C. Durachman. Akibat kepunahan yang terjadi dalam teater rakayat di Jawa Barat ada beberapa faktor di antaranya: Pemerintah, Seniman teater rakyat, dan Jurusan Teater STSI Bandung
2.4.1. Pemerintah
Pemerintah salah satu unsur, yang idealnya punya perhatian terhadap masalah-masalah kebudayaan. Khususnya pada teater rakyat, selama ini jauh dari harapan. Kepunahan berbagai jenis teater rakyat, belum bisa menggerakan dirinya untuk bertindak. Tapi berjalan sendiri dan sibuk dengan urusan-urusan kekuasaan. Dari pemerintahan pusat sampai daerah tidak punya kepedulian sama sekali. Mereka adalah orang-orang yang tidak peduli pada cara hidup masyarakat. Jakob Sumardjo, mengatakan:
Kita sebenarnya tidak bisa mengharap pada pemerintah, orang-orang pemerintah itu kebanyakan orang-orang yang tidak seperti kita, mereka tidak peduli pada kebudayaan. Orang-orang itu pedulinya pada kekuasaan. Tidak pada cara hidup masyarakat. Kalau orang-orang seperti pemerintah, kita jangan terlalu mengharap. Nah yang bisa dirubah, jika ada tokoh-tokoh yang peduli terhadap kebudayaan. Kita usahakan dia bisa memerintah. Tapi kalau sekarang kita mengharap pemerintah dari pusat ke daerah, orang tidak punya kepedulian sama sekali. Kita tidak bisa berharap banyak meskipun kita terangan-terangan. Mereka tidak memahami nilai-nilai luhur, yang harus ditinjau secara modern (Wawancara : Jakob Sumardjo, 26 Oktober 2010).
Pemerintah yang diwakili Disbudpar ini, sebuah dinas yang menangani masalah-masalah kebudayaan dan pariwisata, sebenarnya sebuah unsur dalam sistem teater rakyat, yang memiliki tanggungjawab khusus untuk pembinaan dan konservasi kebudayaan lokal. Kurang melakukan penggalian-pengalian dan berpihak pada perkembangan teater rakyat. Selama ini hanya berbasis pada program yang tidak dilakukan secara berkesinambungan. Hanya berbasis proyek. Karena banyak pejabat-pejabatnya yang tidak memahami masalah-masalah kebudayaan. Bersifat pegawai saja. Dan ada dugaan cenderung kental dengan muatan-muatan politik. Yoyo C. Durachman menuturkan:
…Misalkan kalau orang mau mengangkat si X itu menjadi kepala ini (Disbudpar), suatu jabatan yang penting dikalangan Pemda, si X ini dapat dukungan enggak dari partai politik. Dia yang mendapat dukungan belum tentu yang konsen, atau menguasai masalah-masalah. Akibat dari itu, akhirnya program-program yang dilaksanakan oleh Disbudpar itu, hanya bersifat semacam seremonial saja. Dalam tanda kutif Proyek. Karena bersifat begitu. Pikiran mereka itu selalu, bahwa kesenian yang patut dipelihara itu kesenian yang berorientasi pada pariwisata. Maka karena berorientasi pada pariwisata bobot keseniannya itu harus tinggi., harus mengikuti selera masyarakat. Padahal di negara-negara maju kesenian-kesenian yang serius itu bisa menjadi objek wisatawan. Dan yang menjadi masalah, program kontinu itu tidak ada. Kalau di negara maju terciptakan. Jadi sebaiknnya Disbudpar itu membuat kegiatan yang lebih dipertanggung jawabkan(Wawancara: Yoyo C. Durachman, 25 Oktober 2010).
Penulis fikir bagaimana sebuah kesenian bisa berkembang dan teater rakyat bisa terus hidup jika mental-mental atau kemampuan oknum pegawai pemerintah (Disbudpar) hanya mengarah pada proyek semata (merujuk pada pendapat Yoyo C. durachman). Sedangkan di daerah, seniman-seniman teater rakyat berharap ada pembinaan dan pemberdayaan. Mereka menunggu ada upaya yang lebih kongkret dari pemerintah.
Disamping itu, Disbudpar selama ini katanya --hanya berposisi sebagai pendata saja. Sebaiknya mereka melakukan pembinaan pada generasi muda untuk merevitalisasi ulang. Bagi mereka kebudayaan itu bukan masalah yang utama. Nandi Riffandi :
Disbudpar selama ini hanya mendata saja. Yang bagus di tampilkan. Sementara yang punah-punah, kesenian yang mau habis -- mereka tidak berusaha merevitalisasi ulang. Kalau ada revitalisai kan ada orang-orang muda yang bisa dididik, punya talenta. Karena saya pikir kebudayaan itu jadi nomor berapa. Sekarang kebudayan porak poranda (Wawancara: Nandi Riffandi, 28 Oktober 2010).
Disamping itu, pegawai-pegawai dinas ini bukanlah orang-orang profesional, yang belum tentu orang kebudayaan. Orang hukum, atau orang tekhnik. Jabatan-jabatan mereka sifatnya birokrasi saja. Jakob Sumardjo menuturkan:
Disbudpar sebaiknya, dipegang oleh orang-orang yang bener-bener profesional. Jangan pegawai begitulah. Tapi menurut saya, pelaksananya boleh pegawai. Tapi kenapa ketua-ketuanya enggak di ambil dari orang luar. Mereka selalu, jabatannya jabatan birokrasi saja. Bukan jabatan profesional. Kalau birokrasi pegawai-pegawai Budpar itu, belum tentu orang kebudayaan. Orang hukum, atau orang tekhnik, dan sebagainya. Ya, susah selama sistem pemerintahan sendiri enggak di rubah (Wawancara : Jakob Sumardjo, 26 Oktober 2010).
Begitulah kondisi Disbudpar yang sebaiknya punya kepekaan terhadap persoalan kepunahan teater rakyat di Jawa Barat ini. Namun disayangkan, sebuah dinas kebudayan yang dikelola secara profesional --tampaknya masih hanya harapan yang tidak tahu kapan akan tercapai.
2.4.2. Seniman Teater Rakyat
Seniman teater rakyat merupakan sekelompok masyarakat yang hidup pada umumnya dalam lapisan sosial bawah. Mereka memiliki cara pandang tradisi konservatif. Dengan tidak bermaksud merendahkan, banyak yang berpendidikan rendah. Sikap mereka yang polos dan apa adanya dalam berekspresi kesenian. Dan lambat dalam menangkap informasi kekinian, membaca jaman, dan beradavatasi berkesenian, khususnya bergiat di teater yang sesuai dengan apa yang masyarakat butuhkan sangat sulit. Akhirnya, teater rakyat yang mengandung idiom-idion lama, yang tidak sesuai dengan waktu sekarang punah, karena tidak mampu mengikuti keinginan masyarakat pendukungnya yang terus berubah, karena faktor serangan budaya luar yang ditawarkan oleh media masa. Sedangkan teater rakyat bisa hidup karena didukung ekologinya. Yoyo C. Durachman berpendapat:
Teater rakyat harus di dukung ekologinya. Pengertian saya: ekologi itu, suatu lingkungan yang bisa mendukung sesuatu untuk bisa hidup. Sekarang kita berbicara lingkungannya teater rakyat Jawa Barat. Teater rakyat Jawa Barat itu, dia akan bisa hidup: 1) kalau ada pelakunya. Pelakunya sekarang gimana? Tidak ada regenerasi, dan sebagainya. Kenapa tidak ada regenerasi? Mungkin jawabannya teater rakyat tidak menghasilkan secara ekonomi. Kenapa? Ya, tidak ada ‘pengguna’ (Apresiator, penonton). Karena teater rakyat hidup itu oleh penontonnya. Sekarang, jarang sekali orang yang menanggap teater rakyat. 2) tradisi budayanya. Misalnya tradisi kesundaannya, dan lain sebagainya. Teater rakyat bisa hidup kalau tradisinya mendukung. Misalnya sarana dan prasarananya (Wawancara: Yoyo C. Durachman, 25 Oktober 2010).
Selain itu, sikap mempertahankan diri pada status lama sering terjadi. Sehingga proses regenerasi tidak tercipta. Sifat yang tidak mau berubah dan bekerjasama dengan seniman lain pun, menjadi ciri khas seniman teater rakyat atau tradisi. Seperti dalam sandiwara sunda atau reog. Hernawan SA mengatakan:
Misalnya dalam sandiwara atau reog. Kenapa mereka enggak mau membuat regenerasi. Ketika ada orang-orang muda yang mau masuk ke dalam, contoh dalam sandiwara sunda, padahal mereka mampu melakukannya. Kenapa harus tetap yang main itu orang-orang lama. Ini belum bisa, katanya. Ini ada ego di seniman-seniman teater tradisional itu. Misalnya, katanya: Saya dari dulu jadi pangeran, jadi putri. Enggak bisa digantikan. Enggak merasa mereka itu sudah tua. Mereka ketakutan untuk disaingi oleh orang muda. Bahkan ada yang mengatakan, saya enggak mau main kalau saya tidak jadi pangeran. Kalau jadi permaisuri, jadi permaisuri. Kalau jadi pangeran, jadi pangeran (Wawancara: Hernawan SA, 01 November 2010).
Meskipun itu adalah kasus kecil, setidaknya ini memberi gambaran mengenai karakter khas seniman-seniman tradisi Sunda (kecuali yang di bentuk di akademik), yang tidak mau terbuka pada sebuah perubahan. Dan cenderung mereka tidak mau saling mendukung satu sama lain dalam sikap memajukan seni-seni rakyat, khususnya teater rakyat di Jawa Barat.
2.4.3. Jurusan Teater STSI Bandung
Jurusan teater STSI Bandung merupakan barometer (tolak ukur) dalam penciptaan kreatifitas teater, dan lembagaa pendidikan seni ini telah banyak melahirkan teaterawan-teaterawan dan ribuan alumni yang tersebar di seluruh wilayah Jawa Barat. Dengan kehadiran para teaterawan dan alumni teater tersebut, dalam wawancara dengan penulis, secara tidak langsung Saini KM menyarankan sebaiknya ikut menjadi bagian dalam upaya konservasi teater-teater tradisi di Jawa Barat, dengan cara perombakan kurikulum yang berorientasi pada penegakan teater tradisi. Selama ini, kiprah para teaterawan dan alumni yang dilahirkan oleh kurikulum yang berorientasi pada teater Barat ini, banyak yang kurang peduli terhadap persolan perkembangan teater rakyat di Jawa Barat. Justru mereka lebih bergelut dengan teater Barat. Ini adalah kesalahan kurikulum, salahsatunya, yang belum berpihak pada penegakan teater rakyat. Saini KM mengatakan:
…..Kesalahan kurikulum diantaranya. Dianggapnya, anak-anak sekarang lebih senang teater rakyat Barat. Oleh karenanya, di TV semua itu. Sedangkan teater rakyat yang banyak di sekeliling, kalau kita pergi ke kampung misalnya, banyak teater rakyat ini. Mereka tidak lagi terangsang oleh itu, dan mereka bawa permainan teater Barat ke kampung. Bangga mereka itu. Orang kampung anggapnya apa itu. Nah, karena saya katakan tadi --dalam kurikulum penegakan teater rakyat itu belum ada (Wawancara: 29 Oktober 2010).
Perombakan kurikulum, perangkat mata kuliah di sebuah lembaga pendidikan, khusunya di jurusan teater STSI Bandung mutlak dilakukan. Guna menciptakan para teaterawan dan alumni yang punya kepedulian terhadap penggalian seni teater rakyat. Pengkajian, revitalisasi, atau konservasi.
Kepunahan teater tradisi ini, sebetulnya, adalah tanggungjawab akademisi seni, yang tertuang dalam tridarma perguruan tinggi. Sebuah pengabdian pada masyarakat. Lepas dari jurusan teater STSI yang sekarang berorientasi pada teater Barat. Setidaknya sebagai akademisi seni, punya rasa keterpanggilan untuk pembinaan-pembinaan terhadap seniman-seniman tradisi, yang sedang mengharap adanya satu pencerahan -- supaya teater rakyat bisa hidup. Disamping itu, idealnya banyak melakukan riset (tanpa menunggu hibah) untuk kepentingan pendokumentasian, diskusi, konservasi, pertunjukan-pertujukan yang berakar tradisi lokal, dan lain sebagainya.
Justru sekarang, para teaterawan yang di dilahirkan di jurusan teater STSI Bandung, banyak yang merasa bangga (sebagaimana yang dikatakan Saini KM) ketika mereka mementaskan naskah-naskah Barat. Daripada mempertunjukan teater-teater yang berwarna lokal, baik itu mengolah naskah-naskah lokal atau idiom-idiom yang berakar tradisi. Kecenderungan ini mengakibatkan kurangnya apresiasi teater rakyat di wilayah kampus sendiri. Apalagi di luar kampus.
Melihat keadaan seperti ini, Arthur S. Nalan pun memiliki kesepakatan yang sama, jika kurikulum jurusan Teater STSI Bandung di rubah. Ia setuju tapi harus ada terobosan yang berani dari semua. tidak berorientasi pada Barat, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan teater rakyat sekarang. Dan tidak berlebihan jika kampus seni “bebenah dan berkiprah”, saat ini perlu membaca mengktritisi tujuan dan sasaran pendidikan teater. Arthur S. Nalan:
Tidak berlebihan, jika kita mau melakukannya, yakni “bebenah dan berkiprah” dalam artian dalam beberapa langkah, diantaranya:
1. Membaca dan mengkritisi tujuan dan sasaran pendidikan
teater.
2. Menelaah dan memfokuskan kurikulum yang merujuk pada
tujuan dan sasaran.
3. Melakukan proyeksi penguatan dan pengayaan terhadap
beberapa ketrampilan hidup (lifeskills), seperti menulis lakon,
mengembangkan bentuk-bentuk ekspresi baru, memiliki garapan khas, praktis dan menarik.
4. Meningkatkan pendidikan dosen (secara berkala) dan
mendorong melahirkan tokoh homocreator di bidangnya.
5. Memiliki tokoh panutan kreatifitas dan pengkaji dengan
melahirkan pertunjukan dan buku untuk masyarakat.
Sekarang ini, menurutnya, kampus-kampus seni tengah melakukan proses pencarian kembali, proses memilih kembali, mencari akar budaya, kekuatan lokal. Dari kesadaran-kesadaran batin para pembaharu. Karena itu sudah saatnya “pembacaan kembali” pada pendidikan teater di beberapa kampus seni, khusnya bisa jadi jurusan teater STSI Bandung. Apa tujuan dari sasasaran pendidikan teater kita? Lulusan ingin seperti apa? Karena peran alumni sesungguhnya akan menjadi indicator-indicator (sesuatu yang menjadi petunjuk) di masyarakat. Masyarakat menunggu dan ingin melihat peran alumni, para sarjana seni yang dihasilkan.
BAB III
PERJALANAN ARTHUR S. NALAN
3.1 Biografi Arthur S. Nalan
3.1.1 Masa Kecil
Arthur S Nalan lahir di Majalengka hari Sabtu, 21 Februari 1959 dalam keadaan premature. Ia anak sulung dari lima bersaudara, pasangan H. Drs. Arsim Nalan Natawiguna asal Sumedang dengan Hj. Tuti Ruchiati asal Majalengka. Namanya pun sebagai wujud cinta mereka merupakan penyatuan nama Ar dan Tur. Tetapi karena ayahnya seorang sarjana sejarah sangat kagum pada dua tokoh sejarah legendaries, yaitu King Arthur dari Inggris dan Jendral Mc Arthur dari Amerika, namanya dilengkapi jadi Arthur. Orang Sunda yang bernama Asing. Ia tinggal di kampung Kaputihan, letaknya di Majalengka kota sebelah timur dekat dengan komplek makam Giri Lawungan.
Dulu sewaktu kedua orang tuanya menikah masih menjadi pasangan muda, ayahnya guru SMP di Majalengka dan kemudian pindah ke Bandung. Mereka hidup di Bandung, Arthur tinggal dengan nenek dari ibu yang biasa dipanggil Mimi, nama sebenarnya Hj. Atinah. Kakeknya bernama Mukti Sanusi, mantan Jurutulis di masa lalu, karena itu dipanggil masyarakat dengan sebutan Wa Ulis. Ia memanggil kakeknya Mama. Arthur kecil tinggal dengan para bibi (adik ibunya) dan menjadi anak kesayangan Mimi.
Sebagai anak kampung waktu itu Arthur termasuk suka bergaul dengan teman sebaya dan di bawahnya. Teman masa kecil, katanya ada beberapa, seperti: Didi Rosadi, Sadikin, Wowo Sugriwo, Ading, Pandi. Sekarang mereka sudah pada berumah tangga dan kebiasaan di daerahnya, banyak yang menjadi pengembara artinya tinggal di kota lain, seperti Jakarta, Cirebon, dan Jawa. Kalaupun ada yang tinggal di Majalengka, biasanya yang beristri orang Majalengka.
Mama Arthur, kakeknya, seorang tokoh masyarakat yang dituakan, termasuk dalam urusan agama dan sosial. Ia punya beberapa kambing dan ayam peliharaan di kebun samping rumah. Di dekat rumahnya juga ada Tajug (langgar bagi masyarakat ibadah sholat lima waktu dan berkumpul). Mamanya sendiri yang mencari rumput, ia sekali-kali ikut. Biasanya mengambil rumput di Pasir Cangkudu dan Pasir Cina. (Keduanya tempat kuburan). Tetapi tempat bermain yang mengasyikan, seperti “ngala jangkrik” dan “maen langlayangan”.
Di dekat kampung ia ada sungai besar namanya Cideres, airnya jernih dan berbatu. Ada beberapa Leuwi (kedung) yang diberi nama orang, seperti Leuwi Pak Eye, Leuwi Pak Jaka. Arthur dan kawan-kawan sering bermain ke Cideres, mandi dan berenang. (Arthur bisa berenang pertama kali karena sering mandi di Leuwi). Lalu biasanya beristirahat dan membuat kedokan (tumpukan batu sungai yang dicampur jerami) di sungai yang airnya tidak deras, tujuannya supaya ada ikan yang terperangkap. Tiga hari atau seminggu kemudian dilihat, biasanya ada ikan kecil yang terperangkap, seperti benter, kehkel. Lalu biasanya dibakar dipinggir sungai dan dimakan.
Arthur sekolah di SDN 4 Majalengka, waktu itu kepala sekolahnya Pak Saiful Islam. Dulu tak bersepatu hanya bersandal. Di sekolah bertambah teman satu sekolah, kalau tidak salah, katanya, yang akrab Dadang, Misna, dan Wawan. Sore hari ia belajar agama dan mengaji di Darul Huda, pesantren milik Haji Damiri, ulama terkenal di daerah Warung Jambu. Arthur bersahabat dengan anaknya Otong. Ia bisa mengaji karena didikan dari Darul Huda dan kakeknya. Kalau maghrib solat di tajug di kampungnya, biasa disebut Tajug Pak Lami, karena yang mendirikannya. Ia paling senang mendengarkan dongeng Islami dan Silat dari Mang Encim, Ia pandai sekali mendongeng. Arthur ingin bisa mendongeng seperti dia.
Kebiasaan masa kecil ada yang buruk dan yang baik. Tetapi keduanya dianggap biasa saja. Yang buruk, adalah kenakalaan masa kecil, seperti mencuri mangga, mencuri tebu di kebun tebu milik pabrik gula, kabur dari mengaji, mencuri bonteng (mentimun), mempermainkan anak perempuan. Yang baik, belajar mengaji, sholat, tampil di acara Rajaban, Imtihan, hafal surat-surat, Muludan. Kebiasaan pada seninya, adalah mendengarkan dongeng agama dan silat, dan nonton wayang. Arthur dijuluki Si Gungclo, setiap ada pertunjukan wayang selama masih di Majalengka ia dan kawan-kawan suka nonton, bahkan kalau agak jauh diantar kakeknya, pulangnya subuh bersama teman-teman.
Arthur juga juara deklamasi se-Majalengka. Kemudian se-wilayah Cirebon. Ia paling senang pada puisi ‘AKU’ Chairil Anwar dan ‘Peuting’ di Bandung, Surachman RM.
