COMMERCIAL

FILSAFAT sUNDA

Gun81.blogspot.com

RESENSI BUKU FILSAFAT SUNDA WIWITAN
( karya : IMAM MUDRIKA )
Oleh : ASEP SALAHUDIN
MENARIK membaca kitab Filsafat Sunda Wiwitan: Niskala Purbajati karya R. Imam Mudrika yang akan dibedah hari Senin, 18 Februari 2013 di Landmark Bandung dan diluncurkan di Savoy Homan, Sabtu, (16/2). Buku yang ditulis dalam bentuk puisi Sunda kuna ini memusat kepada tema spiritualisme Sunda. Jika dicantumkan kata filsafat, maka harus dimaknai lebih merujuk kepada filsafat ketuhanan. Ini pun lebih banyak berbicara tentang “ada” relasinya dengan dunia niskala bahkan mungkin seharusnya lebih tepat jatiniskala karena banyak menyoal ralitas adikodrati Yang Mahakuasa.
Spiritualisme dalam konteks Purbajati harus dimaknai sebagai iman yang lintas batas kepercayaan. Iman di sini yang saya lihat tidak sebagai institusi agama yang eksklusif tapi lebih kepada religiositas yang bergerak dalam getar-getar alam penghayatan batin yang justru melampaui “lembaga agama”, lebih kepada spiritulitas yang membebaskan (liberasi) dan membawa perubahan (transformasi). Iman yang mendebarkan karena seseorang masuk dalam intimitas sekujur jiwanya atau Pascal menyebutnya dengan du couer. Iman yang “hidup dalam kekudusan” untuk menyebarkan terang ke segala arah penjuru mata angin tatar Pasundan.

Spirtitualisme Purbajati bukanlah pengalaman iman seperti dalam pemahaman banyak orang sebagai kepercayaan transendensi yang pasif dan cenderung memaknai “kebenaran” sebagai hak miliknya, tapi lebih kepada iman yang memberi peluang bagi pemaknaan kebenaran majemuk dan memberikan penghargaan tinggi terhadap realias sosial yang plural seperti dalam puisi Hak Jadi Wali:

Alam purba janten saksi/roh jalmi bungah marilih/ihlas jadi gurat takdir/kaimanan mo disungsi/hakul yakin nganteur hirup/bekel salamet di bumi/jagat luhung purba wulung/roh jalma sarujud renung/tepung hing mahalinuhung/raray kagambar na uga/uga teh waktos teu robah/henteu keteureuy ku jaman/moal kagelong ku wayah/dina uga lir katingal janji rek takwa kagurat.

Spiritualisme dengan haluan Iman yang menekankan kedaifan manusia dengan mentahbiskan bahwa Tuhan paling tepat diketahui lewat penegasian (berbeda dengan makhluk): “Kita dapat faham lebih banyak tentang apa yang bukan Tuhan daripada tentang apa yang adalah Dia” (We can know much more about what God is not than about what He is).

Iman yang menginjeksikan dua bentuk kesadaran: pertama, wanoh kepada diri seperti dalam Purbajati Purbatisi, ngawanoh ka purbadiri/nu ngancik ka awak daging; kedua, paham kepada Sang Ilahi yang diekspresikeun dalam bentuk kepasarahan total kepada-Nya: nu sujud di kamar Ilahi/nu mepende lamun sare/nu ngahibur reunghik peurih/nu ngogo balilih batin/nu ngeukeupaning hurip/ nu mirig asih nunggelis

Menariknya iman yang diusung Niskala Purbajati tidaklah diacukan pada haluan epos besar layaknya cerita Ramayana, Mahabarata, Ilias dari Homerus, atau tebaran ayat-ayat suci yang dikabarkan para Nabi Hibrani, tapi justru dari pragmen-pragmen dongengan dan mitos yang hidup dalam alam pikiran orang Sunda.

Dalam titik ini kita temukan silib yang referensi maknanya sangat erat dengan hamparan kehidupan kita hari ini: Hakekat Lutung Kasarung, Mirig Wawangi Pakuan, Ajen Hurip Siliwangi atau Totonden Pajajaran.