Arthur juga suka nonton Sandiwara Sunda, Topeng Cirebon, Wayang Kulit (Dalang Renda) dan Orkes Melayu. Juga nonton film di Istana Bintang, terutama film cowboy, dengan Pupung teman satu sekolah (bapaknya penjaga Bioskop).
3.1.2 Masa Remaja
Masa kecil sebuah kenangan yang besar baginya. Tamat SD Ia pindah ke Bandung. Tinggal bersama orang tua di Jl. Sukaaman Cicadas Bandung. Tepatnya di belakang Rumah Sakit Al Islam, jalan Awibitung. Arthur tinggal dengan adik-adik dari tahun ke tahun bertambah akil balig. Ia masuk SMPN 5 di jalan Jawa yang waktu itu masih sepi, tahun 1970an. Ia diantar pake becak langganan keluarga bersama adiknya, Dian B Nalan. Waktu itu kepala sekolahnya Pa Lili sadeli. Arthur bersahabat dengan Mamay (anaknya Gubernur Solihin GP). Ia aktif pramuka dengan bimbingan Pak Abidin (guru agama). Ia biasanya menulis sajak dan puisi. Bahkan Arthur suka diminta bikinkan surat untuk teman sekelas membuatkan surat cinta. Ia sudah mulai menyenangi lawan jenis dan menjalin cinta monyet. Ia senang padanya karena pintar, terutama pandai bahasa Inggris dan tulisannya bagus.
Pergaulan anak kota Arthur jalani, mulai dibelikan motor Honda Bebek. Dan sering naik ke Puncrut (sekarang biasa disebut Punclut). Ia juga suka naik gunung, seperti ke Jayagiri Tangkuban Parahu. (Karena penasaran lagu Melati dari Jayagiri, Bimbo). Ia mulai menjadi penulis saja yang diam-diam. Ia juga suka menggambar, pelajaran menggambar nilainya A. Olah raga kesukaannya, berenang dan Basket.
Lulus SMPN 5 ia didaftarkan ke SMAN 3 Bandung jurusan Paspal (Pasti Alam, kalau sekarang IPA). Sekolah terkenal dan bergengsi. Keinginan orang tua siapa yang bisa membantah waktu itu, katanya. Padahal ia ingin ke SMAN 1 bersama Mamay yang sekolah di sana. Tapi Arthur jalani dengan perjuangan luar biasa, guru yang disiplin, soal latihan yang selalu banyak. Membuat “teller” juga (apa yang ia katakan). Dari mulai Aljabar analit, Fisika Mekanika, Biologi, Kimia Organik dan Anorganik, Ilmu Ukur Ruang, Ilmu Ukur Sudut, benar-benar membuat kepala berdenyut. Hingga hasilnya “tak memuaskan” di raport, hanya nilai Agama dan kesenian yang bagus. Takut anaknya tidak lulus, maka tahun kedua Arthur “terpaksa” dipindahkan kembali ke Majalengka. Menjadi siswa SMAN 1 Majalengka. Akhirnya ia beradaptasi kembali dengan kondisi di daerah. Kebetulan waktu itu ayahnya menjabat sebagai Kepala Dinas Kantor Departemen P & K Kabupaten Majalengka. Mereka tidak tinggal di rumah nenek, tetapi menyewa rumah di Gang Suma. Tetapi ia lebih suka tidur di rumah Neneknya.
Hanya saja semua kenangan masa kecil mulai menghilang. Teman-teman masa kecil sudah tak tinggal lagi di kampung, pada mengembara. Ia jadi bergaul dengan teman SMA, walaupun ada juga teman masa SD yang kini satu SMA. Arthur bersahabat dengan Maliki anak Kadipaten (kini di Jakarta), Hendra (kini di Cirebon), dan Yusuf (sudah meninggal). Sebagai remaja kota yang datang kembali ke daerah, kebiasaan kota ia bawa, ia menjadi pemain Basket yang mengajak teman-teman menyukainya, akhirnya membentuk grup Basket kelas, lalu sekolah. Padahal dibalik itu, Arthur berbasket ria untuk memikat siswa perempuan biar suka, dan berhasil. Ia memacari teman-teman satu sekolah, sekolah lain yang katanya ada “kembang sekolahnya”. Namun yang paling membuahkan kenangan indah dengan teman SD yang ketemu kembali setelah SMA, sebut saja namanya Sabarika. Penyabar, pandai dan cantik tentu saja.
Di SMA ia aktifis kesenian, majalah sekolah dan kegiatan kesenian merupakan bagian dari kesibukannya. Bahkan tahun 1977 pernah ikut Festival Teater di Bandung, ia dan kawan-kawan dapat artistic dan pemeran perempuan. Prestasi lumayan, walaupun tidak juara umum. Naskahnya Bejanakarya Kadarisman Achlil, ia berperan sebagai Ayah. Sutradaranya adalah gurunya, yaitu Pak Lukman. Kegiatan kesenian semakin semarak, termasuk Folksong yang waktu itu tengah mewabah. Arthur paling tidak biasa menyanyi, jadinya hanya mengkoordinir saja. Ia menjadi wakil ketua OSIS, ketuanya Yusuf (almarhum). Arthur juga jadi ketua organisasi BPRK (Bandung Pos Remaja Klub) Majalengka, dan juga menjadi pengurus Pramuka DKC (Dewan Kerja Cabang) Majalengka, ketuanya Apang Sopandi. Ia juga suka alam, hampir gunung-gunung di daerah Majalengka dan sekitarnya pernah di datangi. Puisi-puisinya lebih banyak puisi cinta. Beberapa lakon yang di buat judulnya: Nostalgia, Memorial, Ketika Matahari Menyengat.
3.1.2 Masa Kuliah
Lulus SMA, kembali ke Bandung. Ia diharuskan ke ITB arsitektur, ia menurut untuk ikut testing (padahal ia testing ke jurusan Seni Rupa). Untunglah tidak lulus ke ITB. Ayahnya punya sahabat semasa sekolah di Sumedang, kemudian ke IKIP Bandung, yaitu sastrawan ternama Saini KM (kebetulan Pak Saini KM Dosen di ASTI Bandung), daripada anaknya tidak kuliah, akhirnya masuklah ke jurusan teater ASTI Bandung lewat penitipan kepada Pak Saini KM supaya ia “dibina” sampai berhasil. Sama dengan apa yang dituturkan oleh Saini KM:
Jadi begini, ayahnya datang kepada saya. Titip anak ini supaya sekolahnya maju dan sebagainya. Ayahnya adalah teman sekolah saya. Lalu waktu sudah selesai sekolah, sudah mengajar di STSI, ayahnya datang lagi. Arthur itu sebaiknya di dorong untuk sekolah lagi, biar yang memberi dana saya. Jadi ayahnya sangat mendorong dan akan mendukung dengan semua kekuatan. Arthur sebagai mahasiswa, yang sebetulnya punya gambaran yangn baik tentang masa depan(Wawancara: Saini KM , 25 Oktober 2010).
Ibarat ikan diceburkan ke kolam, Arthur sangat bersemangat belajar seni teater dengan bimbingan Pak Saini KM. Waktu itu ia ingin seperti beliau, pandai, bersahaja dan baik pada setiap orang. Ayahnya pernah bilang soal Pak Saini: “Saini mah jalma anu hade ka sasama, teu budak teu kolot, sarua hade, kudu diturutan !”. Maka akhirnya ia tumbuh sebagai mahasiswa teater angkatan pertama (1978). Waktu itu mahasiswanya yang muda dan yang tua, yang muda: Arthur S. Nalan, Tini Margono, Yoyo cahyo, Herry Dim, Bambang Asmara, Willy Sembung. Ika. Yang tua: Pak Toha, Eka Gandara, Nooringhati, Cece Raksa, Ajat Sudrajat. Dosen pemeranan dan penyutradaraan adalah Pak Suyatna Anirun, Sastra Drama dan Filsafat oleh Pak Saini Sendiri, barulah belakangan Pak Yakob Sumardjo mengajar Sejarah Kebudayaan, dan Pak Dedi Suardi mengajar Seni Rupa dan Artistik.
Sejak tahun 1978 Arthur mulai aktif dengan Pak Suyatna di STB (Studi Klub Bandung) menjadi pemeran “anak bawang” artinya peran-peran kecil saja. Secara perlahan tapi pasti ia mulai mendapat peran, seperti Juru Tulis Kuwu Adam (Jembangan Pecah), Jaluwuyung (Randumulus), Haemon (Antigone), bahkan sampai peran utama sebagai Anggaraksa (Egmont). Ia aktif di STB sampai tahun 2003.
Sejak 1978 juga persahabatannya(Arthur S. Nalan, Yoyo Cahyo, Herry Dim dan Tini Margono) membentuk kelompok teater, awalnya p-teater, kemudian menjadi Sanggar Kita. Yoyo Cahyo lebih banyak bertindak sebagai sutradara dan ia sebagai aktor sekali-sekali jadi Sutradara. Garapan Sanggar Kita” Pengikut Iblis (GB Shaw), Teroris (Camus), Inspektur Jendral (Gogol), Raja Mati (Ionesco). Sebagai sutradara: Perampok (JF Sciller), Perang Troya Takan Meletus (Jean Gireadoux) (diadaptasi jadi Perang Bidar), Serat Santri Kembang (Arthur S Nalan).
Arthur menjadi mahasiswa teater yang aktif, setelah angkatan bertambah (1979) di mana mahasiswanya: Dede Sukmadi Dukat, Rachman Sabur, Rusman Nurdin, Herman Effendi, Sumpeno Esti, Nandi Rifandi dan sebagainya. Penampilan mahasiswa teater mudah dibedakan dengan mahasiswa Tari dan Karawitan yakni berambut gondrong dan pakaian seenaknya. Termasuk Arthur, Jean atau celana lusuh loak model tentara, jaket GI dan dilengkapi Sal dileher. Ia dan kawan-kawan membentuk KMT (Keluarga Mahasiswa Teater) ketua pertamanya Dede Sukmadi Dukat.
Sebagai pemuda yang mengagumi keindahan dan kecantikan anugerah Tuhan. Ia memacari mahasiswi Tari, tetapi yang serius menjalin hubungan karena kesederhanaannya dan keanggunannya, Arthur jatuh cinta pada Lina Marliana Hidayat yang akhirnya kini menjadi istrinya dan melahirkan anak anak kami, yaitu: Mahesa Herlambang Nalan (1983) dan Ziad Bestari Nalan (1987). Keduanya kini sudah sarjana.
Tahun 1981 ia lulus Sarjana Muda dari jurusan Teater ASTI Bandung, dan langsung ditawari sebagai PNS bersama Yoyo Cahyo. Maka mulai tahun 1982 Arthur jadi PNS sebagai Tenaga Edukatif non Asisten (begitu SKnya). Tahun 1983 ia menikah dengan Lina Marliana Hidayat di Subang. Karena ayahnya sebagaai administrator Perkebunan Kasomalang Subang.
3.1.3 Masa Perkawinan
Setelah menikah ia tinggal di Komplek Parakan (Jl. F38) yang sekarang menjadi Jl. Parakan Asih No 7 Bandung. Rumah itu hadiah perkawinan dari orang tuanya, karena ia dan istrinya berhasil studi dan juga menjadi PNS. Rumah ia awalnya rumah tak bertingkat dan model seadanya. Luasnya sekitar 125 m2. Tahun 1983 Oktober Arthur dikaruniai anak pertama, seorang laki-laki ia beri nama Mahesa Herlambang Nalan. Tahun 1996 direnovasi hasil dari hadiah beberapa lakon dan tentu saja pinjam ke Bank. Membangun bagian belakang. Tahun 1998 ditingkatkan menjadi dua tingkat sejalan dengan kedua anaknya (Mahesa ) dan Ziad Bestari Nalan sudah mulai remaja. Masing-masing punya kamar sendiri.
Arthur mulai merintis menjadi penulis lakon (ingin seperti Pak Saini KM), ia menulis lakon: Bhubuksah (akhirnya judulnya diganti jadi Hujan Keris) dan diikutkan pada sayembara lakon DKJ, menang sebagai juara harapan 1. Kemudian lakon anak-anak: Si Samudra dan Dunianya Didong (Sayembara Direktorat Kesenian- sebagai Juara harapan 1), keduanya diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Buana (ia tak punya arsipnya, ada yang pinjam dan hilang). Lakon Tembang Rawayan (Dirkes- Juara harapan), Serat Santri Kembang (DKJ 1987) juara harapan 1, Si Badul dan anak ondel-ondel (lakon anak- Dinas Kebudayaan DKI), Sobrat (DKJ 2004) juara ke 1.
Pengalaman menulis lakon, terus sampai sekarang (lebih dari 20 tahun) dan sudah menulis sekitar 50 lakon, termasuk Monolog, Drama Kecil, Skenografi Tari dll. Juga menulis scenario film (TV), yang sudah diproduksi: Bahana Cinta, Lazuardi, Dibalik Panggung. Jalan Perkawinan (Direktorat Film Kementrian Budpar-juara 1), Wanita Dari Negeri wewangian (Direktorat Film Kementrian Budpar-Juara 5 Besar). Kini kegiatan menulisnya bertambah dengan menulis Novel: Benang Merah, Zakaria (sudah selesai) dan Sepasang Mata Cinta, Ali Kodom (sedang diselesaikan).
Sebagai orang Sunda pituin (asli), ia menulis dalam bahasa ibu. Arthur menulis lakon: Kopiah Jeung Sarung, Oleng Panganten, Kasur Butut, Sorabi Lagendaris, Sajak Balangsak, Cocoretetan nu Edan (sudah dipublikasikan dan digarap di festival Teater Sunda Kiwari setiap dua tahun sekali), Ucing Kawin, Benang Kusut (sudah selesai belum dipublikasikan), Nu Gelo ti Cipagalo (sedang ditulis).
Ia menulis prosa liris Sunda: Ngabungbang Jeung Sangkuriang (sudah selesai, tengah proses publikasi), Tampolong Nini (sedang diselesaikan).
Proses menulis terus ia jalani dengan spirit meritokrasi (keteladanan) bagi generasi penulis yang akan datang, artinya bahwa menulis perlu prilaku disiplin waktu yang diatur berdasarkan diri sendiri, ia sekarang lebih banyak melakukan kegiatan menulis pada tengah malam sampai pagi, biasanya setelah sholat malam. Di samping itu menulis perlu banyak membaca dan melihat “kehidupan” karena itu Arthur menyetujui metode yang dibuat Vicky King (penulis Australia) tentang “Inner Movie” untuk membuat scenario yang baik, karena itu ia juga mengadaptasinya jadi pengembangan untuk menulis lakon yaitu metode “Inner Play” untuk membuat lakon.
Di samping itu ia mulai banyak diundang sebagai pembicara, pemberi workshop penulisan, dan konseptor kegiatan yang berhubugan dengan seni dan budaya, sampai sekarang. Tahun 2000. Ia dan Jaeni, teman kerjanya, mendirikan Etnoteater. Yayasan yang bergerak dalam kegiatan promosi kesenian rakyat yang memiliki tema kerja: Archaic Revivalism. Selain pempagelarkan kesenian rakyat, juga menerbitkan hasil-hasil penelitian non fiksi dan juga fiksi. Kami mendirikan Teater WOT yang produksi pertamanya Rajah Air karya dan sutradaranya, lalu Sop Kura-kura Made Krecek (Produksi ke -2), karena berbagai kesibukan produksi teater ditunda. Tetapi menjelajah kemungkinan pertunjukan lain, yakni inspirasinya digali dari Wayang, maka lahirlah: Wayang KaKuFi (Kayu Kulit Fiber) yang pernah ke Yunani dan Vietnam (mendapatkan sejumlah penghargaan), Te Way Sun (Teater Wayang Sunda) beberapa lakon sudah diproduksi: Candrabilawa Layu, The Song of Dorna, The Song of Magma, Mother (Kunti).
Ia juga mengembangkan bentuk jelajahan baru dari KaKuFi, yakni wayang Bunglon (Bunga Lontar) main di Festival Seni Surabaya. Sekarang tengah mengembangkan bentuk baru yang lebih praktis tapi taktis untuk pertunjukan yang berprinsip: Saeutik Mahi. Bentuk yang dikembangkan ini mengambil inspirasinya dari Dunia Orang-Orangan dll, dalam bentuk Teater Boneka, sementara namanya Anak Zaman (Azam) jadi kalau disingkat Tebon Azam.
3.1.4 Masa Pengabdian Kerja Formal
Sejak menjadi PNS tahun 1982, Ia menjadi asisten dosen mata kuliah pemeranan dengan penanggung jawabnya Suyatna Anirun. Tahun 1989 Arthur studi S-1 bersama semua dosen-dosen muda di STSI Surakarta, ia dengan istrinya mengambil karya penciptaan tari berjudul HYWA dengan musik Harry Roesli. Ia jadi dosen pemeranan dan Tata Pentas serta membimbing skripsi. Arthur pernah menjadi Ketua Jurusan Teater, Asisten PK III, dan tahun 1991 ia S2 di UGM kajian Seni Pertunjukan, waktu itu Direktur ASTI dipegang Pak Saini KM, kembali pak Saini KM mendorong ia untuk memberikan contoh sebuah”pengorbanan” dan contoh untuk pertama kalinya dari teater kuliah S2. Akhirnya tahun 1993 kuliah S2 ia rampung. Arthur punya prinsip yang mungkin dianggap arogan oleh orang lain: Tepat waktu dan bermutu. Ia menulis Sanghyang Raja Uyeg, sebuah teater rakyat hasil revitalisasi Anis Jatisunda di Sukabumi. Tesis ini sudah diterbitkan.
Ia diminta menjadi kepala PUSLITMAS STSI Bandung, ketika itu ketuanya Pak Iyus Rusliana. Pada masa puslitmas ia pegang, ia punya prinsip kerja: Apa yang bisa saya lakukan yang terbaik untuk STSI ? Maka dibuatlah program-program pengembangan penelitian dan PKM, serta Jurnal Panggung dirintis secara teratur terbitnya, walaupun dalam keadaan terbatas dana. Perubahan mata kuliah yang ditanggung jawabi terjadi, ia mengembangkan mata kuliah Seni Pertunjukan Indonesia yang akhirnya menjadi Kajian Seni Pertunjukan. Juga Metode Penelitian dikembangkan menjadi Metode Penelitian Lapangan (fieldwork Research).
Pekembangan yang paling menarik adalah dalam mata kuliah penulisan lakon yang dirintis Saini KM, kemudian dibantu Arthur dan Dede Sukmadi Dukat. Ia dengan Dede bersahabat dalam kreasi lakon, Arthur dan Dede pernah satu tim film seri ACI (aku Cinta Indonesia), ia diajak Dede. Kemudian dalam scenario lain yang menjadikan pengalamannya bertambah. Selanjutnya mata kuliah penulisan lakon ia dan kawannya pegang bersama dan bagi kerja. Pernah ada dosen luar biasa dalam penulisan lakon, ketika Benny Yohanes Kajurnya (Kepala Jurusan) yaitu Benny Ridarman. Tetapi tidak berlangsung lama. Yang membahagiakan ia adalah dibukanya minat penulisan lakon di jurusan Teater, dan kini sudah berhasil meluluskan seorang Sarjana pertama. Dan menyusul yang lainnya sedang bimbingan. Munculnya minat penulisan lakon ini adalah mimpi Arthur dan reka kerjanya, terutama Saini KM, Dede Sukmadi Dukat dan Arthur. Sebab, salah satu peluang masa depan teater Indonesia, khususnya dunia drama adalah lahirnya penulis penulis lakon dari sebuah perguruan tinggi seni.
Tahun 2004 ia menjadi ketua STSI Bandung. Di masa periode ini yang penulis rasakan perubahan STSI Bandung sangat besar. Perbaikan-perbaikan fasilitas kampus terus dilakukan. Dan mendorong seluruh dosen untuk melanjutkan studi S-2. Karena ketika ia menjabat, kembali melontarkan pertanyaan pada dirinya: Apa yang terbaik yang dapat ia lakukan. Berkat usaha keras dan kerjasama bersama, kampus STSI Bandung yang kata orang kini menjadi “Agreng” dan fasilitasnya semakin baik. Juga program-program Tridarmanya. Ia jaringkan dengan pemerintah Jawa Barat dengan program Alumni masuk kabupaten kota untuk mengemas kesenian khas di daerah masing-masing dan berjalan baik. Juga kerjasama luar negeri dengan KBRI Prancis, mengikuti festival NIORT selama sebulan. Termasuk program perintisan studi film.
Selain itu, Arthur S. Nalan cukup dekat dengan para pejabat di kota Bandung, diantaranya, Walikota Bandung Dada Rosada dan pejabat lainnya. Ia selalu mengusung nama STSI Bandung setiap ada acara-acara diluar, Sehingga lembaga pendidikan ini lebih di hargai, dan dikenal masyarakat, dengan segala kreatifitasnya. Saini KM mengungkapkan, masa kepemimpinan Arthur S. Nalan, adalah salahsatu periode yang paling baik dibanding dengan masa kepemimpinan yang lain. Ia menegaskan:
Periode paling baik itu Pak Arthur. Di bandingkan dengan yang lain. Begitu dia duduk. STSI maju sekali. Tapi sekarang mundur lagi. Jadi tidak muncul STSI nya. Dulu kalau STSI di bawa keluar, ini adalah STSI, tapi sekarang… (wawancara : Saini KM, 28 Oktober 2010)
Lepas dari di dukung atau tidak sebagian program-programnya, sehingga ada yang tidak terimplementasikan, karena itu bisa jadi terletak di wilayah staf-stafnya dalam menafsirkan gagasan-gagasannya. Menurut Rusman Nurdin :
Dalam tataran bergaul diluar secara eksternal ia bagus, tapi barangkali di internal agak sulit. Banyak hal yang belum sampai, belum tertangani. Itu hal biasa ada kelebihan dan kekurangan.Ya, stafnya mengikuti atau tidak barangkali konsep sudah jelas, tapi mungkin stafnya bagaimana menerjemahkan kebijakan, menerjemahkan keinginan, kalau tidak tahu betul repot. Ya, (jika di wilayah penafsiran). Setiap orang memiliki paradigma masing-masing. Saya pikir dalam obrolan rapat pimpinan itu ada. Tapi mungkin satu atau dua orang, yang memahami garisnya. Tapi, ketika terjadi implementasinya, prak-prakannya mungkin jalan sendiri-sendiri. Yang jelas keinginan A atau keinginan merah, tapi akhirnya bisa lihat merahnya ke jingga atau kemana. Tapi itu wajar- wajar saja (Wawancara: Rusman Nurdin, 28 oktober 2010).
Mungkin saja permasalahan yang di alami Arthur, membangun ikatan emosional di wilayah internal agak sulit, karena ada pemikiran yang heterogen di STSI Bandung. Di satu pihak masih menganut pemikiran primordial, di pihak lain sudah siap menerima sebuah perubahan. Dan progresifitas Arthur, yang di dewasakan oleh teater begitu tinggi. Di tuturkan Retno Dwimarwati:
Mungkin ikatan emosionalnya yang agak sulit, yang saya lihat, saya juga ketika itu jadi ketua pusat penelitian., jadi ada hal-hal yang tidak mach. Saya tidak tahu di dalamnya seperti apa. Mungkin dia visioner sementara temannya tidak bisa mengikuti. Jadi mungkin sejalan bisa sejalan, tetapi ketika lonjakannya terlalu jauh, yang ini ngejarnya juga akan sulit. Disini ada kondisi yang sangat sulit, terutama saya fikir: kalau orang teater progresifitasnya itu sangat tinggi. Tetapi yang lain tidak siap. Yang lain punya etos primordial. Tapi kalau semua progres, visioner. Saya kira bisa maju. Sangat sulit, disini ada etos kerja yang dibangun berbeda. Kalau saya, yang orang teater itu punya Pak Yatna, Pak Saini itu berbeda dengan yang lain. (Wawancara : Retno Dwimarwati 28 Oktober 2010)
Dibalik itu ia sering bergaul dengan kalangan seniman dan budayawan di seluruh Indonesia, juga jaringan para doctor dan professor. Hanya ia seorang yang berpendidikan S2 yang lainnya doctor. Akhirnya meski berat dan usia sudah 51 tahun, ia paksakan kuliah S3 di Komunikasi UNPAD dengan biaya sendiri. Meskipun banyak yang menyayangkannya, kenapa tidak satu periode lagi jadi ketua STSI Bandung? hal ini seperti dikatakan oleh Prof. Jakob Sumardjo :
Harusnya dilanjutkan. Saya kira ini periode yang lebih baik. Mengembalikan STSI ini disejajarkan bahwa milik anda. Bukan hanya kita saja. Pak Saini saya kira mulai begitu. Tapi Pak Arthur ini lebih masuk. Di banding dengan ketua-ketua yang lain Pak Arthur lebih menonjol, sayangnya satu periode itu. Karena beliau sendiri sudah tidak mau dicalonkan. (Wawancara : Jakob Sumardjo, 26 Oktober 2010)
Baginya ini prinsip: Pendidikan lebih berharga daripada Jabatan. Kalau sekarang tidak S3, api semangat pendidikannya bisa saja padam, seperti banyak teman-teman yang sebenarnya potensial tetapi waktunya sudah lewat. Meningkatkan kualitas dirinya yang utama, ia termasuk dosen yang ideal.
3.2 Arthur S. Nalan dan Kerja kreatifnya
Semenjak kecil bakat-bakat kesenian Arthur S. Nalan sudah menonjol, salahsatunya pernah mendapat juara deklamasi puisi se-Majalengka. Kemudian se-wilayah Cirebon. Arah terhadap kesenian sudah terlihat. Seperti apa yang dikatakan oleh Saini KM:
Arthur S. Nalan adalah seorang anak yang sudah kelihatan bakatnya dari kecil. Pertama orang lain sudah suka hal-hal seperti anak sekarang. Kalau Arthur itu sudah tertarik pada cerita-cerita rakyat, kisah-kisah kakeknya dan oleh karena itu, Arthur memperpanjang pengalamannya dengan menyambungkan dengan pengalaman dari kakeknya, kemudian ketika sudah menginjak SMP. Arthur tertarik pada kegiatan remaja yang sungguh-sungguh, misalnya Arthur itu pernah menjadi juara deklamasi. Ya, permainan-permainan yang berdekatan dengan kesenian. itulah gambaran mengenai seseorang yang sudah ke arah kesenian.
(Wawancara : Saini KM, 28 Oktober 2010)
Pandangan ini terbukti selama perjalanan hidupnya Arthur S. Nalan melahirkan banyak karya yang berkualitas, kontekstual, tanpa melupakan nilai-nilai kerakyatan. Diantaranya Sobrat, unggulan juara 1 Dewan Kesenian Jakarat sebuah naskah drama yang terinspirasi oleh pembantunya sekitar tahun 80-an yang bernama jaman. Dia suka nomor buntut, dan ia mimpi berjumpa dengan jin wanita di garasi rumah, Jin itu membisikan nomor itu dengan syarat Jaman harus bersedia kawin dengannya. Tanpa pikir panjang, Jaman bersedia dan nomor pun kena. Lalu ia pulang ke kampungnya dan menikah dengan gadis pilihannya. Ternyata jin wanita itu menagih janji dan menganggap Jaman berhianat, jin itu hanya meniup tangannya dan mencium dalam mimpi. Sejak itu Jaman jadi bisu dan tuli. Selain itu, kisah ini di ilhami oleh tragedi penambang emas liar di daerah Gunung Pongkor. Jakob Sumardjo menafsirkan:
Itu persoalan orang modern. Bukan orang kota, orang urban. Urban dengan sub urban. Peralihan antara orang-orang desa dan kota. Membawa kebiasaan-kebiasaan desanya. Yaitu sebagai gejala sosial Indonesia, saya kira menarik. Sobrat itu bergeraknya ke situ. Bagi orang-orang berpikir tradisional mencoba mempertahankan tradisinya (Wawancara : Jakob Sumardjo, 26 Oktober 2010).
Selain itu, Wanita dari Negeri Wewangian (scenario Film) Lima terbaik (Direktorat Film Budpar) (2007), Ibunda Seni Sunda (Dokudrama Tien Rostini Asikin) (2006), Jalan perkawinan (scenario Film) Pemenang 1 (Direktorat Film Budpar) (2006), Lima Puan dan Enam Tuan (kumpulan Monolog) (2003). Si Badul dan Anak Ondel-Ondel (Lakon anak-anak) (2002), serat Santri Kembang, DKJ (1986), Anak Bajang dan Anak Gembala, Direktorat Kesenian (1986), Hujan Keris, DKJ (1984), SI Samudra, lakon anak-anak, Direktorat kesenian (1984), Dunianya Didong, lakon anak-anak, Direktorat Kesenian (1984).
Naskah-Naskah drama Arthur S. Nalan begitu kental dengan cerita-cerita rakyat. Sebuah keberpihakan terhadap masalah-masalah sosial dan tradisi masyarakat. Dan mengolah cerita-cerita lama menjadi tema sekarang. Tidak ada yang lebih baik dari Arthur. Saini KM menegaskan:
Tidak ada penulis-penulis lain yang lebih baik dari Arthur, mengenai cerita-cerita rakyat ini. Arthur menggunakan cerita rakyat ini berbeda dengan yang lain, ia mengungkapkan untuk tema yang sekarang. Walaupun cerita-cerita rakyatnya cerita lama. Tidak ada kritik, tidak ada apa-apa dari saya. Saya senang saja. Kalau saya jadi sutradara. Saya mengolah lagi cerita itu menjadi cerita saya. Karena memang, kalau saya jadi sutradara, saya mengolah kembali cerita-cerita itu. Semua sutradara begitu. Cerita-cerita Arthur enak sekali untuk digunakan (Wawancara: Saini KM, 25 Oktober 2010)
Karya-karya dramanya yang lain yang ditulis dari tahun 1985-2000, antara lain: Tembang Rawayan, Serat Santri Kembang, Kabayan Duta atau Calonarang (2000), Pecah Kulit, Kawin Bedil, Wanita Yang Diselamatkan, Setan Bla-Bla-Bala di atas Kursi Goyang, Sepuluh Wong (kumpulan sepuluh Monolog), Pangeran Yang diperankan, Batu Nisan Para Bagus, Si Jantuk di Negeri Kukuruyuk, Sikuping Gajah, Gunung Permen. Drama Sunda: Oleng Panganten, Kasur Butut, Cinta Padungdung, Kopeah Jeung Sarung, Piring Seng.
Naskah-naskah Arthur S. Nalan mengambil dari kebiasaan-kebiasaan rakyat. Tapi disejajarkan dengan modern. Yang lebih penting itu filosofinya, filosofi tadi yang harus ditemukan. Jakob Sumardjo mengatakan:
Kalau naskah-naskahnya ngambil dari kebiasaan rakyat. Ada dukun dan lain sebagainya, itu masuk. Tapi ini disejajarkan dengan modern. Peristiwa modern. Menurut saya yang lebih penting itu adalah filosofinya. Filosofi tadi yang harus ditemukan. Seperti dukun. Ada semacam dukun modern. Ya, orang modern. Tapi cara berpikirnya yang sangat tradisional (Wawancara: Jakob Sumardjo, 26 Oktober 2010).
Dan bersama Teater Wot, Arthur S. Nalan menerbitkan Dongeng Bulu Tanah (kumpulan Sembilan Drama) (2002). Kumpulan drama Arthur ini di dasari oleh rasa duka yang mendalam terhadap para penguasa, yang berdiri dan bergerak dalam topeng-topeng kemunafikan. Keserakahan dan penindasan terhadap rakyat. Tindakan kesewenang-wenangan menumbuhkan kekecewaan dan keprihatinan. Arthur S. Nalan :
Proses pergantian rezim bagi seorang dramawan adalah momentum yang menarik, merangsang, menggairahkan, sekaligus mengecewakan dan memprihatinkan. Rezim di manapun selalu memiliki moto: Oderint Dum Metuan artinya biar saja mereka (rakyat) benci, asal mereka takut. Moto ini berlaku juga di Indonesia. Munculnya puluhan vibrasi peristiwa di tanah air ini menjadi inspirasi, percikan ide dan gagasan, menggetarkan batin kepengarangan, membuka jemala imazinasi yang akhirnya mendorong untuk mengabadikannya lewat lakon-lakon tertentu. Mengecewakan dan memprihatinkan karena ternyata moto rezim itu tak pernah mati. Hanya terlahir kembali lewat wajah yang berbeda, lewat retorika yang berbeda. Ketika rakyat merasa mendapatkan harapan dengan reformasi, ternyata reformasi baru menjadi dongengan belaka (2002).
Dongeng Bulu tanah itu, berisi sembilan drama. Antar lain: 1) Syair Ikan Tongkol, cerita ini di ilhami peristiwa DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh memberikan catatan tersendiri bagi Arthur. Teror yang terus menghantam dan hilangnya hak-hak sipil, terutama rakyat jelata. Konflik membuahkan perang dan perang hanya mewariskan anak yatim dan luka dihati yang tak mudah diobati, perlu waktu yang panjang dari mimpi buruk ini. Secara kebetulan Arthur membaca Syair Ikan Tongkol yang terdapat dalam tulisan Baroroh Baried tentang: Syair Ikan Tongkol, Paham Tasawuf Abad XIV-XVII di Indonesia (1987) dalam buku Dari Babad dan Hikyat sampai sejarah Kritis (T Ibrahim Dkk, Gama press. 1987). 2) Pencuri Hujan, sebuah cerita tentang keperkasaan perempuan Batak. Peristiwa tragedi danau Toba dan Porsea, memberi banyak getar keprihatian Arthur. 3) Roti Buaya Mpok Tawi, gambaran ibukota yang tak ramah menjadi inspirasi bagi Arthur, judul ‘Roti Buaya’ diawali rasa kertarikannya terhadap roti buaya, salahsatu sajian disetiap perkawinan adat Betawi yang kerap ia saksikan lewat TV atau langsung. 4) Penjaga Bayangan Huma Langit, kondisi tanah pasundan yang dikenal dulu Gemah Ripah Loh Jinawi, sekarang tinggal sisa-siasanya saja. Dihancurkan pemerintah dan rakyat Sunda sendiri. Alam di hancurkan, hutan dibabat habis, sawah-sawah tak tersisa. Itulah yang mengilhami Arthur S. Nalan dalam menulis lakon ini. Mitologi Sunda, tentang Sunan Ambu, tentang Pohaci mendasai adanya Huma langit yang sesungguhnya, dan yang dititipkan pada manusia hanya bayangannya saja. 5) Terasi Nyai Bilis Merek Dobel B, lakon ini merupakan ekspresi Arthur dari pengalamannya yang selama kurang lebih (1994-2000) ia banyak berjalan-jalan ke daerah Pantura (Subang-Indramayu-Cirebon), ia mencatat aroma kaum nelayan. Kehidupan dan dunia mereka. Untuk rugi jatuh bangun silih berganti, karena gaya hidup mereka yang sangat dinamiis. Jika sedang untung cuci tanganpun pakai bir, jika sedang rugi makan terasipun jadi. 6) Sup Kura-Kura, cerita ini berdasarkan keprihatinan Arthur terhadap kehidupan di Bali, sebuah sorga pariwisata dunia. Bisnis makanan dan minuman local adalah daya tarik untuk bergoyang lidah para turis, baik turis mancanegara atau lokal. Akibatnya bisnis kura-kura, binatang mitologi penjaga keseibangan bumi, menjadi konsumsi secara besar-besaran. 7) Air Mata Kucing, Timor-Timur telah lepas, menyisakan luka yang mendalam bagi manusia yang telah berkorban dan dikorbankan dalam mempertahakan wilayah ini. Dimana kesalahannya tanpa pendekatan cultural tapi pendekatan keamanan. Kondisi semacam ini, yang membuat Arthur mengabadikannya dalam lakon ini. 8) Matahari Tengah Tenggelam. Kisah di tanah Papua yang porak-poranda kehilangan gunungnya, kehilangan martabatnya, kehilangan segalanya. Menjadi ilham Arthur dan menyimpan kesedihannya dalam cerita ini. 9) Cermin Waktu (Dongeng dari Masa ke Masa), Bagi Arthur Majapahit dan Mataram merupakan kerajan yang menarik untuk dijadikan inspirasi, karena dua zaman yang berbeda, tapi gaya kekuasaanya sama, selalu ada panglima perang. Kemudian pada masa kemerdekaan dan pembangunan, Arthur menyimak banyak pejuang yang mati tanpa diketahui dan dikenal, tapi ada juga orang yang mengaku-ngaku pejuang bisa jadi pahlawan. Dari rentetan awal sejak Majapahit sampai sekarang hanya ada sebuah dorongan yang kuat bersemayam dalam hati manusia, yaitu kekuasaan. Sejarah itulah yang menjadi inspirasi baginya dalam menulis lakon ini.
Disampingitu, beberapa naskah drama monologtelah ia terbitkan bersama Etno Teater. Yang terkumpul dalam Enam Puan dan Lima Puan. Dalam Lima Puan terdiri dari: Perempuan Tiga Jaman, wawancara Ecin, Kosmetika Balonan, Win, dan Ipoh. Sedangkan dalam Enam Puan, terdapat beberapa judul, diantaranya : Idola, Korinop, Tuan Milyun, Guru Dulacis, Heq, Blesek.
Membaca naskah ini, menurut Jakob Sumardjo dalam pengantarnya,kita disuguhi penuturan sebelas manusia gender wanita dan pria dengan berbagai latar belakang dan profesi. Kesebelas manusia itu masing-masing menceritakan “riwayat” mereka diatas pentas. Naskah-naskah ini telah ditulis dengan gaya penceritaan memikat, penuh sindiran yang humoristik, dan menyinggung masalah-masalah aktual. Untuk generasi masa kini, kesebelas naskah ini berbicara langsung dengan segala kondisi zamannya (Jakob Sumardjo, 2003: VI).
Pendapat lainnya, diungkapkan Rachman Sabur. Ia mengatakan drama monolog yang ditulisArthur S. Nalan (PerempuanTiga Zaman, Kosmetika Balonan, Win, Wawancara Ecin, Ipoh, Idola, Korinop, Tuan Milyun, Guru Dulacis, Heq, Blesek), akan dapati suasana keterasingan seseorang dari lingkungannya. Baik protes individu pada lingkungannya ataupun beban psikologis. Yang mana didalamnya terdapat tawaran analisa nilai yang diangkat ke permukaan secara dramatis dengan bentuk ungkapan yang komis (Rachman Sabur, 2003: XIV).
Dan beberapa naskah merupakan hasil penggalian terhadap teater rakyat. Seperti Wayang, dan seni-seni tradisional lainnya. Di manifestasikan Arthur ke dalam cerita drama yang menarik. Ketika membaca atau mengapresiasi karya-karyanya, kita seakan menjelajahi nilai-nilai tradisi leluhur yang adi luhung. Sebagaimana pada Naskah Masmirah, dalam kumpulan drama monolog. Terbitan Kelir, 2003. Ia membesut nilai-nilai wayang ke dalam lakon dramanya. Seperti berikut :
TERDENGAR GENDING JAWA LALER MENGENG SEBAGAI ILUSTRASI. MUNCUL MASMIRAH YANG TENGAH HAMIL TUA. MEMBAWA WAYANG KULIT GATOTKACA. TERDENGAR PUISI YANG DILANTUNKAN MASMIRAH SENDIRI DALAM BENTUK TEMBANG JAWA.
Masmirah
Masmirah
Kamu hamil aneh
Kandungan tanpa bayi
Hanya ada bunyi detak jantung dan angin puyuh
Masmirah
Masmirah
Kata dokter kamu sakit
Kata Kiai kamu mendapat anugerah Gusti Allah
Masmirah
Masmirah
….
Berkat anak yang pernah kau kandung
Kamu jadi Mbok Pagedongan Paranormal yang terkenal (Halaman 55).
Selain pada naskah Masmirah, Arthur S. Nalan pun mengangkat bentuk-bentuk teater rakyat, seperti wayang, ke dalam skenario filmya yang berjudul “Jalan Perkawinan”. Sebuah cerita perjalanan cinta antara Kirei Hanataba, seorang pengarang Jepang, dengan Komara sang fotografer. Tentang wayang ia sampai melaui dialog Kirei dan Komara (di halaman 51-52). Serta menampilkan suasana sebuah pagelarannya :
KIREI
Wayang Kulit?
KOMARA
Pagelaran Wayang Kulit Cerbon, khusus dalam Upacara Memayu.