Kita baca misalnya bagaimana Pajajaran tidak sekadar diartikan sebatas geografis-kerajaan yang melambangkan tentang pucak-puncak politik Pasundan, namun dilambangkan juga sebagai keemasan alam spiritual manusia Sunda. Pajajaran menjadi erat hubungannya dengan sebuah ziarah rusuh mencari kebenaran tanpa ujung. Pajajaran menjadi mengingatkan saya kepada Musa dalam pendakian ke Gunung Turisina, Budha yang mencari pohon pencerahan atau Nabi Muhammad yang melakukan perjalanan menembus niskala menuju jatiniskala di Sidratul Muntaha.

Kita kutip pemaknaan ruhaniah Pajajaran ini: Ajen hurip pajajaran/di tafsir ku masing uga/rumingkang di puseur manah/agem luhur pajajaran/janten getih waris Sunda/rahayat Sunda marulang… leuwih yakin ka karuhun/ pamingpin dianggap picung/teuas masih nyimpen racun/ceurik sono ka rumuhun/wali gusti adiluhung/disambut peurihna jantung.

Pendekatan tanda

Simbol-simbol seperti ini dalam Purbajati khususnya dan puisi sunda buhun umumnya akan lebih mengena ketika dibedah melalui ilmu tanda (semiotika). Semiotika menjadi pisau analisis untuk menelisik ke mana sesungguhnya makna yang hendak dicapai. Tentu saja dengan sebuah catatan bahwa makna yang didapatkan tidak kemudian harus dianggap sebagai satu-satunya penafsiran yang sesuai dengan kehendak pengarang.

Di sinilah menjadi sangat menarik bahwa semiotika memberikan ruang bagi kemungkinan munculnya banyak makna tanpa harus satu dengan yang lainnya saling menafikan. Seperti ditulis Benny Hoed (2008) “Semiotik memberikan kemungkinan kepada kita untuk berpikir kritis dan memahami bahwa tidak ada satu otoritas yang berwenang memberikan makna atau penafsiran atas segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan sosial budaya kita.”

Ferdinand de Saussure, menyatakan bahasa sebagai sistem tanda yang mengekspresikan gagasan-gagasan. Pilihan Imam Mudrika untuk menggunakan bahasa Sunda sebagai media untuk menyalurkan pengalaman estetiknya tentu tidak luput dari pertimbangan seperti ini. Di samping karena ia hidup dalam lingkungan kebudayaan Sunda, juga secara sosiologis bahasa Sunda diyakini sebagai bahasa yang sangat ekspresif menampung luapan rasa.

Di tengah suasana alam kebatinan Sunda yang sering diharubiru oleh persoalan politik yang berujung pada peneguhan Ki Sunda sebagai entitas politik yang tidak menggembirakan maka bagi saya kehadiran Filsafat Sunda Wiwitan: Niskala Purbajati menjadi sebuah medium untuk secara komprehensif kembali melakukan renungan ulang terhadap seluruh kiprah kemanusiaan kita.

Jangan-jangan segenap kekalahan yang menimpa Ki Sunda sebermula karena punahnya otentisitas kultural. Kita berpijak dengan kepribadian lain yang sesungguhnya bertolak belakang dengan nilai-nlai kebudayaan Sunda dan atau kultur Sunda hanya sebagai atas nama.

Inilah fenomena yang dikatakan filsuf Eropa Timur, Zizek sebagai jouisance: ekspresi hilangnya kasih sayang “ibu” (megatkeun talari agung/ninggalkeun angkeuhan anu linuhung) yang telah menyiraminya diganti kecintaan buta kepada partai, benda dan hal ihwal yang bersifat artifisial.

(Penulis adalah, esais dan pemerhati kebudayaan Sunda)**
Tags:

Posting Komentar

2 Komentar

  1. welehh welehhh sae pisan nuhun kang Mundrika akang gun gun , kunaon teu aya nu komentar...serat nembe tiasa janten cukang lantaran kanggo milarian jalan mulih ka asal....punten kang kirang sae nyarios abdi amargi abdi te asli jogja....nuhun lajengkeun ...Cahyo Hartanto

    BalasHapus