Dalangnya Kasepuhan Mama Karniti. Biasanya lakonnya “Pohon Hayat”!
………………………………………………………………………………
38. TEMPAT PERTUNJUKAN WAYANG KULIT CIREBON. MALAM HARI.
DILAYAR PUTIH TAMPAK PANAKAWAN WAYANG KULIT CERBON SEBANYAK 9 SOSOK, TENGAH BERKUMPUL BERHADAP HADAPAN DENGAN RAKSASA TRIWIKARMA. KOMARA SIBUK MEMOTRET. WAHDAT MENONTON DENGAN KIREI.
Disamping naskah-naskah drama dan scenario film, ia juga menciptakan jenis wayang baru, yang bersifat kontemporer, sebuah ramuan wayang tradisi dengan idiom-idiom modern. Dintaranya, TEWAYSUN dan KAKUFI. Namun disayangkan, tidak dilakukan secara kesinambungan. Mungkin ia hanya berposisi sebagai inspirator bagi yang lainnya. Dan ada ada yang kurang disepakati, wayang itu sebagaimana diketahui termasuk khazanah teater, kenapa harus diberi nama baru lagi. Yoyo C. Durachman:
Misalnya dari segi penamaan saja. Teater Wayang Sunda. Kan Wayang itu termasuk Khazanah Teater. Menurut saya, tidak usah di beri nama-nama apa lagi. sudah aja itu pertunjukan teater. Pertujukan teater yang sedang Pak Arthur upayakan, teater modern yang berorientasi dari teater rakyat Jawa Barat. Ceritanya dari cerita Wayang, dan sebagainya. Kritikan saya kedua, misalnya, kalau kita ingin melahirkan sesuatu yang baru di sebuah lembaga akademis, semacam kita ini, itu harus terus berproses secara berkesinambungan. Dan itu dilakukan juga acara diskusi-diskusi. Jadi nanti dia bisa terbaca. Masyarakat bisa enggak menerima, dengan karya yang seperti itu? Jadi tidak hanya cukup dipentaskan, dan diklaim aja namanya ini. Yang penting kesinambungannya seperti apa. Karena dengan kesinambungan itu, masyarakat menerima atau menolaknya. Jadi tidak cukup sekali itu. Nah yang sinambung itu, yang saya lihat, wayang ajen.(Wawancara: Yoyo C. Durachman , 25 Oktober 2010)
Penulis kira, seperti apa yang dikatakan Yoyo C. Durachman, berkesinambungan itu diperlukan oleh seniman. Sebagai upaya penawaran karya yang berakar tradisi pada masyarakat yang sudah berubah. Karena sesuatu yang kontemporer bagi masyarakat adalah sesuatu yang aneh. Disebut aneh karena baru. Jika sebuah karya menjadi milik masyarakat, diakui, dan diterima, tentu harus berkelajutan dilakukan, akhirnya menjadi teater tradisi.
Disamping itu, apa yang dilakukan Arthur S. Nalan dalam proses kreatif merupakan sebuah tantangan yang berat. Butuh waktu yang lama, puluhan tahun, supaya karya-karya seni pertunjukannya bisa diterima oleh masyarakat. Sebuah pertanyaan, apakah karya-karya pertunjukan Arthur S. Nalan akan terus berlangsung ? Atau bisa bertahan ? Toni Supartono (Toni Bruer) :
Ya. Itu semangat eksplorasi. Itu tantangannya berat. Yang akan dijawabnya puluhan tahun. Enggak tiba-tiba bikin karya itu jadi kaya. Berat itu. Orang Indonesia rata-rata bosenan. Nah, saya pernah bilang The Song Of Dorna dalam proses kreatif itu bagus sebagai teater modern. Seperti semangat Kabuki. Kabuki awalnya tradisi, yang dikemas oleh pemerintah. Sebagai aset teater tradisi Jepang, itu kemasan pemerintah. Kecuali Noh, kalau Noh asli tradisi Jepang. Karena sudah 400 tahun sampai sekarang. Sampai salahsatu actor Noh itu :ada yang khusus menari ‘Tari Tuhan’ namanya. Khus saja nari tuhan. Dan latihan narinya seratus tahun, baru dia menari. Kalau umurnya enggak nyampai, ia enggak nari. Sekarang pertanyaannya, apakah karya-karya pertunjukan Pak Arthur itu akan terus berlangsung begitu ? Sebagi pencetus ide boleh-boleh saja. Maksudnya proses kreatif ini, bias bertahan gak ? Bisa jadi sebuah jawaban gak ? Kalau proses kreatif itu ada dua alternative. 1) Hancur di jalan, 2) Kembali lagi ke yang baru atau ditinggalkan begitu saja. Contoh yang saya pelajari sekarang ini : Butoh. Itu bukan tradisi modern. Orang bilang teater tubuh dan sebagainya lah. Nah itu bertahan sampai tiga puluh tahun, baru jadi sesuatu di dunia. Sampai orang bilang Butoh itu punya Jepang. Yang terakhir masternya Butoh meninggal, sampai umurnya 102 tahun lebih. Hampir masih terus (berproses). Itu yang modernnya lho ! bukan yang tradisinya. Nah semangat tersebut, dari tahun 30-an, 40-an, 50-an, hingga membuat dunia tercengang. Ada nama Butoh. Itu bukan tradisi, pelakunya modern. Pelakunya itu, jihad sampai mati. Mereka punya semangat, kalau satu seni itu. Ya, itu satu seni terus dgeluti, dgak mau lihat yang lain (Wawancara : Toni Supartono, 15 November 2010. Bandung).
Penulis pikir yang dipertanyakan oleh Toni Supartono tersebut, sebuah pertanyaan yang mendorong Arthur S. Nalan untuk mempertegas komitmen. Dan kembali mempertanyakan posisi dirinya. Sebagai pencetus ide saja atau pelaku seni teater rakyat yang konsisten ? Sebab, kosistensi itu perlu, untuk membangun kembali sebuah tatanan teater rakyat di Jawa Barat ini. Seperti yang dicontohkan Toni Supartono dalam teater-teater tradisi Jepang.
Semua karya-karya pertunjukan yang dilakukan Arthur mencoba menerobos ruang dan waktu. Mengikuti semangat jaman sekarang. Karena ia berdasar pada pemikiran bahwa tradisi sifatnya dinamis. Namun, tidak semua seni tradisi atau khususnya teater rakyat yang mengikuti jaman bisa bertahan. Itu perlu diuji coba beberapa kali. Seperti halnya Noh di Jepang tidak mengikuti jaman. Tapi tetap bertahan sampai sekarang. Toni Supartono :
Ya, itu harus diuji coba. Apakah tradisi yang mengikuti jaman benar-benar akan hidup ? Enggak juga kan ? Makanya, kita harus ada contoh lagi. Noh itu di Jepang enggak mengikuti jaman. Penontonnya ada, tua dan muda. Itu kalau untuk wacana boleh-boleh saja. Dinamis saya setuju, cuma ada statement bahwa : dimana teater tradisiyang mengikuti jaman enggak bakalan punah. Itu tidak menjamin juga. Di Indonesia ya (Wawancara: Toni Supartono, 15 November 2010. Bandung).
Lepas dari apa yang dikatakan Toni Supartono, Arthur S. Nalan telah memiliki satu upaya yang perlu diikuti oleh akademisi yang lain. Yang masih memiliki tanggung jawab selaku akademisi seni, seniman dan budayawan. Arthur sosok yang perlu dijadikan suri tauladan. Ia adalah orang yang telah mengenal siapa dirinya. Bertolak dari titik pangkal pemberangkatan hidupnya. Sehingga tradisi khususnya teater rakyat menjadi perhatiannya secara total, ia ungkapkan secara modern. Dimaknai kembali dengan cara baru. Jakob Sumardjo mengatakan :
Ya, kita sudah tahu semua bahwa beliau (Arthur S. Nalan) memiliki perhatian pada tradisi. Bagaimana tradisi itu, bisa diungkapkan secara modern. Karena tradisi tidaknya, itu letaknya bukan pada wujudnya, tokohnya, peristiwanya. Tapi pada esensinya. Pada cara berpikirnya, pada pemaknaannya. Sampai pada pemaknaan tradisional. Pemaknaan tradisional itu ditemukan filosofi. Kalu filosofi, karena filsafat itu tidak pernah tua. Bisa dipakai pada jaman sekarang (Wawancara : Jakob Sumardjo, 26 Oktober 2010).
Arthur S. Nalan sudah mencoba dengan penerjemaahan baru. Menafsirkan kembali teks-teks teater rakyat dengan cara berpikirnya yang akademis. Tanpa menghilangkan filosofi tradisional. Seperti halnya wayang ajen, dan beberapa karya pertunjukannya yang lain. Ia memaknai ulang dari nilai-nilai lama. Oleh karena itu, beberapa karyanya menjadi topik perbincangan di beberapa media. Ia telah memberikan kontribusi terhadap teater rakyat, namun yang jadi persolan adalah setuju atau tidak jika wayang golek masuk ke dalam teater rakyat ? Yoyo C. Durachman mengatakan :
….Dia cukup memberikan kontribusi-kontribusi pemikiran, di dalam rangka mengembangkan teater rakyat. Nah ini, saya juga tidak tahu betul, saya hanya mengamati saja. Nah, misalnya sepakat enggak kalau wayang golek itu masuk kedalam teater rakyat ? Kalau kita sepakat wayang golek itu masuk pada teater rakyat. Pa Arthur itu memberikan kontribusi kepada apa yang namanya sekarang itu…. wayang ajen dengan dalang Wawan, yang sekarang dibawa ke berbagai festival. Jadi yang saya tahu, wayang ajen itu merupakan suatu wayang perkembangan, atau wayang golek eksperimental dengan menggunakan bantuan tekhnologi atau apa. Sehingga membentuk sebagai teater yang baru. Dan itu sudah dibawa ke forum-forum international, yang ke dua ini juga termasuk ke dalam teater rakyat. Beberapa tahun yang lalu bereksperimen dengan Pak Sistriadji. Membuat suatu pertunjukan yang namanya TEWAYSUN, tapi setelah pementasannya itu tidak ada kabarnya lagi (Wawancara : Yoyo C. Durachman, 25 Oktober 2010).
Karya-karya Arthur S. Nalan harus terus dibicarakan. Sebagai penyebar semangat bagi yang lain. Selain itu, untuk memperkaya wawasan kesenian tradisi, khususnya teater rakyat di Jawa Barat dengan bahasa pengucapan yang baru. Arthur telah mewujudkan gagasannya yang modern (istilahnya seperti itu) tapi memiliki identitas ketradisian.Yoyo C. durachman :
Dalam teater rakyat kita harus terus menerus melakukan penelitian, harus terus membicarakannya. Sehingga kita bisa menemukan sesuatu, tradisi menjadi ketinggalan bahasa pengucapan yang baru. Juga sebaliknya, teater modern tetapi meliki identitas ketradisiannya. Nah, ini yang harus dilakukan itu seperti begitu. Dan terus terang saya hanya melihat dari sosok Pak Arthur yang punya semangat untuk itu (Wawancara : Yoyo C. Durachman, 25 Oktober 2010).
Semangat yang telah ditumpahkan Arthur ke dalam karya-karyanya, perlu diapresiasi tinggi oleh berbagai kalangan. Arthur adalah sosok yang multi talenta. Selain ia mengambil jalan penggalian teater rakyat, pada awalnya Arthur tercatat sebagi aktor ternama di Bandung. Yoyo C. Durachman :
Jadi saya melihat. Pada awalnya, ketika bertemu dengan Pak Arthur. Saya dalam tanda ‘bersahabat’. Saya lebih melihat potensi keaktorannya. Pada awalnya. Tetapi, setelah saya renung-renungkan sekarang. Itu alamiah, kalau saya melihat sosok Pak Arthur seperti itu. Dulu kan kita sama-sama sudah aktif di STB. Dan STB itu kan, dikomandani oleh Suyatna Anirun. Suyatna Anirun itu kan terkenal seorang sutradara teater di Indonesia. Yang konsen keaktoran sesuatu yang penting di dalam pertunjukan teater. Jadi Pak Yatna itu, kalau ingin berteater keaaktoran dulu yang harus dipegang. Menurut saya, diantara generasi kami itu Pak Arthur salah seorang yang punya potensi di bidang keaktoran. Kemudian dia berkembang menulis lakon. Dia suka ngobrol sama saya, dia banyak di motivasi dan terpengaruh sama pak Saini kalau menulis lakon. Jadi dia dijajaran teater bandung itu termasuk aktor yang dicatat (Wawancara : Yoyo C. Durachman, 25 Oktober 2010).
Arthur S. Nalan telah mengambil suatu jalan yang lain, ketika seniman yang lainnya bercengkerama dengan karya-karya Barat. Ia melakukan suatu pilihan. Menjumpai kekayaan tradisi, hingga tanpa batas. Terus menerus dilakukan. Dan tidak akan pernah selesai
BAB IV
PEMIKIRAN ARTHUR S. NALAN
TENTANG KHAZANAH TEATER RAKYAT JAWA BARAT
4.I Punahnya Teater Rakyat Jawa Barat
Jika dilihat dari suatu kondisi keadaan saat ini, kesenian Jawa Barat khususnya teater rakyat, ada dalam sebuah ambang keterpurukan. Seperti halnya apa yang dikatakan oleh Ganjar Kurnia & Arthur S. Nalan dalam pengantar bukunya “Deskripsi Kesenian Jawa Barat”, dikatakan bahwa ada “300 jenis kesenian tradisi di Jawa Barat yang sedang mengalami sekarat dan sebagian sudah punah“ (2003). Lebih lanjut Arthur S. Nalan dalam buku “Teater Egaliter” memiliki perpekstif mengenai punahnya teater rakyat Jawa Barat, diantaranya : (1) manusia pelaku, (2) perubahan lingkungan, (3) persepsi masyarakat penyangga, dan (4) perlakuan pemerintah. Ia sangat prihatin terhadap pemerintah yang kurang memperhatikan teater rakyat, sedangkan para senimannya berharap banyak.
“Sebenarnya masyarakat tidak pernah sebagai suatu produk akhir tetapi tetap sebagai proses yang sedang terbentuk”. Hal inilah yang menjadi suatu pandangan Arthur S.Nalan dalam hal menyikapi beberapa problematika atau permasalahan yang mengakibatkan adanya suatu kepunahan teater Rakyat Jawa Barat. Terlebih lagi Arthur S. Nalan memiliki suatu pandangan tentang masyarakat Jawa Barat, yang menurutnya bahwa masyarakat itu harus dipahami sebagai realitas objektif. Artinya masyarakat bukan hanya sekumpulan kelompok manusia yang bertindak untuk menjalankan segala bentuk aturan atau norma-norma yang berlaku saja. Akan tetapi di balik semua itu, terdapat sebuah bentuk pemikiran-pemikiran atau konsepsi-konsepsi masyarakat. Hal ini yang menjadi suatu dasar pandanganya bahwa masyarakat tersebut bukan merupakan suatu produk akhir --melainkan masyarakat merupakan sebuah proses yang sedang berlangsung. Selalu berkembang dan berubah, seiring dengan arus perkembangan jamannya, disebabkan karena budaya itu bersifat dinamis.
Pergerakan, perubahan, perkembangan, menunjukan bahwa budaya itu bersifat dinamis. Suatu gerak dinamika ini tentunya tidak hanya menyentuh pada wujud kebudayaan sebagai komplek aktivitas atau tindakan berpola manusia dalam masyarakat (social system). Serta wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide, gagasan, nilai, norma yang dipahami sebagai sistem kebudayaan (culture sistem). Akan tetapi perubahan itu pun terjadi pada wujud kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia itu sendiri[3](material culture). Seni khususnya teater rakyat dipahami sebagai wujud kebudayaan. Maka memiliki kecenderungan untuk bisa berubah, berkembang, bergerak, bahkan punah, dan tidak lain seni (teater) itu sendiri --memiliki kecenderungan sifat yang sama, seperti halnya budaya yang bersifat dinamis.
Untuk merumuskan atau mengkaji suatu permasalahan dalam dunia teater khususnya teater rakyat sangatlah begitu komplek. Tentunya untuk memahaimi alur dinamika tersebut, diperlukan adanya suatu pendekatan multi disiplin ilmu yang ketat. Tetapi walaupun keadaannya seperti itu, Arthur S. Nalan tetap berupaya untuk mencari terus jejak-jejak (referen) yang menyangkut pasang surut atau kepunahan dalam teater rakyat. Upaya dalam mencari jejak-jejak tersebut Arthur menemukan beberapa penyebab atau titik yang harus diperhatikan yakni manusia pelaku (seniman teater), perubahan lingkungan, persepsi masyarakat, dan perlakuan pemerintah.
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai pandangan atau pemikiran Arthur S. Nalan terhadap kepunahan teater di Jawa Barat, disini penulis akan menjelasakan secara rinci sebagai berikut :
4.1.1Manusia pelaku
Manusia pelaku yang istilah Arthur S. Nalan disebut dengan primus inter pares tidak lain adalah seorang pelaku teater rakyat itu sendiri, yang berposisi sebagai seorang pemimpin dalam kelompok teater rakyat tertentu. Seorang primus inter pares keberadaannya atau eksitensi dalam hal kepemimpinannya sangatlah diperlukan baik oleh para anggota kelompoknya maupun masyarakat pendukungnya. Eksistensi Seorang primus inter pares menentukan pula sebagai langkah penyebab terjadinya kepunahan dalam teater rakyat. Karena primus inter pares dipandang publik atau anggotanya sebagai sosok yang dapat dijadikan panutan. Perspektif Arthur S. Nalan dalam menyikapi masalah ini, berdasarkan hasil penelitian atau observasi yang telah dilakukannya. Dimana Arthur S. Nalan menempatkan posisinya sebagai pemilik budaya, memiliki suatu pandangan : jika seorang primus inter pares meninggal dunia ataupun tidak aktif dalam dunia keaktorannya, akan berdampak negatif pada keberlangsungan suatu komunitas atau kelompok teaternya sendiri. Persoalan ini menjadi salahsatu penyebab lenyapnya teater rakyat di Jawa Barat.
4.1.2 Perubahan lingkungan
Pembangunan di pusat-pusat kota yang tidak memperhatikan pada wilayah-wilayah perkembangnan seni, menurut Arthur, akan berdampak pada peminggiran teater rakyat. Perubahan pembangunan pusat-pusat pembelanjaan tanpa memperhitungkan ke segala aspek. Menyebabkan teater rakyat tidak siap untuk menyesuaikan diri secara cepat terhadap perubahan-perubahan lingkungan, akhirnya kehancuran terjadi. Arthur mencatat, dengan mengetengahkan dua contoh : (1) ketika pasar Kosambi Bandung di Renovasi dan diubah bentuknya, ketika bioskop Rivoly diubah menjadi Gedung Kesenian Rumentang Siang, ketika itu pula terjadi perubahan perpindahan kelompok sandiwara dan wayang wong yang berlokasi di sekitarnya. Mereka tak mungkin bertahan lama, kondisi dan situasinya berubah total. Akibatnya mereka hijrah ke pinggiran kota (ada yang ke Cileunyi dan Cicalengka); (2) ketika sebuah pusat perbelanjaan didirikan di kota Sukabumi, yang terpaksa mengais beberapa bioskop di kota itu, ketika itu pula perlahan namun pasti sandiwara Sri Asih mulai surut.
4.1.3 Persepsi Masyarakat Penyangga
Ada beberapa hal yang ditekankan oleh Arthur S. Nalan dalam menyentuh mengenai punahnya teater rakyat, salahsatunya diakibatkan karena faktor persepsi masyarakat penyangga yang berubah. Diantaranya masalah endapan masyarakat-masyarakat konsumen, dan persoalan artistik. Menurutnya, dua hal tersebut menjadi kunci perubahan suatu genre teater rakyat. Ketika masyarakat mulai memasuki tipe persepsi atau cara pandang ketika berada dalam tahapan agraris. Dalam tipologi masyarakat agraris memiliki kecenderungan memandang antara yang sakral dan yang profan. Sedangkan dalam masyarakat konsumen tidak ada perbedaan tersebut. Segala sesuatunya adalah profan atau sama (homogen). Maka dalam hal ini ada kecenderungan persepsi masyarakat konsumen memandang pertunjukan teater rakyat telah diangggap sesuatu “out of date” atau ketinggalan jaman. Sehingga apa yang telah dipersepsinya mengenai pertunjukan teater rakyat menjadi sempit. Dan tidak lain hanyalah produk saja.
4.1.4 Perlakuan Pemerintah
Poin akhir yang disentuh Arthur S. Nalan, faktor penyebabnya punahnya teater rakyat Jawa Barat ini adalah perlakuan pemerintah terhadap teater rakyat, makronya seni pertunjukan cenderung dianggap alat politik ketimbang aset budaya. Lebih tegasnya dinyatakan bahwa teater Jawa Barat berada dalam ketidakberdayaan karena sistem keberlakuan penguasa hanya sebatas penyampai program pemerintahan (Arthur S. Nalan studi kasus kesenian masa orde lama dan orde baru).
Selain dari pada itu, ada pula sebuah perlakuan pola pendidikan apresiasi terhadap seni yang tidak begitu jelas terhadap teater rakyat. Akibat keseragaman visi menjadikan teater rakyat semakin tidak berdaya yang akhirnya terpuruk oleh arus dinamika perjalanan budaya yang begitu cepat. Kemudian sistem pendidikan seni di jurusan teater STSI Bandung pun tak luput disinggungnya, sistem pendidikan di STSI Bandung lebih berorientasi pada Barat. Jika ada alumninya yang belum berupaya, sebaiknya ada keseimbangan:
Sistem pendidikan seni (teater) di kita termasuk di STSI Bandung lebih berorientasi ke teater Barat (modern), yang terbaik adalah keseimbangan, artinya orientasi ke teater Timur (tradisional) juga dikembangkan. Tetapi bibit-bibit kesadarannya sudah ada, hanya belum terjaga baik (wawancara : Arthur S. Nalan, 24 Oktober 2010).
Ia juga merasa prihatin, karena selama 30 tahun jurusan teater STSI Bandung mengelola drama. Tapi ia bersyukur --sekarang ini sudah ada kesadaran baru, meskipun ada dalam beberapa mata kuliah. Arthur S. Nalan:
Selaku pribadi saya juga merasa ada keprihatinan, karena khususnya jurusan teater di STSI Bandung mewarisi tradisi yang disebut drama, yang mengacu pada teater tradisi Barat. Hampir 30 tahun jurusan teater mengelola drama. Nah, dalam kesadaran baru kelihatannya sudah mulai --meskipun ada dalam beberapa matakuliah…(Sunda Urang : Arthur S. Nalan, 26 Juni 2008)
Kembali Arthur menyoroti pemerintah, akibat dari pemerintah yang tidak berpihak. Ia memandang pemerintah yang kurang peduli terhadap nilai-nilai, ide, gagasan yang tertuang dalam teater rakyat.
Di samping sikap itu, sikap pemerintah yang lainnya terlalu banyak melakukan pendekatan formal dan rutin tanpa target pemuliaan, melakukan riset, pengemasan, dan lain sebagainya dengan benar. Arthur S. Nalan:
Sikap pemerintah umumnya terlalu banyak melakukan pendekatan formal dan rutin berdasarkan juklak-juknis dinas mereka. Tetapi membangun jaringan untuk target seperti pemuliaan (dokumentasi yang benar, deskripsi yang benar berdasarkan riset, penataan dan pengemasan yang benar, promosi yang benar dll.) tidak banyak dilakukan, karena pendekatan formal biasanya melahirkan pendekatan fragmatis. Di samping itu juga anggaran yang tak memadai menjadikan perhatian pemerintah tampak ragu dan semu dalam memperlakukan teater rakyat, padahal di negara tetangga (Malaysia, Vietnam) teater rakyat dijadikan ikon negara. Seperti wayang Klantan (Malaysia) dan Wayang Air (Vietnam). (Wawancara : Arthur S. Nalan, 24 Oktober 2010)
Lanjutnya, pemerintah melalui Disbudpar, sebuah dinas yang bertujuan mengelola masalah kebudayaan, kurang berjalan denagn baik, hanya melakukan pendekatan formal dan rutin saja. Tanpa disertai dengan LITBANG untuk evaluasi internal dan eksternal. Jika ada satu harapan ingin ada sebuah revolusi atu perubahan di internal Disbudpar, tentunya akan pesimis karena pegawai-pegawai yang memegang jabatan-jabatannya bukan yang memahami masalah kebudayaaan. Arthur S. Nalan menuturkan :
Dinas ini dikelola dengan pendekatan formal dan rutin, tidak ditambah dengan LITBANG untuk evaluasi internal dan eksternal, stake holder kurang diserap sebagai pemberi kontribusi. Temu, saresehan, kongres, dilakukan tapi hasilnya kurang dilakukan dengan nyata. Soal tanggung jawab ada sebagian pada dinas ini, tetapi jangan lupa akademisi juga, seniman pelaku juga, masyarakat juga adalah penanggung jawab juga. Tak akan ada reformasi apalagi revolusi, kalau pejabat yang ditunjuk bukan ahlinya. Selama sistem kerjanya formal dan rutin tanpa kebijakan yang baik...(Wawancara : Arthur S. Nalan, 24 Oktober 2010)
Selanjutnya Disbudpar sebagai kepanjangan tangan pemerintah kurang sekali melakukan pencatatan-pencatatan tentang teater rakyat ini, yang sangat dibutuhkan untuk data penunjang sebagai informasi. Tidak melakukan upaya pendeskripsian dengan baik. Kalaupun ada sejumlah skripsi mahasiswa S1 teater dan karawitan STSI Bandung, dalam pemilihan topik ini sangat terbatas sekali. Arthur S. Nalan:
Masalah yang ditemukan, terbatasnya data penunjang sebagai informasi tentang teater rakyat itu sendiri, deskripsi seadanya yang ditulis oleh kalangan pegawai di instansi pemerintah (dulu kebudayaan ada di Depdikbud, sekarang ada di Budpar) sama saja, tak melakukan banyak pencatatan dan pendeskripsian yang baik. Hal ini dapat dipahami sebagai penyusunan dalam semangat pelaksanaan proyek formal semata. Kalaupun ada sejumlah skripsi mahasiswa S1 Teater dan Karawitan STSI Bandung yang sangat terbatas sekali, memilih topik ini (Wawancara : Arthur S. Nalan, 30 Oktober 2010).
Seperti apa yang ia katakan, tanggung jawab pelestarian teater rakyat tidak hanya menekankan satu pihak saja, semua unsur harus ikut bertanggung jawab dalam penegakan kembali (itilah Saini KM) teater rakyat di Jawa Barat. Termasuk peraturan daerah sebagai payung hukum, yang sekarang ini ia pandang kurang sosialisasi. Dalam hal ini gubernur, bupati / walikota yang bertanggung jawab mensosialisasikan, yang ia lihat masih kurang. Arthur S. Nalan:
Jawa Barat sendiri punya payung hukum sejak mulai tahun 2003, yaitu mengenai peraturan daerah perihal kebudayaan. Di dalamnya masalah sastra, basa daerah dan aksara Sunda, masalah kesenian, juga kepurbakalaan. Namun perda selaku payung hukum itu, kelihatannya kurang sosialisasi. Dalam hal ini gubernur juga bupati/walikota yang bertanggungjawab untuk mensosialisasikan dan melaksanakan perda itu. Di samping itu, harus punya apresiasi dalam jalur pendidikan yang harus dilakukan oleh dinas pendidikan, perguruan tinggi seni atau yang lainnya (Sunda Urang : Arthur S. Nalan, 26 Juni 2008)
Dari ketiga faktor yang mempengaruhi kepunahan teater rakyat Jawa Barat itu, disela nasib teater rakyat dilematis ini --Arthur memiliki keyakinan suatu saat teater rakyat di Jawa Barat ini akan berjaya lagi seperti dulu, asal keyakinan itu harus dibangun secara sistematis. Dan dilakukan secara bersama-sama. Dengan cara kesadaranya terlebih dahulu yang harus dibangun. Mungkin akan lahir teater rakyat baru yang kontekstual dan diterima masyarakat luas, regional , nasional, maupun internasional ( Wawancara : Arthur S. Nalan, 24 oktober 2010)
Selain dari ke tiga hal diatas dampak dari punahnya teater rakyat di Jawa Barat, Arthur berpendapat, akibat dari modernisasi melanda para pelaku teater rakyat sendiri, misalnya komersialisasi dan mencari keuntungan dengan harga tinggi dengan alasan pelestarian. Sebab, menurutnya masalah ini adalah tanggung jawab bersama dalam upaya penanganan kepunahan teater rakyat di Jawa Barat. Tanpa membeda-bedakan, akademisi seni dan termasuk masyarakat juga. Sebab adanya interaksi timbal balik, antara masyarakat yang baik dengan teater rakyat. Membuat teater rakyat lestari. Tetapi kalau masyarakat sudah tidak membutuhkan dengan meninggalkannya, katanya, itu tandanya teater rakyat itu akan punah. Di samping seniman-seniman yang hebat meninggal, seperti Ateng Jafar, dan lain sebagainya. Membuat teater rakyat gulung tikar.
Dan sekarang ini teater rakyat butuh juru bicara, di era reformasi ini sangat dibutuhkan. Supaya teater rakyat bisa dikenali. Karena banyak kekayaan-kekayaan ketradisian yang kurang diartikulasikan. Arthur S. Nalan:
Sekarang ini di teater rakyat kurang ada juru bicara. Padahal sebetulnya juru bicara di era reformasi ini cukup penting. Karena saya mencoba belajar, bisa dikatakan belajarlah, karena mungkin belum ke tahapan yang sebenarnya untuk menjadi juru bicara dari seni tradisi ini. Supaya mereka dikenali yang membaca. Sebetulnya banyak kekayaan-kekayaan ketradisian itu yang kurang bisa di artikulasikan dengan bahasa yang lebih baru (Wawancara: Arthur S. Nalan, 2010)
Sikap yang dilontarkan Arthur tersebut merupakan sebuah bentuk kanyaah. Karena sepanjang pembelajaran dirinya tentang teater, tak banyak orang yang memiliki perhatian terhadap teater rakyat. Arthur S. Nalan menuturkan:
Perhatian saya lebih banyak kepada teater rakyat karena sepanjang pembelajaran saya tentang teater, ternyata tak banyak orang (terutama akademisi) yang memiliki “kanyaah” terhadap teater rakyat, apalagi di Jawa Barat. Sangat terbatas sekali para pengamat dan peneliti tentang teater rakyat. Kalau ada lebih banyak berupa laporan-laporan formal dari para pegawai dilingkungan Depdikbud (dulu). Sepanjang masyarakat membutuhkannya pasti banyak problematika muncul. Problematika merupakan hal yang menantang bagi peneliti untuk terus menelitinya, mengamatinya, termasuk dalam teater rakyat (Wawancara : Arthur S. Nalan, 24 Oktober 2010).
Arthur S. Nalan berharap unsur-unsur yang terkait dalam permasalah ini ikut bergerak. Baik itu pengamat dan peneliti kesenian. Sebagai jalan pemecahan persoalan dari teater rakyat di Jawa Barat sekarang ini.
4.2 Menjelajah Paradigma Estetik Dalam Teater Rakyat Jawa Barat
Apa yang penulis pahami penjelahan paradigma estetik dalam teater rakyat Jawa Barat yang telah dilakukan Arthur. S. Nalan masih bersifat pencarian. Dan ia bukan semata-mata mencari untuk menemukan yang tampak. Tapi unsur - unsur yang membangun atau yang melatar belakangi estetika itu yang terus ia gali. Ia berpendapat estetika teater rakyat dapat dilihat dari hasil penjelajahan unsur-unsur tersebut. Unsur-unsur itu antara lain: unsur manusia, kepercayaan, tingkat ketrampilan tekhnis, norma-norma, tingkat intelektual, kondisi sosial ekonomi, pandangan hidup, dan dinamika kebudayan.
4.2.1 Unsur Manusia
Manusia Sunda sebagai etnik mayoritas yang hidup di Jawa Barat memiliki kebudayaan yang khas yaitu kebudayaan rakyat. Di mana semangat egaliter mewarnai proses guliran teater rakyatnya. Manusia Sunda pula yang memiliki budaya huma, dimana posisi padi menjadi sangat penting. Maka irama kesuburan tampak di mana-mana dalam folkways mereka. Hubungan kekerabatannya (babarayaan=bhs Sunda) menjadi terasa dekat dengan adanya tradisi pancakaki. (Arthur S. Nalan, 1999: 11).
Sikap hidup masyarakat Sunda itu, Arthur S. Nalan berpendapat, ada pengaruh terhadap estetika yang dikembangkan. Yaitu estetika tradisional : dapat berupa pertunjukan, motif-motif, lawakan, bodoran, pakem-pakem cerita, pengaturan bedrip, pengaturan tekhnik muncul, gimmick, dan lain-lain.
Estetika tradisional, menurut Arthur karena dibentuk oleh sistem duduluran mereka. Membuat seniman tradisi banyak peluang untuk berkumpul, berdiskusi mengadakan satu penciptaan kesenian: membicarakan kreasi-kreasi, kecenderungan-kecenderungan, bahkan kiat-kiat di dalam bodoran, lawakan, trik-trik panggung, dan lain sebagainya.
Karena mereka merasa memilik (sen of belonging)atas komunitas yang telah terbentuk. Dan semua gagasan mereka dikemas dalam sebuah perwujudan kesenian teater rakyat mereka. Itu adalah hasil manifestasi estetika mereka.
4.2.2 Kepercayaan
Kepercayaan adalah sistem religi yang dibangun setiap manusia dalam etnik tertentu, terjalin dalam rangkaian folkways (kebiasaan-kebiasaan rakyat) dimana selalu terkait dengan pandangan mitis, kosmis dan mitologis. Sebagaimana umumnya di Jawa Barat, dibangun dalam suatu sistem religi asli dan religi pendatang. Suatu kenyataan pula bahwa di mana-mana ditemukan aura sinkretisme, terutama di kalangan para seniman rakyat. Mereaka tetap percaya pada tatali paranti karuhun, tetapi mereka juga pemeluk teguh agamanya (umumnya Islam) (Arthur S. Nalan, 1999: 46).
Arthur S. Nalan mengatakan, penyajian sesajen seringkali mereka lakukan sebelum mengadakan pertunjukan. Mereka percaya. Bahwa mantra –mantra yang dikeluarkan ada daya ampuh sesuai denga apa yang mereka inginkan. Ia meyakini sikap mistik ini sangat kental dengan kesenian tradisi, khususnya teater rakyat.
Kepercayaan-kepercayaan tentang memegang teguh adat kebiasaannya itu, Arthur S. Nalan berkeyakinan. Salahsatu faktor bahwa seniman-seniman tradisi khususnya di teater rakyat yang tidak mau berubah. Karena teater rakyat diyakini sebagai warisan yang harus dipertahankan nilai-nilai lamanya. Kepercayaan itu pula yang meneguhkan mereka, dalam menjalankan roda pertunjukan teater mereka. Meskipun ada satu dua yang teguh dan menyerah, namun masih banyak yang menjalankannya sebagi suatu proses dinamikanya tinggi. Harapan Artur S. Nalan seyogyanya mengadakan penyesuaian-penyesuain. Sesuai dengan selera masyarakatnya. Bila hal ini tidak dilakukan membuat teater rakyat di Jawa Barat menjadi punah. Namun dibalik itu, Arthur berpandangan bahwa unsur kepercayaan inilah yang membentuk estetika teater rakyat Jawa Barat. Memiliki identitas yang khas.
4.2.3 Tingkat Ketrampilan Tekhnis
Menurut Arthur S. Nalan teater rakyat dibangun oleh suatu sistem pewarisan ketrampilan tekhnis yang sangat tradisional yang diwariskan secara turun-temurun, karena itu lacak tapaknyadapat dilihat dalam berbagai istilah, siga, gaya, ala, sejak, model, persis,dan sebagainya. Peristilahan itu dibuat oleh mereka, para seniman rakyat dari pelbagai genre seni pertunjukan rakyat termasuk manusia teater rakyat (Arthur S. Nalan, 2006 : 33).
Keterampialan tekhnis yang telah dimiliki ini Arthur S. Nalan berpendapat, akan terjadi turun-temurun. Ada proses peniruan. Karena pengaruh faktor interaksi dalam komunitas mereka. Sebagaimana halnya Ateng Japar menyisipkan adegan tukang potret pada setiap pertunjukannya. Hal ini banyak ditiru oleh pewaris-pewaris yang lain. Ateng Japar melakukn pengulangan-pengulangan tapi tetap saja disukai oleh penontonnnya pada masa itu. Kemampuan ini ia pandang sebagai keterampialn tekhnis dalam setiap pemanggungan genre taeter rakyat.
4.2.4 Norma-Norma
Norma-norma yang dimaksudkan oleh Arthur S. Nalan terkait yang hadir dalam pertunjukan teater rakyat. Norma-norma ini bersifat mengikat, sebuah larangan yang harus dipatuhi oleh semua pemain teater rakyat. Aturan itu bisa jadi sebuah ajaran yang ada secara turun temurun. Seperti misalnya, ulah takabur lamun keur masyur, artinya kita harus bisa menjaga diri sebagi proses pengendalian diri.
Norma-norma yang dimaksudkan adalah norma-norma yang mengikat mereka di dalam pertunjukan teater rakyat selama ini. Ajaran tersebut, salahsatunya sikap menghormati pada kebiasan-kebiasaan leluhur sebagai cara penghormatan orang muda pada yang lebih tua yang pada umunya sebagai primus inter pares (orang yang terbaik dari yang terbaik)
Norma-norma tersebut, tentunya terkait dengan permainan (games) didalam pertunjukan mereka, seperti spontanitas, improvisasi, taktis, strategis, komunikatif, intimitas, dan totalitas. Kesemuanya mengalir sepanjang pertunjukan mereka (Arthur S. Nalan, 2006: 35).
4.2.5 Tingkat Intelektual
Manusia teater rakyat dalam tafsir Arthur S. Nalan adalah manusia yang belajar pada pengalaman. Kehidupan yang mereka jalani sebuah proses yang membuat kristal pengalaman. Sebagai guru yang terbaik. Untuk masa depannya yang terbaik.
Seniman-seniman teater rakyat merupakan lapisan sosial yang peka membaca kehidupan. Mereka mengasah dirinya, membentuk dirinya dalam sebuah kerja keras yang pantang menyerah. Sehingga kecerdasan yang mereka dapatkan dari sebuah usaha yang sangat tinggi.
Dari gambar di atas, berdasarkan tafsir penulis dari pemikiran Arthur S. Nalan, seniman teater rakyat jangan dianggap kalangan bodoh dalam wilayah intelektual. Meskipun secara keyakinan mereka cenderung konservatif. Tapi kecerdasan mereka dalam bersikap hidup, membaca alam lebih peka.
Dan Kejenialan mereka tersajikan lewat pertunjukan, dimana secara ketrampilan tekhnis tak ada yang meragukan, secara norma-norma permainan mereka begitu memikat. Kita sadar bahwa jenial mereka, karena persoalan improvisasi, spontanitas, bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Berfikir sederahana, basajan (apa adanya), membuat mereka tidak nampak sebagai intelektual akademis, tetapi intelektual kerakyatan yang berbasis kesederhanaan (Arthur S. Nalan, 2006: 36).
4.2.6Kondisi Sosial Ekonomi
Berdasarkan pengamatan Arthur S. Nalan dalam buku Teater Egaliter (2006). Masalah ekonomi, kemiskinan nmenghinggapi mereka. Mereka harus kerja keras mempertahankan hidupnya. Ini bagi Arthur S. Nalan merupakan satu unsur yang membentuk estetika kerakyatan. Jadi kesenian rakyat pada umumnya identik dengan kemiskinan. Kesederhaanaan dan perjuangan hidup. Terkadang mereka beralih profesi, keluar dari teater rakyat untuk menjalani kehidupan barunya sebagai buruh atau apa saja. Untuk keluar dari kemiskianan. Seniman-seniman teater rakyat beralih menjadi buruh-buruh pabrik.
4.3 Aspek Manusia Dalam Teater Rakyat Jawa Barat
Sebelum membahas pada permasalahan, disini penulis perlu juga memberikan gambaran yang menjadi latar belakang sudut pandang (perspektif) Arthur S. Nalan dalam melihat aspek manusia dalam teater rakyat. Pendekatan yang digunakan Arthur tersebut dilatar belakangi oleh pandangan Geert dan Blumer. Dalam suatu analisisnya Geert mencoba mengistilahkan jelajahannnya dengan sebutan “pandangan jauh dan pandangan dekat”. Pandangan jauh itu disebut pandangan ‘etik’, sedangkan emic itu merupkan pandangan dari dalam. Arthur tidak memilih salahsatu pandangan tersebut diatas. Tapi memilih keduanya. Pandangan etik (etik view) begitu signifikan pengaruh kajiannya, dapat menjadi kritis, dan emic (emic view) berguna untuk menyerap berbagai hal yang bersumber dari pandangan manusia seniman teater rakyat. Selain itu Arthur S. Nalan pun mengambil pandangan “root images” dari Burner, yakni mengenai ide-ide dasar di dalam memahami masyarakat. Hal itulah yang menjadi dasar pijakan Arthur S. Nalan dalam menjelajahi manusia dalam teater rakyat.
4.3.1 Manusia Teater Rakyat Sebagai Homo Cultural
Persepsi Arthur S.Nalan dalam sub bahasan ini, ia memandang manusia teater rakyat dibentuk oleh nilai-nilai budaya mereka dimana hidup. Nilai-nilai itu diserap berdasarkan proses interaksi satu sama lain yang telah menjadi sebuah konvensi yang turun-temurun. Konvensi ini berdasarkan hasil tafsiran-tafsiran terhadap keadaan alam, cara hidup mereka.
Pemikiran-pemikiran mereka sebagi hasil komunikasi dengan alam, sebagai tempat mereka menggantungkan hidupnya. Berpengaruh besar bagi pembentukan karakteristik mereka sendiri. Sosial cultur sebagai hasil penerjamaahannya terhadap lingkungannya. Bisa jadi sebuah perenungan-perenungan, yang ditafsirkan berdasar tingkat kecerdasan dan rasa mereka. Hasil tafsiran atau penerjemaahan itu menjadi sebuah konvensi tentang norma dalam bersikap dalam masyarakat. Menjadi nilai-nilai yang diyakini sebuah kebenaran yang tidak mudah untuk dirubah. Dan berpengaruh pada ruang lingkup berkesenian. Teater rakyat mereka. Yang cenderung tabu jika ada sebuah perubahan.
Dan setiap individu dituntut untuk patuh pada norma-norma itu. Individu harus menempatkan diri, sebagai bagian dari masyarakat yang tidak boleh melakukan kontras tindakan. Karena ia bisa diakui sebagai anggota masyarakat jika ia telah melakukan sebuah pengulangan yang telah diwarisi, Arthur S. Nalan mengatakan:
setiap manusia teater rakyat adalah homo cultural. Dimana sesungguhnnya bahwa manusia itu telah memiliki talenta kerakyatan, yang sangat dipengaruhi oleh budaya setempat dimana mereka tinggal. Individu tidak lahir sebagai masyarakat begitu saja, tetapi ia harus memiliki pretisposisi terhadap sosialitas dan ia akan menjadi anggota masyarakat dengan berarti. Demikian individu tersebut menempatkan dirinya sebagai manusia yang berbudaya, dimana ia hidup dalam suatu nilai-nilai atau norma-norma yang dianut tersebut (Arthur S. nalan, 2006: 87)
Penempatan dan pengakuan budaya ini. Mengejawantah dalam ruang taeter rakyat Jawa Barat. Yang konservatif mempertahankan nilai-nilai lama yang sebenarnya dalam pandangan Arthur S. Nalan perlu mengadakan sebuah perubahan, penyesuaian terhadap sebuah jaman yang mengarah pada hedonisme. Kesenangan dunia menjadi dasar apresiasi seni masyarakat sekarang.
Oleh karena itu, Arthur berupaya untuk masyarakat tradisi. Teater rakyat kita harus keluar dari pangung-pangung lama. Untuk masuk pada wilayah baru yang lebih cenderung berkiblat pada Barat. Namun, Arthur memberikan pemikiran, hakikat kita tetap bercokol pada tradisi.
4.3.2 Manusia Teater Rakyat Sebagai Homo Religius
Berdasarkan pemikiran Arthur S. Nalan dalam laporan penelitiannya, aspek dalam Teater Rakyat Jawa Barat (1996: 4). Pandangan Arthur S. Nalan tersebut penulis menafsirkan, realitas kepercayaan masyarakat Sunda berdasarkan atas filsafat Sunda atau kepercayaan masyarakat Sunda lama. Yang tidak lepas dari 3 Alam, terdiri dari alam atas, alam tengah dan alam bawah. Karena hidup ini adalah kesatuan total antara Dunia Atas, Dunia Bawah, dan Dunia Bawah, antara mikrokosmos, makrokosmos, antara dunia sakala (berwaktu)…hidup ini adalah kesatuan antara yang sakral dan yang profan. Hierofani (perwujudan suci) dan aphotheosis (manusia dewa) (Jakob Sumardjo, 2003: 320).
Kepercayaan pada Sanghiang atau dewa-dewa dan roh-roh halus yang sifatnya gaib masuk pada ralitas nilai-nilai religius teater rakyat. Setiap pertunjukan teater rakyat selalu kental dengan mistik. Ini adalah sebuah unsur yang menjadi khas bagi teater rakyat Jawa Barat. Apakah perlu unsur-unsur ini dihilangkan ? Berdasarkan pemikiran Arthur S. Nalan. Bahwa teater rakyat harus ngigelan jaman. Mencari celah kehidupan masyarakat yang tengah berubah, ke arah yang sifatnya profan. Bisa jadi unsur religius itu dihilangkan disaat masyarakat pendukung sudah tidak membutuhkan adanya unsur tersebut.
Dari gambar diatas teater rakyat yang berdasar atas pemikiran Arthur S. Nalan terkadang teater rakyat sekarang ini akan mengarah pada kehidupan yang profan, pengertian profan dalam pengertian penulis sebagai keseharian yang sifatnya keduniawian atau hiburan saja. Nilai religiusitas akan ditinggalkan sesuai dengan masyarakat yang cenderung rasional dan menuntut bahwa tontonan teater rakyat hanya sekedar hiburan. Bukan sebagai bagian dari ritual.
4.3.3 Manusia Teater Rakyat Sebagai Homo Simbolicum
Menurut Arhur S. Nalan bahwa manusia pada dasarnya adalah sebagai makhluk pencipta, sekaligus pengguna simbol, yang digunakan sebagai alat komunikasi. Simbol bagi teater rakyat merupakan sebuah daya kekuatan atau power adi kodrati, yang dimana simbol itu pun, menjadi salahsatu pandangan bagi manusia yang religius (Homo Religius). Simbol-simbol yang terdapat dalam teater rakyat mengandung beberapa konsep dasar filsafat. Orang Sunda yang berpandangan bahwa hidup adalah sebuah bentuk penyatuan dualisme antagonistik. Filsafat dasar ini pun terlihat dalam sebuah lambang dari “kain peundeung” dalam teater Uyeg (Arthur S. Nalan, 2006: 92). Kain peundeung tersebut berwarna hitam putih, denotatifnya yakni melambangkan dunia atas, sedangkan hitam melambangkan dunia bawah, dan kain “Peundeung” tersebut merupakan suatu bentuk penyadaran penyatuan antara dunia atas yang sakral dan dunia bawah yang profan. Penulis menggambarkan seperti di bawah ini.
Dari gambar di atas Arthur membaca bahwa simbol adalah sebagai teks. Ada makna atau konteks yang di dalamnnya berdasar atas pemikiran-pemikiran masyarakat dalam memahami realitas kehidupannya. Bentuk teater rakyat adalah teks sebagai simbol-simbol mereka. Arthur S. Nalan menelaah itu berdasar atas konteknya teater rakyat lama adalah kepercayaan-kepercayaan masyarakat Sunda lama. Yang diwujudkan ke dalam simbol-simbol, dianilisa berdasarkan filsafat Sunda.
4.3.4 Manusia Teater Rakyat Sebagai Homo Kreator
Dalam pembahasan ini Arthur S. Nalan mengacu pada Ladman. Bahwa Homo Creator (Manusia Pencipta) adalah manusia yang berkarya. Berkarya berarti menciptakan nilai-nilai. Dalam suatu karya terwujudlah suatu ide dari manusia. Dalam karyanya manusia bukan sekedar mengunyah dan melumatkan bahan mentah, melainkan memberi bentuk serta isi manusiawi secara pribadi.
Arthur mencontohkan kreatifitas yang dilakukan Mang Usin (sebagaimana kesaksian H.R Adang Affandi sekitar tahun 1937 – 1938). Mang Usin adalah seorang seniman teater rakyat (Sandiwara Istambul atau komedi Istambul) yang seringkali tampil di pasar-pasar malam di wilayah Tasikmalaya dan Ciamis. Ia sangat piawai memekarkan lagi satu cerita menjadi beberapa cerita. Misalnnya jika ia menyaksikan Hamlet. Hamlet tersebut bisa jadi Hamlet ketika bayi, ketika remaja, ketika tua, atau menjadi apa saja (Arthur S. Nalan, 2008: 96). Contoh homo creator lain, Anis Djati Sunda, yang berhasil memodifikasi Uyeg. Dengan sedikit merubah nilai-nilai Uyeg lama pimpinan Abah Ita Citepus. Menjadi Uyeg versi Anis Djati Sunda. Yang lebih disenangi masyarakat.
4.3.5 Manusia Teater Rakyat Sebagai Homo Ludens
Homo Ludens (manusia yang bermain-main) adalah tepat juga menurut Arthur S. Nalan jika ditempatkan pada manusia teater rakyat. Homo Ludens ini terlahir dari predisposisi masyarakat di dalam memanfaatkan waktu luang,--yang erat kaitannya dengan masyarakat pahuma (peladang) sebagaimana halnya masyarakat Jawa Barat pada awalnya, kemudian bertambah dengan masyarakat sawah. Dari cara hidup ini erat kaitannya dengan bagaimana mereka berlaku dalam teater rakyat, sebagai pemanfaatan waktu luang mereka.
Dari cara memanfaatkan waktu luang mereka dan cara kerja masyarakat sebagai pahuma, Arthur S. Nalan memilki satu pandangan ada pengaruh terhadap kemampuan atau kepintarannya para pemain teater rakyat.
Dari pengaruh itu, mereka mampu bermain-main secara lisan dan mampu pula bermain-main dengan bahasa gesture (gerak), terdapat rengkak pari polah, sepak terjang, cuta-cute, ugal-egol, mundur-maju, dan lain sebagainya. Semua itu terdapat dalam pintonan Ateng Japar ketika bermain Longser (Arthur S. Nalan, 1996: 11).
4.3.6 Manusia Teater Rakyat Sebagai Homo Faber
Dalam bukunya berjudul “Teater Eagaliter” (2006), Arthur S. Nalan berpendapat bahwa seluruh awak panggung teater rakyat memiliki kemampuan dalam penguasaan berbagai peralatan di atas pentas dari mulai alat-alat musik sampai tekhnik-tekhnik pemanggungan.
Inilah menurutnya menjadi sebuah ciri yang khusus, untuk membangun sebuah bahasa panggung. Bahasa panggung dalam persepsi Arthur S. Nalan adalan realitas yang hadir di atas pentas. Ia mencontohkan, waditra yang hadir di panggung adalah sebuah perangkat alat musik yang harus dikuasai ketika dalam sebuah pementasan.
Penguasaan manusia teater rakyat terhadap waditra dapat dipastikan menjadi penguasaan yang umum bahkan cenderung absolut karena penguasaan tersebut adalah modal utama didalam berbagai genre teater rakyat (Arthur S. Nalan, 2006: 99).
Seperti yang dikatakannya, aspek ini menjadi keharusan bagi para seniman teater rakyat. Mereka mengasah kemampuannya belajar sambil bekerja (learning by doing). Pada umumnya, mereka tidak cuma menguasai satu unsur saja namun berbagai unsur dalam ruang lingkup teater rakyat seringkali mereka kuasai. Selain bermain akting mereka juga cerdas dalam mempermainkan alat musik
Sama halnya dalam sandiwara, seluruh awak panggung berupaya mempelajari dan memiliki kemampuan menggunakan tekhnik-tekhnik visualisasi. Untuk mendapatkan efek-efek yang menggairahkan bagi penonton. Mempergunakan lampu-lampu, layar dan unsur-unsur artistik lainya.
Arthur S. Nalan memiliki kesimpulan bahwa para seniman tradisi, memiliki daya kecerdasan yang luar biasa. Ia banyak memiliki penguasaaan bukan hanya satu unsur saja. Tetapi berbagai perangkat harus mereka kuasai. Satu individu dituntut untuk memiliki kemampuan berbagai hal. Ini ada tuntutan di masyarakat seni tradisi, khususnya teater rakyat. Selain berakting ia juga harus mampu menari, bernyanyi, memainkan musik, dan lain sebagainya. Sebagai contoh dalam Longser.
Keterampilan pengasahan perangkat pemanggungan dalam perspektif Arthur S. Nalan adalah modal besar bagi keberlangsungan komunitas itu sendiri. Dengan alasan jika anggota komunitas tidak bisa bermain, bagaimana pementasan tersebut. Disinilah kekuatan teater rakyat kita. Mereka mampu berimprovisasi dengan memainkan unsur lain. Sambil memainkan musik misalnya, keterampilan yang mereka dapatkan bukan dari proses studi secara formal. Tapi ini adalah kebutuhan alamiah mereka, dan satu kecenderungan yang khas. Yang tidak dimiliki oleh teater-teater Barat. Itulah hasil telaahan Arthur S. Nalan.
4.4. Arthur S. Nalan Membagi Teater Rakyat: Teater Oncor dan Layar
Dalam laporan penelitiannya tahun 2000 berjudul “Teater Rakyat Sebagai Sumber Daya Indeginisitas”, Arthur S. Nalan mencoba untuk mengelompokkan jenis-jenis teater rakyat menjadi dua bagian, yaitu: teater oncor dan teater layar. Pembagian ini dilakukan ia untuk memudahkan mempelajarinya, hal ini diberi istilah atas penanda-penanda yang digunakan dalam setiap pertunjukannya masing-masing. Dan tentu saja menurutnya semua jenis keseniann tradisi tidak bisa dikategorikan sebagai teater karena dilapangan banyak masalah yang kompleks. Arthur S. Nalan:
Pembagian itu dibuat atas dasar penandanya (oncor dan layar) untuk memudahkan yang mempelajarinya. Seni rakyat tidak bisa dikategorikan sebagai teater secara keseluruhan, kalau seni pertunjukan etnik mungkin bisa. Karena di lapangan banyak yang kompleks dan total tetapi ada juga yang sangat sederhana dan hanya terdiri dari jenis dan unsur-unsurnya saja (Wawancara : Arthur S Nalan, 24 Oktober 2010. Bandung).
Jika hal itu tidak dilakukan maka kesulitan-kesulitan dalam menganalisa atau pengkajian teater rakyat akan terjadi. Dan tentu saja Arthur memiliki keyakinan bahwa tugas seorang peneliti adalah membuat sebuah pengelompokan dan melontarkan istilah baru. Untuk sebuah kegiatan akademik. Karena tugas seorang akademisi itu bukan hanya mengkaji dan meneliti saja, karena kekuatan para peneliti bagi dirinya bukan hanya mendapat data sebanyak-banyaknya, namun bagaimana peneliti atau pengkaji tersebut mampu memberikan peristilahan-peristilahan baru. Mampu memberikan pembahasaan-pembahasaan bagi objeknya sendiri. Mampu menciptakan teori-teori baru sebagai sumbangsih terhadap khazanah intektual. Bukan hanya sekedar laporan penelitian saja.
Arthur telah melakukan sikap sebagai pemerhati, peniliti yang sebenarnya. Inilah kecerdasan seorang peneliti yang benar-benar peneliti. Pemberian istilah baginya sangat penting untuk memudahkan kajian, sehingga kajian lebih menukik, dan mampu menelaah hingga ke akar-akarnya. Meski teater rakyat itu tidak akan habis-habisnya untuk digali. Tetapi sejauh ini Arthur S. Nalan telah melakukan penggalian-penggalian itu dan pembuatan bahasa-bahasa baru untuk proses pembelajaran semuanya. Begitupun dengan ia memberikan istilah terhadap teater rakyat. Ia bagi menjadi dua genre. Sesuai dengan penandaan dari setiap pemanggungannya. Yang tidak bisa lepas dari dua tanda ini. Oncor dan Layar.
4.4.1 Teater Oncor
Salahsatu genre teater rakyat ini mengapa ia sebut teater oncor, karena dalam setiap pertunjukannya selalu menggunakan oncor (lihat hasil penelitiannya tahun 2000: 10). Oncor digunakan untuk penerang, selain itu digunakan umntuk penanda waktu. Siang atau malam. Oncor digunakan sebagai lambang dari kesederhanaan masyarakat Pasundan, dan menurutnya sudah lama dijadikan ciri khas kesenian rakyat sebagai refleksi dari kehidupannya sendiri disajikan dalam satu lingkaran magis untuk menyelami kehidupan kosmologinya. Arthur S. Nalan mengatakan:
Sejak lama oncor menjadi ciri kesenian rakyat dan hasil refleksi dari kehidupannya sendiri disajikan dalam satu lingkaran magis sebagai suatu axis mundi (pusat dunia) tempat komunitas tertentu menyelami kehidupan kosmologinya (Arthur S. Nalan, 2000: 10)
Ia memberi istilah pada genre teater rakyat ini dengan teater oncor, dikarenakan dalam setiap pertunjukannya selalu menggunakan oncor. Oncor sendiri seringkali disebut dammar nilu (bersumbu tiga). Secara fisik berupa lampu minyak bercabang tiga bertiang satu setinggi 1,5 meter. Fungsinya adalah sebagai alat penerang, terkadang dipakai sebagai pembantu imajinasi terutama dalam perpindahan setting.
Kemudian Arthur S. Nalan berpendapat, yang termasuk ke dalam teater oncor adalah Ubrug di Banten, Topeng Tambun di Bekasi, Topeng Banjet di Karawang dan Subang, Uyeg Sukabumi, Longser di Bandung. Semuanya memiliki ciri khasnya dalam pertunjukan. Baik segi bahasa maupun gaya dalam permainannya.
4.4.2 Teater Layar
Selain genre teater oncor, Arthur S. Nalan pun mencoba memberi istilah pada salahsatu jenis teater rakyat, yang sekarang ini masih hidup di wilayah Indramayu dan Cirebon. Setiap pemanggungannya tidak lepas dari unsur layar. Oleh karenanya, Arthur memberikan istilah Teater Layar. Karena sesungguhnya, layar merupakan sesuatu yang khas dari genre teater rakyat ini. Dalam catatannya, teater rakyat tersebut telah mendapat pengaruh dari teater Barat (tunil, sandiwara bangsawan, dan sejenisnya). Ciri-cirinya telah menggunakan panggung proscenium (berbingkai).
Berdasarakan catatan Arthur S. Nalan, dulu muncul dan berkembang dibeberapa kabupaten di Jawa Barat, dalam suatu periode (sekitar tahun 1950-1970) hampir di seluruh kabupaten terdapat sandiwara. Namun ditahun 1980-1990 yang masih hidup hanya di Cirebon dan Indramayu. Sementara di Bandung dan beberapa wilayah lainnya telah punah (Arthur S. Nalan 2000: 13).
4.5 Solusi Praksis Arthur S. Nalan Dalam Teater Rakyat Jawa Barat
Kebuntuan teater rakyat telah Arthur temukan. Hal ini salahsatunya karena Ia melihat pola-pola pertunjukan yang terdapat dalam teater rakyat Jawa Barat memiliki kebakuan dan cenderung dipertahankan secara kaku, hingga kadang-kadang memberikan kesan bahwa perubahan terhadapnya dianggap tabu. Kecenderungan konservatif ini dipahami, karena hilangnya pola-pola yang terbukti ampuh itu akan dapat melenyapkan keberaadaan jenis teater rakyat itu sendiri. Mengapa cenderung konservatif ? Salahsatu akarnya, menurut ia, karena pemahamannya yang menganggap tabu, sementara tabu lahir atas dasar sikap patuh pada tradisi yang telah menjadi folkwaynya. Perubahan folkway dirasakan suatu pelanggaran bagi masyarakat tradisi, terkadang menolak cara pandang yang diberikan. Ketika ada akademisi yang betul-betul peduli. Mereka sangat ketakutan besar melanggar tali paranti karuhun yang telah diwarisinya. Arthur S. Nalan mengungkapkan:
Ketika kita memberikan cara pandang itu masih menolak, ketika memberikan masukan-masukan kepada teater tradisi. Mereka khawatir. Mereka menganggap kalau melanggar tali paranti karuhun bisa menjadi problem. Mereka banyak mengiyakan masukan tapi tidak dilakukan, Karena kalau diilakukan bisa merusak tradisi. Karena cara pandang nalarnya itu berbeda dengan para akademisi. Banyak kekhawatiran - khawatiran, kamelang. Sehingga kalau melanggar talari paranti karuhun itu seperti sebuah dosa, tapi jika ada pewaris aktif yang melakukan upaya-upaya untuk menafsirkan tradisi dengan cara mereka. Itu memang butuh keberanian (Wawancara: Arthur S. Nalan, 10 Juni 2010)
Masyarakat seperti ini, menurut Arthur S. Nalan memiliki pandangan yang mengacu pada kejayaan masa lalu menyebabkan dari apa yang mereka tafsirkan selama ini sebagai keburukan, tak bernilai, berdosa yang harus dihindarkan. Pandangan konservatif atau kuno ini yang hadir di masyarakat tradisi tersebut bukanlah sesuatu yang tidak baik, tetapi menurutnya --harus dipandang sebagai kenyataan yang harus dijadikan bahan diskusi dalam ruang lingkup akademik, guna menemukan sebuah solusi yang lebih tepat bagi kejayaan teater rakyat di Jawa Barat.
Arthur S. Nalan memiliki pandangan bahwa ketika masyarakat seniman tradisi bersikap demikian, jangan dihakimi bahwa itu adalah sebuah kesalahan besar mereka, yang tidak bisa dirubah. Semua itu karena latar belakang mereka yang rata-rata tidak memiliki pendidikan yang tinggi (rata-rata SD atau SR [Sekolah Rakyat]). Ini adalah tugas akademisi menurutnya, membawa mereka pada sebuah ruang yang penuh pencerahan, memboyong pada semangat jaman renaissance.Seorang akademisi dituntut mampu memberikan penerangan, memberikan kontribusi yang besar terhadap lingkungannya dimana ia hidup.
Disamping itu, kesenian tradisi khususnya teater rakyat, tidak cukup tertulis dalam buku-buku. Sebagai seni yang punah dan dijadikan objek peneltian saja. Tapi seorang akademisi seni harus memiliki kemampuan untuk melakukan sebuah perjuangan besar secara praktis. Karena ia berpikir, untuk mengadakan perubahan bagi masyarakat tradisi, yang tengah berada di zona kehancuran, bukan hanya bersifat teoritis saja. Tapi wujud nyata. Realitas panca indra yang bisa ditangkap oleh masyarakat tradisi lebih penting.
Arthur S. Nalan telah membuktikan semua ini, membuat sebuah keseimbangan, karena ia berkeyakinan -- kajian-kajian ilmiah yang berjubel diperpustakaan. Tidak akan memberikan pengaruh besar bagi keberlangsungan teater rakyat Jawa Barat sekarang. Tanpa aplikasi di lapangan. Ini adalah kenyataan bagi Arthur. Karena kepunahan teater rakyat Jawa Barat, salahsatunya yang harus bertanggungjawab adalah pihak akademisi. Akademisi dituntut melakukan sebuah upaya, dengan berbagai cara. Sebagai pertanggung jawaban akademik. Bila seorang sarjana seni, bagaimana ia memberikan kontribusi bagi kesenian daerahnya. Dan Bagaimana melakukan pendekatan terhadap masyarakat tradisi untuk memecah kebekuan itu ?
Arthur S. Nalan telah memberikan beberapa tawaran praktis, didasari pemikiran bahwa teater rakyat harus ngigelan jaman. Itulah tekanan yang ia lakukan. Dan tradisi itu sifatnya dinamis. Kenapa dinamis ? Karena dipengaruhi oleh berbagai kebudayaan lain yang menyergap, sehingga pola pikir dan selera masyarakat pendukung berubah. Teater bisa hidup disebabkan adanya masyarakat pendukung tersebut.
Dari gambaran itu, berdasarkan pemikirannya, Arthur S. Nalan telah memberikan satu tawaran konsep yang telah dilakukannya, di tengah masyarakat yang telah terkontaminasi oleh modernisasi. Penyesuaian bentuk pertunjukan baginya mutlak diperlukan, supaya kembali ada inter aksi yang harmonis dengan masyarakat penyangganya (lebih jelas lihat lampiran). Tanpa menghilangkan esensi dari teater rakyat yang lama.
Beberapa tawaran yang telah dilontarkan Arthur, sebagai hasil ramuan antara teater rakyat dengan unsur-unsur yang kekinian. Istilahnya modern. Beberapa karya yang telah ia buat antara lain: Tewaysun, Sandiwara Munaran, Kakufi (telah mendapat kejuaraan), dan lain sebagainya.
4.5.1 Tewaysun
Teater wayang sunda adalah bentuk tafsir kreatif Arthur S. Nalan terhadap wayang wong Sunda. Ia merubah dari bentuk konvensional lakon yang selama ini terdapat dalam wayang wong. Dengan pengadegan yang sesuai dengan galur saja, tidak dramatis. Tewaysun memposisikan lakon menjadi esensial dan irit pemain, tiga sampai sepuluh (wawancara: Arthur S. Nalan, 01 Oktober 2010. Bandung).
Lakon-lakon yang telah dibuat Arthur. S Nalan diantaranya: The Song Of Dorna yang telah dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Lakon ini menceritakan tentang terbunuhnya Dorna oleh Destajumena yang dirasuki roh Ekalaya yang dendam, dalam perang Bratayuda. Saat Dorna panik karena mendengar kabar kematian Aswatama, padahal Aswatana dimaksud adalah seekor gajah yang namanya sama.
Lakon tersebut diawali suara gemuruh ombak. Dorna turun dari kahyangan untuk mengembara. Kemudian ditemani seorang Bidadari, berpenampilan kuda bersayap dan berwajah cantik bernama Wilotama, dengan sarat tidak boleh ‘amalkan sutra’ pada waktunya.
Tapi larangan itu dilanggar --- dalam pementasan: Tampak di layar belakang, gambar alam berganti-berganti. Pantai, lautan, ombak, awan, siang dan malam serta akhirnya tiba di kaki langit -- lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Aswatama. Dan perpisahan terjadilah antara Dorna dan Wilotama dengan suasana haru.
Dorna berduka atas kepergian Wilotama. Wilotama hadir dalam mimpinya. Karena cinta dan kasih sayangnya yang tak bisa dibendung. Mimpi itu seperti kenyataan bagi dirinya. Sambil membawa rindu yang tak tertahan Dorna pergi ke selatan hingga masuk ke dalam kancah perang antara Kurawa dan Pandawa. Hingga terbunuh, ruhnya pergi dengan cinta bersama Wilotama.
Begitulah sinopsis cerita itu. Dalam pertunjukanya, Arthur mencoba memasukan tekhnologi multi media sebagai Background. Yang terasa lebih hidup. Lebih elegan tanpa menghindari hakekat tradisi, yang sedang ia upayakan sampai saat ini.
4.5.2 Sandiwara Munaran (Konsep dan Bentuk)
Tradisi dalam keyakinannya adalah sesuatu yang hidup. Bisa menerobos dari jaman ke jaman. Oleh karena itu, tradisi sifatnya dinamis bisa menerobos waktu, bisa menerobos ruang. Dasar tradisi tidak hilang, esensinya tidak hilang, tapi mungkin bentuknya berubah. Arthur S. Nalan menuturkan:
Jadi tradisi itu sesuatu yang hidup, yang bisa menerobos dari jaman ke jaman. Oleh karena tradisi itu dinamis, bisa menerobos waktu. Bisa menerobos ruang, dasar tradisi tidak hilang, esensinya tidak hilang tapi mungkin bentuknya berubah. Misalnya Avatar pada dasarnya itu adalah cerita tradisi dongeng , atau Maha Barata ketika di tafsir oleh genius katakanlah seperti itu. Peter Brook menafsikan Maha Barata. Maha Barata kan pertentangan keluarga, atau pertentangan napsu manusia. Kebaikan dan keburukan tetapi ditafsir oleh Peter Brook itu berbeda. Ya, menceritakannya. Seperti Pak Asep (Asep Sunandar Sunarya) lakon-lakon yang ia warisi dari ayahnya ia tafsirkan dengan cara dia. Ia tidak mulai lagi adegan pasewakan (Wawancara: Arthur S. Nalan, 2010)
Dari keyakinan tersebut, Arthur selain suport aktivis-aktivis teater rakyat. Ia mencoba membuat keberpihakan dengan membuat sebuah repertoar sandiwara Munaran.
Rumusan pertunjukan itu dibantu Agus Inyuk dan Dede Komek. Dan disampaikan di Paguyuban Pasundan. Sandiwara baru itu, memanfaatkan tekhnologi multimedia sebagai unsur visualisasi, pergantian setting yang lebih kekinian. Jika di sandiwara tradisi layarnya yang digunakan sebagai background hanya digambar saja.
Sebagai contoh untuk mengambil gambarnya, Dede Komek mengambil sebuah jalan sambil naik motor. Hasilnya seperti sebuah perjalanan. Ketika dalam pertunjukan, Agus Inyuk menaiki sepeda dalam keadaan statis. Ia pura-pura mengayuh. Efeknya Agus seperti berada dalam sebuah perjalanan saja.
Sandiwara Munaran itu sebuah upaya Arthur S. Nalan secara kongkret. Mengikuti kebutuhan masyarakat sekarang, yang telah berubah. Akibat sergapan budaya luar, yang datang bertubi-tubi tak terkendali. Namun, mahalnya biaya produksi dalam satu pementasan, membuat persoalan. Dalam satu produksi membutuhkan lima juta sampai sepuluh juta. Arthur S Nalan :
Hanya persolaannya, dalam satu produksi itu lebih dari lima juta sampai sepuluh jutaanlah. Karena multi media membutuhkan proses tersendiri. Tapi sesungguhnya kalau dijadikan pembelajaran untuk pembaharuan teater rakyat, itu bisa saja. Tapi memang hakekat sandiwara itu harus ke teater rakyat (Wawancara: Arthur S.Nalan, 2010).
Pembaharuan teater rakyat telah ia lakukan dengan cara kemasan yang lebih baru sesuai dengan perkembangan jaman, supaya teater rakyat bisa menarik. Tanpa menghilangkan esensi dari teater rakyat sendiri. Ia mendobrak konvensi-konvensi lama. Dengan harapan bisa diterima, dan sandiwara kontemporer ini nantinya berubah menjadi tradisi.
4.5.3 Wayang Ajen (Wayang Kakufi)
Sebagai upaya revitalisasi teater rakyat tradisi, Arthur mencoba menawarkan sebuah bentuk wayang dengan citra dan bentuk pertunjukan yang berbeda. Konsep wayang ajen atau Wayang Kakufi (Kayu Kulit Fiber) merupakan hasil pembacaan kembali atau tafsir ulang dari wayang golek konvensional. Karena ia berprinsip tradisi harus ngigelan jaman. Ketika tradisi statis, maka bisa jadi akan ditinggalkan masyarakat.
Wayang Ajen Kakufi telah mendapat tiga penghargaan dalam Festival Wayang Internasional I (The First International Marionette Festival) di Hanoi, Vietnam, 16-24 Februari 2008. Pada festival yang diikuti 11 negara itu, Wayang Ajen Kakufi mendapat medali emas untuk kategori Dalang Terbaik, Lakon Terbaik, dan Komposer Terbaik. Dengan membawakan lakon Dewa Ruci, Nyanyian Air Kehidupan berdurasi 45 menit. Rombongan Wayang Ajen Kakufi terdiri dari 11 orang, antara lain Arthur S Nalan sebagai sutradara atau lakon, Wawan Gunawan (dalang/lakon), Suhendi Afriyanto (penata musik), Dodong Kodir (pemusik), Tavip (penata artistik), Lina Marliana (penata tari), Dini Irma Damayanti (penari), Dedi Wahyudi (penata wayang), dan Kusnandi (penata cahaya).
Dalam wayang Kakufi, Arthur telah melakukan pengembangan-pengembangan kreatif pada sajian pertunjukannya, sebagai upaya agar wayang golek bisa diapresiasi oleh semua kalangan masyarakat. Oleh karena itu, wayang golek diramu kembali dengan konsep wayang inovasi baru yang terdiri dari bahan kayu, kulit dan fiber (KAKUFI). Dengan memasukan unsur pembaharuan multi media. Dan membangun tata pentas atau pakeliran yang mengarah pada artistik teaterikal.
Ia yang dibantu Ki Dalang Wawan Gunawan melepaskan diri dari kebekuan pakem, yang selama ini menjadi sebuah hambatan mengapa wayang golek sekarang ini mengalami kesulitan dalam berkembang mengikuti apresiasi dinamika masyarakat penyangganya. Sebagai ekologi hidupnya.
Upaya Arthur, penulis pandang, merupakan sebuah keberanian -- dengan merombak pakem yang selama ini masih banyak dalang yang konservatif. Tetap bertahan dalam aturan-aturan lama, yang kurang di minati masyarakat. Keberaniannya melakukan eksperimen untuk melakukan kolaborasi berbagai bentuk seni tradisional ke pentas wayang golek -- dari ekologinya yang masih digunakan dalang-dalang lain yang begitu sarat dan ketat oleh pakem. Diejawantahkan Arthur ke dalam pertunjukan yang sesuai dengan keadaan jaman.
Selain peran multimedia sebagai pendukung visualisasi, artistik, serta musikalisasi, yang juga tidak kalah menarik dari wayang ajen adalah bahasa nyandra, kakawen maupun paguneman yang pada mulanya sepenuhnya menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Kawi, diubah dengan sepenuhnya menggunakan bahasa Sunda yang sarat dengan nilai sastra. Hal ini diserap dari Abah Sunarya, Elan Surawisastra (Mama Elan), dan Jamar Media. Arthur Menuturkan :
Hal ini diserapnya dari Abah Sunarya, Elan Surawisastra (Mama Elan), dan Jamar Media, yang dalam paguneman sepenuhnya menggunakan bahasa Sunda yang murwakanti, serta sepenuhnya mentransfer filsafat Ki Sunda. Sedangkan dalam kakawen (pendahulu), Wawan masih mengunakan bahasa Kawi (Jawa Kuno). “Karena pada umumnya dalang sepuh pada masa lalu memang menggunakan bahasa Sunda lulugu dan diyakini sebagai bahasa indung orang Sunda (Pikiran Rakyat: Arthur S. Nalan, 25 Agustus 2008)
Phenomena Gaya pertunjukan wayang ajen menjadi tren baru dan mulai merambah kepada gaya pertunjukan wayang golek tradisi yang dipergelarkan oleh dalang-dalang lain, seperti bentuk bedripan (kilas balik) pada adegan awal, penambahan media bantu seperti kain layar sebagai background dan lainya.
Dengan kreatifitas yang ditawarkan Arthur itu, penulis berharap teater rakyat di Jawa Barat ini bisa berkembang dan maju. Tidak terjebak pada sebuah pemahaman bahwa pakem adalah sebuah hal yang tabu. Yang tidak boleh dirubah. Selain itu, warna dan gaya pedalangan tidak hanya mengkultuskan pada satu titik genre saja, tetapi banyak hal-hal lainnya yang lebih memungkinkan untuk digali dan ditemukan, sebagai sesuatu yang baru dalam sebuah kreativitas berkesenian dengan pemberangkatan dari akar tradisi. Karena tradisi tidak akan ada habis-habisnya untuk digali. Ini tawaran cerdas yang dilakukan Arthur S. Nalan.
Dari ketiga contoh tawaran tadi, diharapkan bisa menjadi sebuah jalan keluar dari berbagai permasalahan yang ada di teater rakyat masa kini. Dan ini sebuah bukti bahwa Arthur telah membuat upaya untuk mengembalikan lagi kejayaan teater rakyat di Jawa Barat dengan konsep dan pertunjukan teater rakyat yang baru. Lebih segar namun tetap berakar pada teater rakyat kita. Supaya teater rakyat kembali subur seperi dahulu dengan wajah yang berbeda. Tidak sekarat dan punah.
BAB V
KESIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian penulis tentang pemikiran Arthur S. Nalan. 1) ia adalah sosok akademisi yang telah menempatkan dirinya dalam wilayah keseimbangan. Teoritis dan fraksis. Meskipun ia dibentuk dan didewasakan oleh kurikulum yang berorientasi terhadap teater Barat, Ia sekan mendobrak sistem itu, kemudian mengambil jalan. Jalan yang penuh kemuliaan bagi dirinya. Meraup nilai-nilai luhur yang tersembunyi dalam teater rakyat Jawa Barat. Ia telah mengabdikan dirinya, menggali identitas budayanya sendiri. 2) Ia adalah seniman yang tahu bahwa akar budaya lokal menyimpan mutiara yang berharga, yang tak akan habis-habisnya jika digali. Kekayaan yang luar biasa, ia telah dapatkan. Dan terus berupaya melakukan penggalian.
Dikala pengamat, peneliti, dan seniman lain asyik bernostalgia, bercengkarama mesra dengan teater Barat. Ia masuk, menyelinap lewat pintu yang jarang orang masuki. Menuju kemuliaan hidup. Perjuangan bersama keterpurukan teater rakyat Jawa Barat.
Pemikiran-pemikiranya yang tajam, memberondong segala unsur yang bertanggung jawab dalam persoalan ini. Pemerintah, akademisi, seniman, masyarakat, dan lain sebagainya. Untuk melakukan sebuah penyadaran bersama. Menuju hidup yang berbasis kelokalan.
Disamping itu, ada hal yang menarik selama melakukan penelitian ini. Ikatan emosional antara Arthur S. Nalan dan Saini KM begitu dekat. Sosok Saini KM telah memberi warna hidupnya. Memberi banyak inspirasi. Memberi banyak dorongan yang luar biasa bagi dirinya. Baik itu menentukan arah hidup, bersikap, dan jalan berkesenian.
Saini KM memacu Arthur S. Nalan untuk terus berkarya, mencapai impian masa depan. Sehingga Arthur kini menorehkan banyak frestasi. Beberapa lakonnya menjadi unggulan. Diantaranya : Wanita dari Negeri Wewangian (scenario Film) Lima terbaik (Direktorat Film Budpar) (2007), Ibunda Seni Sunda (Dokudrama Tien Rostini Asikin) (2006), Jalan perkawinan (scenario Film) Pemenang 1 (Direktorat Film Budpar) (2006, dan lain sebagainya. Selain itu, pertunjukan teater rakyat kontemporernya, Kakufi, mendapat tiga penghargaan dalam Festival Wayang Internasional I (The First International Marionette Festival) di Hanoi, Vietnam, 16-24 Februari 2008.
Dalam menulis lakonnnya, ia adalah sosok yang cerdas. Cepat menangkap inspirasi yang melintas, tanpa melupakan nilai-nilai kelokalan (cerita-cerita rakyat). Ini adalah kemuliaan pribadinya yang tahu purwadaksi. Darimana ia berasal.
Disamping itu, Arthur juga mengkritisi persolan-persolan sosial. Seperti dalam kumpulan 9 drama, “Bulu Tanah”. Ini adalah kebenaran bagi dirinya dan juga bagi penulis. Kelokalan harus terus digali, pembelaan terhadap teater rakyat terus ia lakukan dengan memegang prinsip Budha: Yang mengenal akan di kalahkan oleh yang mengetahui, yang mengetahui akan dikalahkan oleh yang memahami, yang memahami dikalahkan yang menghayati.
Keberpihakannya terhadap teater rakyat Jawa Barat, karena ia merasa prihatin jarang sekali, para pemerhati, peneliti, dan akademisi yang mengkaji teater rakyat. Juga pemerintah yang apatis terhadap persolan ini. Sedangkan para seniman di daerah banyak yang berharap.
Oleh karenanya, ia datang menjadi juru bicara, tentang kondisi dan nilai-nilai yang ada dalam teater rakyat di Jawa Barat. Ia terus berjuang, supaya teater rakyat terus berkembang dengan berbagai upaya. Salah satunya menawarkan sebuah jalan, teater rakyat harus ngigelan jaman. Karena masyarakat pendukungnya telah berubah.
Maka atas keberpihakan yang telah ia lakukan. Jika Saini KM disebut menteri penerangan teater Indonesia, maka Arthur S. Nalan tepat disebut advokat teater rakyat Jawa Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Admiharja, Kusnaka
2004 Arsitektur Dalam Bingkai Kebudayaan. Architechture dan Komunication. Bandung
Djuhaire, O. Setiawan
2001 Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi, Bandung ; Yrama Widya.
Hermana
2008 Seni Sunda Merelukeun Sokongan Ti Gegeden Pamarentah, Koran Sunda Urang.
Kurnia, Ganjar & Arthur S. Nalan
2003 Deskripsi Kesenian Jawa Barat, Bandung.
Nalan, Arthur S,
2006. Teater Egaliter,
2006. Seni Pertunjukan Rakyat di Pesisir Utara Jawa, Jurnal Panggung STSI, NO. XXXIX, Bandung.
2002. Penjelajahan Tradisi Dan Seni, Jurnal Panggung STSI, No XXV, Bandung.
2009. Tradisi Spiritual dalam Jagat Kesenian Kita, Jurnal Panggung STSI, NO. XVII, Bandung.
2005. Budaya Folklor Sunda, Jurnal Panggung STSI, NO. XXXVII, Bandung.
2005. Penelusuran Jejak Ki Sunda Dari Masa Ke Masa, Makalah Seminar.
2007. Revitalisasi Kebudayaan Pada Masyarakat Adat Di Indonesia, Makalah Seminar.
2007. Strategi Kebudayaan Bagi Kota Bandung, Makalah Seminar.
2004. Kultur Warisan Seni Dalam Tari Sunda, Makalah Seminar.
2007. Mari Menggali, Memahami, Menghayati : Tiga Langkah Proses Pentingnya Penyelamatan Tinggalan Budaya Di Jawa Barat, Makalah Seminar.
….. Gerakan Melangsungkan Kebudayaan, Melangsungkan Kesenian, Makalah Seminar.
1999 Mencari Estetika Dalam Teater Rakyat Jawa Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, STSI Bandung.
2000 Teater Rakyat Sebagai Sumber Daya Indeginisitas, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Bandung, STSI, Bandung.
1996 Aspek Manusai Dalam Teater Rakyat Jawa Barat. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, STSI Bandung.
1994 Punahnya Teatetr Rakyat Di Jawa Barat. Departemen Kebudyaan dan Pariwisata, STSI Bandung.
Sumardjo, Jakob
2003 Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda, tafsir-tafsir pantun Sunda, Bandung, Kelir.
1997. Perkembangan Teater Modern Dan Perkembangan Sastra Indonesia, Bandung, STSI Press
2000 Rakyat Teater Sebagai Indeginisitas, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Bandung, STSI, Bandung.
NN
2003 Khasanah Seni Pertunjukan Daerah Tatar Suda, Yayasan Kebudayaan jaya Lokal Bandung.
Retno
2008 Wayang Ajen Lebih Dari Sekedar Wayang, Koran Pikiran Rakyat.
www.NewWpThemes.com
DAFTAR NARASUMBER
Nama : Arthur S. Nalan
Peran : Narasumber utama
Pekerjaan : Dosen jurusan teater STSI Bandung, seniman dan budayawan.
Nama : Nandi Riffandi, S.sen, M.Hum
Peran : Significant ather
Pekerjaan : Dosen jurusan teater STSI Bandung
Nama : Retno Dwimarwati, S.sen, M.Hum
Peran : Significant ather
Pekerjaan : Dosen jurusan teater STSI Bandung
Nama : Prof. Drs. Saini KM
Peran : Significant ather (Guru dan motivator narasumber utama)
Pekerjaan : Guru besar STSI Bandung
Nama : Prof. Drs. Jakob Sumardjo
Peran : Significant ather
Pekerjaan : Guru besar STSI Bandung
Nama : Rusman Nurdin
Peran : Significant ather
Pekerjaan : Dosen jurusan teater STSI Bandung
Nama : Hernawan SA
Peran : Significant Ather
Pekerjaan : Dosen jurusan teater STSI Bandung
Nama : Prof. DR. Endang Catur Wati
Peran : Orang yang dikenali narasumber utama
Pekerjaan : Ketua Puslitmas STSI Bandung
Nama : Toni Supartono
Peran : Significant ather
Pekerjaan : Dosen Jurusan Teater STSI Bandung
BIOGRAFI
(Secuil Endapan Kehidupan)
Gun Gun Nugraha lahir di Garut, 5 Desember 1981. Disebuah desa yang dulu menawarkan surga kesenian dan alam yang hijau serta damai. Tapi sekarang semua itu lenyap. Orang-orang tak lagi ramah. Manusia berubah menjadi individualistis. Alam menjelma bom waktu, akibat penambangan liar. Dan kesenian tradisi pun hilang tak meninggalkan jejak. Ia sekolah di SMAN 12 Garut (dulu SMAN 1 Cisewu). Selama dua tahun ia mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat, sebagai eksperimenh terhadap arti dan pentingnya hubungan social. Ketika ia keluar dunia menjadi asing bagi dirinya. Orang-orang mengumandangkan kata-kata ketidaklayakan. Ia menjelmakan teks menjadi cambuk, membuat ia memacu diri untuk terus berlari melewati berbagai tantangan. Tak ada kata tidak mungkin dalam jiwanya, untuk bisa merubah dunia. Sekalipun menjadi raja di kerajaan langit.
Tahun 2001 pernah aktif di beberapa radio komunitas, antara lain Remon FM, Pandawa FM dan Rasi FM. Tahun 2003 masuk ke STSI Bandung, Jurusan Teater, dengan pemikiran yang idealis ingin menjadi sesuatu yang sesuai dalam benaknya. Bertahun-tahun ia jalani. Seperti perjalanan sebuah kapal. Karena ia memandang bahwa: Hidup adalah sebuah perjalanan dari fase ke fase.Dikampus ini, terkadang kejenuhan hinggap, kehilangan tema, sepi dan sunyi. Dan berkecamuk berbagai pertanyaan, tentang dirinya, tentang tuhan, tentang apa saja. Malam dan siang adalah peristiwa yang terkadang menjadi sebuah virus. Menggerogoti jiwanya yang haus akan sebuah kesempurnaan hidup. Dan dikampus ini, mengendap berbagai kenangan, pemberontakan dan pernah terjadi benturan tidak disengaja. Bahkan ia bertanya sendiri: Kenapa bisa terjadi?
Kesenian telah membuat ia liar, memandang dunia bebas dan tanpa batas. Terkadang memaksakan kehendak dan prinsipnya pada orang lain. Pembelajaran kehidupan pernah menjadi jiwanya kosong. Dan aku harus bagaimana?
Dalam pertunjukan teater tidak banyak yang ia pentaskan. Karena ia semasa kuliah memandang bahwa hidup itu adalah berteater. Membaca adalah sebuah kegiatan teater, berpikir adalah teater.
Tahun 2007 sampai sekarang aktif menjadi wartawan di SKU (Surat Kabar Umum) Garut Pos, redaktur pelaksana Resonans (2010), dan pennggungjawab redaksi buletin Spektrum (2010). Tahun 2009 membentuk organisasi kesenian Global Art dengan misi perubahan kebudayaan yang berbasis revitalisasi kebudayaan lokal, dengan anggota sekarang berjumlah 200 orang. Masih ditahun yang sama, ia membentuk komunitas Teater, Laboratorium Teater Cisewu, dengan mementaskan Lakon ‘Bedil’ dan ‘Airmata Mataair’, karya/sutradara ia sendiri. Selamat tinggal kawan-kawan! Aku akan melangkah ke tahap kehidupan yang berikutnya! Sallam Perubahan !
LAMPIRAN
DAFTAR FOTO PERTUNJUKAN
(KARYA ARTHUR S. NALAN)
“Perang Troya Tidak Akan Meletus”, sutradara: Arthur S. Nalan. Aktor: Nandi Riffandi.
“Rajah Air”, sutradara: Arthur S. Nalan
“Jalu Wuyung dalam Randu Mulus”, aktor: Artur S. Nalan
Arthur S. Nalan bermain dalam
“Sumur Tanpa Dasar”, sutradara: Adang Ismet
Pertunjukan ujian akhir sarjana muda ASTI Bandung
“Lautan Bernyanyi”, sutradara: Arthur S. Nalan
Arthur S. Nalan berfotret dengan memakai pakaian adat Sunda
CURRICULUM VITAE ARTHUR S. NALAN
Nama Arthur Supardan Nalan S.Sen. M.Hum
Nama populer Arthur S Nalan/Art Nalan
Tempat/Tgl lahir Majalengka, 21 Februari 1959, Jawa Barat
Jenis Kelamin Laki-laki
Agama Islam
Suku Sunda
Pekerjaan Dosen STSI Bandung Jrs.Teater/Pembina Utama Muda/IVc
Status Menikah
Alamat Rumah Jl. Parakan Asih No 7 Bandung 40266 Tlp. (022) 7566714
Hp. 08122378061. Email: sarangwayang@yahoo.co.id
Alamat Kantor Jl. Buah Batu No 212 Bandung 40265
Tlp. (022) 7314982 Fax. (022) 7303021
Email: arthur@stsi-bdg.ac.id
Pendidikan
2010 Kandidat doctor Komunikasi UNPAD
2008 Mahasiswa S3 Komunikasi UNPAD
1993 Magister Humaniora Universitas Gajah Mada
1989 Sarjana Seni Jurusan Tari STSI Surakarta
1982 Sarjana Muda Jurusan Teater ASTI Bandung
Riwayat Pekerjaan Formal
2004-2008 Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung
2000 Sekretaris Senat STSI Bandung
1996 Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat STSI Bandung
1994 Ketua Jurusan Teater STSI Bandung
1991 Asisten Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan ASTI Bandung
1981- Dosen ASTI/STSI Bandung, dalam mata kuliah: Teater Rakyat, Kebudayaan Sunda, Kajian Seni Pertunjukan, Penulisan Lakon, Akting dan Direkting, Metode Riset.
Riwayat Pekerjaan Non Formal
2008- Ketua KOMLAKON (Komunitas Penulis Lakon)
2006-2008 Ketua Bandung Art Culture Council (BACC) Kota Bandung
1999- Ketua Kelompok Studi Etnoteater dan Teater WOT
1978-1983 Anggota Studi Klub Teater (STB) Bandung
Publikasi
2006 Teater Egaliter, Bandung: Sunan Ambu Press STSI Bandung
2000 Sanghyang Raja Uyeg: dari sacral ke propan, Bandung: Humaniora Hutama Press
2006 Budaya Folklor Sunda (Jurnal Panggung STSI Bandung)
2006 Seni Pertunjukan Pantai Utara Jawa (Jurnal Panggung STSI Bandung)
2000 Teater Jawa Barat sebagai Indigenisitas (Jurnal Panggung STSI Bandung)
2000 Tokoh-tokoh Wanita dalam Tradisi Lisan dan Lakon di Jawa Barat (Puslitmas STSI Bandung)
1999 Pemetaan teater Jawa Barat (MSPI)
1999 Mencipta Teater (bersama Suyatna Anirun dan Benny Yohanes)
1998 Peta Teater Jawa Barat: Teater Oncor dan Teater Layar (Puslitmas STSI Bandung)
1997 Gending Karesmen sebagai Local Genius (Puslitmas STSI Bandung)
1996 Catatan Seni (STSI Press: Editor)
1996 Aspek Manusia dalam Teater Rakyat (Puslitmas STSI Bandung)
1995 Teater Pemulung (Pikiran Rakyat)
1995 Kosmetika Budaya (Pikiran Rakyat)
1995 Seni Helaran sebagai Teater Jalanan (Puslitmas STSI Bandung)
1994 Tradisi Buka Panggung pada Sandiwara Indramayu (Puslitmas STSI Bandung)
1994 Kosmologi Ngaruwat : Antara Eficasy dan Persepsi (Jurnal Panggung STSI Bandung)
1993 Karina Adinda: Kolaborasi Artistik (Pikiran Rakyat)
Karya Sastra
2007 Wanita dari Negeri Wewangian (Skenario Film) Lima Terbaik (Direktorat Film Budpar)
2006 Ibunda Seni Sunda (Dokudrama Tien Rostini Asikin), Bandung: Yayasan Pakujajar dan Etnoteater
2006 Jalan Perkawinan (Skenario Film) Pemenang I (Direktorat Film Budpar)
2004 Sobrat (Lakon) Pemenang I Dewan Kesenian Jakarta: Grasindo
2003 Lima Puan dan Enam Tuan (kumpulan Monolog), Bandung: Etnoteater
2002 Syair Ikan Tongkol (Dalam 4 Kitab Drama-Horison dan Ford Foundation)
1987 Si Badul dan Anak Ondel-ondel (lakon anak-anak)
1986 Serat Santri Kembang, DKJ
1986 Anak Bajang dan Anak Gembala, Direktorat Kesenian
1984 Hujan Keris (Lakon), DKJ
1984 Si Samudra (lakon anak-anak) , Direktorat Kesenian
1984 Dunianya Didong (lakon anak-anak), Direktorat Kesenian
Grants
2006 Sejarah Kebudayaan Sunda (Tim Kerja Dinas Kebudayaan dan pariwisata Jawa Barat)
2006 Pemetaan Potensi Kesenian Kota Bandung (Dinas Pariwisata Kota Bandung)
2002 Topeng Kaleng Bekasi (Penelitian Mitra UGM dan STSI Bandung) DIKTI.
1995 Difusi Topeng Cirebon dan Topeng Betawi (Dinas Kebudayaan DKI)
Riset
2006 Sejarah Kesenian di Jawa Barat (Etnoteater)
2000 Teater Rakyat Jawa Barat sebagai Indigenisitas (STSI Bandung)
2000 Tokoh-tokoh Wanita dalam Tradisi Lisan dan Lakon di Jawa Barat (STSI Bandung)
1999 Punahnya Teater Rakyat Jawa Barat (STSI Bandung)
1998 Peta Teater Rakyat Jawa Barat (STSI Bandung)
1997 Gending Karesmen sebagai Local Genius (STSI Bandung)
1996 Aspek Manusia dalam Teater Rakyat (STSI Bandung)
1995 Seni Helaran sebagai Teater Jalanan (STSI Bandung)
1994 Tradisi Buka Panggung pada Sandiwara Indramayu (STSI Bandung)
Pertunjukan Seni
2008 The First International Marrionette Festival Hanoi 2008: membawa wayang KAKUFI: Sutradara, Penulis Lakon (Bronze medal)
2006 Four Day Literature and Arts Festival, di Pulau Kreta Yunani, membawa wayang KAKUFI: Penulis Lakon dan Sutradara
2006 Festival Four de Niort, di Prancis, membawa STSI Bandung: Sutradara
2006 Teater Wayang Sunda (TEWAYSUN), lakon Candrabirawa Layu, The Song Of Dorna, Kunti, di Gedung Kesenian Jakarta (KGJ): Penulis lakon dan Sutradara
2006 Teater Wayang Sunda (TEWAYSUN), Lakon The Son Of Magma, di Gedung Teater Terbuka Taman Budaya Jawa Barat: Penulis Lakon dan Sutradara
2006 Dramatari Nyai Sumur Bandung, Studio Tari Indra: Penulis Lakon dan Literatur Manager
2005 Dramatari Putri Samboja Gugat, Studio Tari Indra: penulis Lakon dan Literatur Manager
2002 Sup Kura-Kura Made Krecek, Teater WOT: Penulis Lakon dan Sutradara
1999 Rajah Air, Teater WOT: Penulis Lakon dan Sutradara
1998 Setan Bla-Bla, Pemanis STSI Bandung: Penulis Lakon dan Sutradara
1995 Si Gila dari Chailot, kerjasama CCF dan STSI Bandung: Sutradara
1994 Dag Dig Dug, Jurusan Teater STSI Bandung: Sutradara
1990 Lagean Mandalaras, Studio Tari Indra: Penata Artistik
1989 HAYW, Komposisi Tari: Penata Artistik dan Sutradara
1987 Serat Santri Kembang, Sanggar Kita: Penulis lakon dan Sutradara
1986 Sumur Tanpa Dasar (Arifin C Noor), Sanggar Kita: Aktor
1983 Kuda Perang (Goethe), STB: Aktor
1982 Prabu Randumulus (Durenmat), STB: Aktor
1981 Exit The King (Ionesco), Sanggar Kita: Aktor
1980 Teroris (Camus), Sanggar Kita: Aktor
Seminar
2008 Seminar Internasional dalam The First International Marionette Festival Hanoi 2008: Paper: Creatif Idea and Artwork Creativity
2006 Seminar Budaya “Insentif”, Kopertis IV dan Budpar Jabar: Pengamat/Pengkaji
2006 Dialog Budaya Fokalisma Jawa Barat, di Cirebon: Pemakalah
2006 Proses Pengemasan Seni Tradisi, Taman Budaya Jawa Barat: Pemakalah
2005 Pendidikan Berbasis Kebudayaan, Dialog Budaya di Pakuan Jawa Barat: Pemakalah
2005 Problematika Kesenian di Jawa Barat, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat: Pemakalah
2005 Budaya Bersih menurut cara pandang Budayawan, Pemda Garut: Pemakalah
2005 Napak Lacak Ki Sunda, Budpar Jawa Barat: Pemakalah
2004 Penulisan Lakon, Unisba: Pemakalah
2000 Ngaguar Iket Sunda, PATAKA dan Pemda Kota Bandung: Pemakalah
2000 Kelokalan Sebagai Sumber Cipta, Budpar Jabar: Pemakalah
1999 Seni Pertunjukan dalam Budaya Padi, Rumah Nusantara: Pemakalah
1999 Primadona dan Seni Pertunjukan Rakyat, Seminar Seni Populer, UI: Pemakalah
Juri
2006 Pasanggiri Mojang dan Jajaka (MOKA) Jawa Barat
2006 Pasanggiri Mojang dan Jajaka (MOKA) Kota Bandung
2005 Pasanggiri Mojang dan Jajaka (MOKA) Kota Bandung
2004 Festival Helaran Jawa Barat, Budpar
2003 Festival Monolog, IAIN Sunan Gunung Jati Bandung
[2] Menurutnya bahwa setiap suku di indonesia mempunyai pola berpikir tetapnya, yakni bagaimana manusia dan alam ─semesta serta ketuhanan itu terstruktur hubungan-hubungannya. Pola tetap itu menjadi ciri yang khas untuk setiap suku. Untuk itu Jakob mengklasifikasikannya kedalam beberapa bagian pola, diantaranya yaitu pola dua, pola tiga, pola empat, dan pola lima. Prinsip dasar dari berpikir pola dua ini adalah bahwa hidup itu sebuah pemisahan dari yang dualistik, pola tiga prinsip dasar dari berpikir pola ini adalah sebuah penyatuan dari dua elemen yang dikotomis (paradok harmonis). Pola empat yaitu bahwa segala sesuatu merupakan kesatuan kesempurnaan yang terdiri dari empat pasangan seperti langit─bumi─darat─laut, hulu─hilir─barat─timur. Pasangan pertama (langit dan bumi, hulu dan hilir) mengandung makna lebih terhormat dan kurang terhormat, pasangan yang kedua (darat dan laun, barat dan timur) bermakna pada urusan dalam dan urusan luar), pola empat ini dalam beberapa segi merupakan gabungan dari alam pikiran pola dua dan pola tiga. Pola lima dasar dari berpikir pola ini adalah mempunyai karakter utamanya adalah kesatuan, peleburan atau sintesa (Jakob Sumardjo 2006).
[3]Koentjaraningrat membagi bahwa wujud kebudayaan itu di bagi menjadi tiga golongan, pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai norma, peraturan, yang disebut sebagai sistem budaya (cultural system), kedua wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas serta tindakan berpola manusia, yang disebut sebagai sistem sosial (social system), dan ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia, yang disebut dengan kebudayaan materi (material culture) (Khusnaka Adimihardja, 2004:8).
0 Komentar